Home » » CONTOH KASUS STRATEGI PEMASARAN

CONTOH KASUS STRATEGI PEMASARAN

Written By haris on Tuesday, May 18, 2010 | 2:37 PM


Perumka menggaet Value Costomer
Bila sudah lama tak naik kereta api (KA), jangan buru-buru berkomentar negative terhadap kondisi mode transportasi (mode of transportasion) yang satu ini. KA yang diunggulkan Soemino adalah keluarga Argo. Dua tahun terakhir, primadona Perumka ini menyumbang keuntungan 53% lebih. Ada empat jenis KA (Eksekutif) Argo yang dioperasikan, yaitu Argo Bromo (Jakarta-Surabaya), Argo Lawu (Jakarta-Solo), Argo Gede (Jakarta-Bandung) dan, terakhir, Argo Muria (Jakarta-Semarang). Sejak diluncurkan akhir 1995 hingga yang terakhir Desember 1997 (Argo Muria), semua laris manis, dengan tingkat isian selalu di atas 70%. Bahkan, Ir. Arief Muzaini, Kasubdit Diversifikasi Usaha Perumka, memastikan, terutama pada Jum’at, Sabtu, dan Minggu, selalu terisi 100%.

Bagi jasa transportasi darat, sesungguhnya data di atas tidak terlalu istimewa. Justru yang istimewa: pengembangan konsep KA Argo yang terencana dan mempertimbangkan potensi pasar. ”Perumka jeli bermain di wilayah stategis, dengan memberikan produk yang seimbang dengan target sasaran,” puji Bambang Bhakti, pengamat pemasaran, dalam berbagai seminar. Yang dimaksud Bambang, khususnya KA Argo Bromo Anggrek. KA jurusan Jakarta-Surabaya ini memang menjadi sangat kompetitif ketimbang pesawat, misalnya, KA Argo Bromo hanya membutuhkan waktu tempuh 89 jam. Meski waktu tempuih pesawat tak sampai dua jam, bila dihitung menyeluruh-dari perjalanan kebandara, chek-in dua jam sebelumnya, serta perjlanan dari bandara ke tempat tujuan-total akan membutuhkan waktu tak jauh berbeda dari waktu tempuh KA Argo Bromo.
Kami memang mempertimbangkan hal itu ” ujar Soemini mantap. Bahkan, ia berani mengatakan, sesungguhnya total waktu KA Argo dan pesawat sama, tetapi total biayanya sangat berbeda.”
Dalam hal ini, Perumka benar-benar mengacu pada kepentingan pasar sasaran. Namun, merealisasi konsep KA Argo juga tak mudah. Kendala Perumka yang paling mendasar: secara organisasi masih dibayang-bayangi masa lalu. Secara bertahap Perumka membuka jalan. Antara lain, mencoba mengklasifikasi pelanggan KA dalam berbagai nilai.
  1. Gateway value, artinya, pelanggan hanya mempertimbangkan fungsi transportasi, tanpa embel-embel prasarat lain.
  2. Competitive value, yang berarti di samping fungsi, pelanggan juga membandingkannya dengan mode transportasi lain
  3. Ultimate value, artinya, pelanggan tidak sekedar menuntut fungsi dan perbandingan, melainkan juga pertimbangan-pertimbangan psikologis yang tidak dapat diukur batasanya-misalnya gengsi, prestise, dan kepuasan.
Pada level ketiga itulah, KA Argo mengisi ceruk pasar.Positioning ini jelas berkait dengan harga. Karena itu, dengan positioning yang sudah jernih, menurut Bambang, manajemen KA Argo tinggal merampungkan system layanan agar tidak hangat-hangat tahi ayam. Kejadian itu ibarat drama berseri yang lazim terjadi pada industri jasa transportasi. Maka Soemino mencegatnya dengan kombinasi penanganan produk dan SDM yang terencana.
  • Dari segi produk, Perumka tidak main-main. KA Argo Bromo Anggrek memiliki spesifikasi tersendiri didunia transportasi. Contohnya: perjalanannya diatur dengan grafik perjalanan KA (Gapeka) yang tak kenal kemacetan dan cuaca buruk-hujan lebat, kabut maupun asap.
  • Dari sisi SDM, Mengadakan pelatihan ataupun pengembangan wawasan-termasuk gambaran ke depan mengenai kompetisi dalam era globalisasi.
Sekarang pun, layanan KA Argo secara umum dipuji banyak penumpang. Namun sekali lagi, tak mudah mewujudkan produk jasa tanpa cacat. Akibatnya, seperti banyak dikeluhkan penumpang, sering terasa ada goncangan lateral dalam KA. Apalagi jika dalam kercepatan penuh. Dengan konsep yang makin meluas itu, Soemino mengharapkan ekuitas merek KA Argo semakin tinggi. Karenanya, ia tidak akan meluncurkan KA Arfo baru bila tidak berkualitas sdama atau lebih baik daripada KA Argo sebelumnya.
Mengapa Perumka Sukses DI Tengah Krisis?
Dulu perumka di mata public identik dengan perusahaan ketinggalan zaman, undermanaged, birokratis, dan lamban. Namun yang harus dicatat Perumka sungguh beruntung punya dirut seperti Soemino Eko Saputro, yang sense of business-nya tinggi. Dengan kata lain, KA Argo sukses karena Perumka jeli dalam melihat munculnya pelanggan berorientasi nilai. Dan karena Perumka berusaha membangun diferensiasi yang solid dan sesuai dengan pasar sasarannya. Sehingga, produknya mendapat sambutan luas.
Dua Pemain Ceruk Baru
Beberapa pemain berikut ini mencoba strategi lain. Yaitu, masuk ke ceruk pasar yang selama ini belum disentuh pemain lain—termasuk para raksasa. Para pemain itu sebagian sudah anda kenal: Siwak F, Zendium, Asepso, Green Sands, Larutan Penyegar Cap Kaki TIga, Miduo, dan A Mild.
Siwak F produksi PT Miswak Utama (MU) dengan tegar masuk ke pasar pasta gigi. Bagi umat islam yang pernah menunaikan ibadah haji, seperti air zamzam, siwak bukan barang asing. Kemasan Siwak F berwarna hijau muda, bergambar sepotong siwak dan bertulisan Arab. Siwak F diluncurkan pada 1994, tapi baru berpromosi di TV tahun1995. Model yang mengiklankan adalah Neno Warisman sebagai salah satu umat yang mewakili umat islam.
Produsen lain yang kreatif menciptakan ceruk baru adalah PT Mayora Indah (MI). setelah sukses dengan permen Kopiko, MI belakangan terjun ke bisnis mi dengan mengeluarkan Miduo. Bukti bahwa Miduo cukup sukses adalah langkah Indofood yang serentak mengeluarkan dua produk untuk menyaingi Miduo—Sarimi Dua dan Indomie Jumbo.
Green Sands bermain di ceruk minuman alternative, yakni penggemar kola yang sekali-kali menginginkan bir rasa ringan. Kalau ada produk yang semula merupakan produk ceruk, tapi kemudian sukses dan menjadi pemain utama di pasar utama, itu adalah Close Up.
Menurut pakar pemasaran Al Ries dan Jack Trout, mrenggarap pasar yang sudah adapenuh dengan cara seperti itu, memang tepat.
Di pasar sabun, misalnya, yang masih asli sabun antiseptic adalah Asepso. Selain itu, pemasaran ceruk juga harus menekankan keunggulan berupa keunikan, sehingga konsumen melihatnya sebagai manfaat produk. Memang sulit membedakan strategi pemasaran ceruk. Sebab, pemasaran ceruk melibatkan keunggulan kompetitif berkelanjutan.
Bata, Riwayatmu Kini
Hingga sekitar decade 1970-an, memakai sepatu bata merupakan impian kebanyakan keluarga Indonesia. Bata adalah symbol sepatu bergensi yang tak semua orang bisa membelinya. Sekarang agak susah menemukan antusiasme seperti itu. Karena bermunculan merk lain: Nike, Reebook, Eagle, L.A. Gear, Lotto, Kasogi, Carvil, Mitsuno, New Blance, Loggo, dan banyak lagi.
Hal lain yang menggangu bata, menurut Handi, adalah pergeseran selera konsumen. Rupanya, persepsi awet justru menjadi boomerang. Sebab, awet dikonotasikan dengan model-model kuno dan konservatif. Akhirnya pencitraan bata tidak bisa mewakili perkembangan zaman.
Selama ini positioning Bata yang terus menggelinding dan terkesan dibiarkan begitu saja, adalah sebagai produk murah untuk kalangan menengah bawah. Di tengah ingar-bingar merk-merk sepatu terkenal dipasaran, jelas positioning itu tidak menguntungkan. Ada tiga alasna yang mendasarinya
  1. Positioning bukan diciptakan oleh manajemen bata
  2. Melemahkan citra merk bata.
  3. Memudarkan loyalitas konsumen.
Namun, di lain pihak positioning Bata memudarkan keinginan konsumen untuk terus loyal, sebab kebutuhan bergerak ke atas, sementara positioning Bata justru menurun.
Bata tampaknya mulai menyadari kekeliruan yang dilakukannya. Manajemen baru Sepetu Bata (SB) yang dikomandani Zanacco perancang sepatu andal sejak pertengahan 1996 membawa angin segar perubahan. Selain menigkatkan kualitas produk, SB juga meningkatkan SDM.
Bambang Yusuphono, salah satu mitra kerja SB—sejak 1971—yang mangkal di Pasar Blok A, Jakarta Selatan mengakui memperoleh perhatian cukup besar. Dalam kemitraan itu, Bambang memperoleh komisi 8% dari setiap penjualan produk. Bidang promosi dan pemasaran juga mulai digenjot.”kami menyadari, SB kurang berkomunikasi dengan pelanggan,” Yhudi Komarudin sekretaris perusahaan SB mengakui.
Sesungguhnya potensi Bata bangkit kembali masih sangat besar,”kata Handi. Sebab, SB masih punya kekuatan, yaitu:awareness, cita yang belum negative, dan dukungan manajemen. Apalagi, pimpinan baru SB menyadari kunci keberhasilan Bata adalah aktivitas komunikasi pemasaran yang dikembangkan.
Utamanya Nilai, Bukan Strategi atau Taktik
Banayak diantara kita memakai Pepsodent untuk gosok gigi. Adapun sabun mandinya, kalau ngak Lux, ya Lifebuoy. Kita memakai Pepsodent, Lux ataupun Lifebuoy, karena melihat orang tua kita menggunakannya selama bertahun-tahun. Apalagi, dulu pemilik warung atau took sampai takut kalau mibil Unilever tidak mampir dan tidak mengedrop barang.
Selain kuatnya dukungan jaringan distribusi, ini juga terjadi karena pengelolaan ekuitas merk, yang bukan sekedar sering beriklan, tapi juga berkomunikasi yang efektif. Kalau sebuah produk punya positioning kuat, dan didukung diferensiasi yang mantap. Tetapi punya positioning bagus belum tentu akan menghasilkan ekuitas merek yang tinggi, kalau diferensiasinya terus meluntur.
Bata yang dulu banyak dipakai orang Indonesia, kian menyusut pamornya, antara lain karena Bata dianggap merk kelas local. Agak repot memang. Padahal, itu bukan sekedar nama internasional, tapi benar-benar produk internasional. Kalau merk anda berkurang ekuitasnya, sebaikanya jangan digunakan sebagaiumbrella lagi. Bikin yang sama sekali baru.

Bata juga harus menegok kembali positioning-nya kini. Komunikasi pemasaran yang dilakukan selama ini, yang mengambil tema Back to School atau Lebaran, jelas tidak bisa dipakai untuk membangun positioning. Kalau sudah mengarah kepositioning tertentu, harus didukung deferensiasi. Jadi persoalan Bata, kalau mengacu ke Marketing Plus 2000, lebih berat pada nilai. Sementara itu, kalau ekuitas merk sudah dikuatkan kembali, strategi dan taktik lebih gampang diatasi.
Bagaimana Carvil Membangun Merek?
Hendra Kusumo pengusaha asal Medan pemilik PT Carvil Abdai itu bukan pelopor produsen sandal gunung du Indonesia—apalagi penemunya. Yang membedakan Hendra dari pengusaha lain adalah keberaniannya mencoba memasarkan produk baru itu secara serius. Maka, dipromosikanlah san Carvilnya dengan gencar. Cediknya, iklan Carvil, kecuali memenuhi syarat sebagai promosi yang mengedepankan gaya hidup, juga memiliki unsur menghibur. Celetukan, “Jangan gitu ah, oe juga pake,” pun menjaditidak asing bagi para pemirsa TV di Indonesia. Sukses itu jelas tak lepas dari kejelian Kartu meramu materi iklan. Promosi tersebut, anda semua sudah tahu, sukses besar.
Berdasarkan data biro riset MARS, yang mampu mengalahkan Carvil hanya Bata. Pemain paling lama di sepatu dan sandal ini menguasia 23% pangsa pasar sandal. Carvil di urutan kedua dengan pangsa pasar 11,2, kemudian Swallow 9,8% dan Neckerman 6,9%.
Menurut seorang Wiraniaga toko sepatu-sandal Berkah,persaingan keduanya hampir seimbang. Berdasarkan penuturan para pedagang itu, penjulan Carvil melonjak tajam menjelang Lebaran—setiap toko bnisa menjual 100 pasang lebih sehari.
Kemudian dilihat dari hasil penjualan yang tinggi, Carvil berani berekstensi merk ke kemeja dan jins. Hasinya ? “sampai sekarang penjualan kemeja dan jins Carvil masih sangat kecil,” kata Karta. Carvil, tampaknya, perlu belajar dari pakar pemasaran Al Ries. Menurutnya, paerusahaan atau merk yang sukses adalah yang selalu focus pada industrinya. Contoh sukses strategi focus adalah produsen sepatu nomor satu dunia, Nike. Sepatu ini diposisikan ke pasar penggemar olahraga bola basket NBA. Maka, diluncurkan 3 jenis sepatu yang berbeda pula. Tipe Air Jordan dibintangi Michael Jordan; Force deperenkan David Robinson dan Charles Barkley; Flight diwakili Scotty Pippen. Masing-masing bintang mewakili karakter tertentu. Dengan cara-cara seperti itu, Nike sukses mengalahkan pemain besar lain, Adidas dan Reebok.
Tenaga Dalam, Anggapan Penonton, dan Musush di Arena Baru
Carvil memang hebat, Dia datan, lihat dan menang. Produk Carvil mulai dikenal sebagai sandal gunung. Namu apa alasanya Carvil bisa begitu cepat berhasil.
Pertama; Carvil adalah produk gobal. Walaupun produk belum ada di Indonesia, dan nama belum dikenal, tapi masuknya lebih cepat. Tentu saja, hal ini didukung gaya hidup anak muda Indonesia yang sekarang cenderung meniru rekan-rekanya dari Amerika Serikat.
Kedua; mengapa Carvil begitu cepat popular di Indonesia. Carvil lantas jadi merk pertama yang mengklaim sebagai sandal gunung.
Ketiga; Carvil masuk ke suatu industi yang relative tidur. Bata sebagai penguasa pasar tidak dipersepsi sebagai sandal, tapi lebih banyak dianggap sebagai sepatu.
Di sini si Doel harus diakui cukup besar. Ketika itu, si Doel belum banayak dipakai untuk iklan seperti sekarang. Si Doel tidak hanya ikut mempercepat brand awareness Carvil, tapi juga memperlancar terbentuknya identitas merk yang sangat penting. Karena, para remaja semakin yakin, gensinya akan naik dengan membeli sandal tersebut.
Di sini juga terbukti, ekuitas merk yang kuat akan meningkatkan posisi bargaining produsen di mata pengecer. Advertising dan CP bagaikan bekerja secara tandem. Adapun Nike sangat jelas. Dia Cuma sepatu olahraga dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Nike tidak merambah kemana-mana. Karena itu, Nike lebih jadi jagoan—nomor satu di industrinya. Jadi, sebelum berekstensi merk, periksa lebih dulu tiga hal berikut: tenaga dalam Anda, anggapan penonton, dan musuh di arena baru.
Panen Data 1 Miliar
Bersiaplah menjadi pelanggan Matahari. Siapa tahu mendapat rezeki nomplok. Pengecer terbesar di Indonesia ini menyelenggarakan undian Belanja Berhadiah 1 Miliar (BB1M). setiap bulan selam satu tahun, 1.707 pemenang akan mendapat hadiah, dengan total nilai Rp 1 Milar. Tutur Hari Darmawan, Presiden Komisaris PT Matahari Putra Prima (MPP), adalah hajatan terbesar yang pernah dilakukan Matahari sampai kini.
Menurt Hari, gagasan BB1M datang dari anak buahnya. kmudian Dia langsung menyetujuinya, namun, dengan beberapa alas an pertimbangaan. Hari menyebut tiga alas an yang melatarbelakanginya.
  1. Ya, itu tadi: sebagai tnada terima kasih Matahari kepada para pelanggan
  2. Memancing konsumen agar terus belanja di 84 outlet Matahari di seluruh Indonesia.
  3. Matahari ingin kenal siapa sebenarnya konsumennya
Matahari menghabiskan dana tak kurang dari Rp 30 miliar untuk kepentingan itu. Upaya mengembangkan basis data pemasaran seperti yang dilakukan Matahari tergolong hal baru bagi perusahaan di Indonesia. Menurut Susanto, tak banyak perusahaan yang melakukannya. Penyebab keengganan banyak perusahaan: anggapan bahwa untuk itu diperlukan peralatan dan teknologi mahal. Meski menghabiskan dana cukup besar, menurut Susanto, penggumpulan basis data pemasaran tetap perlu dilakukan karena memberikan hasil sepadan. Keuntungan yang lebih besar akan diperoleh Matahari di tahun-tahun berikutnya: yaitu setelah basis data yang terkumpul diolah dan dimanfaatkan. Dengan basis data itu, Matahari bisa mengetahui lebih jelas karakteristik pelanggannya.
Satu hal yang memperlihatkan keseriusan Matahari, cara penanganan dan pengelolaan data yang masuk. Keseriusan itu sudah dimulai sejak merancang formulir isian, jangka waktu pengiriman formulir juga sudah diperhitungkan. Ini bukan dengan teknologi tinggi lho, memanfaatkan penggunaan prosedur saja,” katanya merendah. Pokoknya proses pengolahan data Matahari secara teknologi sudah sangat memadai.
Hari yakin, dengan terobosan pemasaran dan promosi itu, Matahari mampu bertahan menghadapi era perdagangan bebas 2003. Tidak perlu ritel besar, tetapi ritel yang bisa melebar ke seluruh Tanah Air tuturnya.
Mengakui Pelanggan sebagai Pribadi
Munculnaya kebiasaan pemesanan dan pembelian barang lewat internet, seperti menyediakan jalan lebar bagi perkembangan bisnis Dell. Pelanggan/prospek bisa punya kesempatan seperti itu, karena Dell mengirimkan catalog produk-produk terbarunya ke mereka. Toh, tidak semua orang dikirimi catalog. Hanya yang mau memberikan data ke Dell, yang dikirimi catalog. Data-data yang diinginkan Dell bukan hanya nama, alamat, jabatan di perusahaan, jenis usaha, jumlah pegawai, nomor telepon rumah dan kantor, ataupun nomor faks.
Mungkinkah pelanggan/prospek mau memberikan data-data pribadi hanya untuk mendapatkan catalog produk terbaru Dell? Ternyata, yang mau mengembalikan kuisioner begitu banyak. Maka, ketika banayak perusahaan mulai sadar pentingnya informasi tersebut, mereka pun bingung bagaimana cara mendaptkannya, yang semurah mungkin. Karena itu saya bisa mengerti kenapa Matahari melakukan undian berhadiah miliaran rupiah untuk mengumpukan informasi. Soalnya, tidak mudah mengumpulkan data pelanggan, meskipun itu sekedar data-data demografis dan geografis.
Pengumpulan informasi, seperti yang terjadi pada Delll Computer harus mencakup 3D : Data, Dialogue, dan Direct. Artinya, data yang berhasil dikumpulkan memungkinkan terjadinya dialog antara perusahaan dan pelanggan secara pribadi. Harus diakui, inti pelaksanaan database marketing memang untuk bisa melakukan customization, yaitu member kesempatan pelanggan untuk menciptakan produk sesuai dengan sosok sebagai pribadi yang bersedia.
Hero Tergilas Coca Cola
Kalau Anda berkunjung ke Hero, jangan lagi mencari minuman ringan tanda khusus Hero (private label). Tidak ada! Sejak April 1997, Hero Selection Cola (HSC) menghilang dari peredaran. Mengapa? “produksi HSC kami hentikan karena tidak menguntungkan,” jelas Steve Sondakh, Direkur Group Hero.
Padahal, produk ini memiliki cukup banyak keunggulan. Pertema, HSC dibuat berdasarkan formula Cott Corp., spesialisprivate label dari kanada yang dibanyak Negara sudah merepotkan Coca-Cola. Kedua, HSC dikelola sebagai house brand premium(produk-produk bermutu tinggi), yang dikenal dengan nama Hero Selection. Ketiga, harga HSC kira-kira 15% lebih murah ketimbang Coca-Cola, Pepsi, Sprite, ataupun Fanta. Keempat, kemasannya cukup alternative. Kelima, HSC sengaja dipajang di rak-rak khusus yang menarik perhatian dalam waktu cukup lama.
Pengamat pamasaran Handi Irawan mengatakan, biasanya produk tanda khusus bisa diterima konsumen jika dikembangkan oleh ritel sekaliber Makro, Hero ataupun Walmart. Ada tiga hal yang mendorong keberhasilannya, yaitu: seberapa besar mereka membangun kekuatan; seberapa besar kekuatan dibangun lewat jaringan; serta nama pengecernya. Jika ketiga elemn itu dimiliki, menurut di, produk tanda khusus dapat mengimbangi merl-merk mapan.
Namun ada dua hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan produk tanda khusus. Pertama, jenis produk harus dipilih benar-benar kompetitif, dari segi harga maupun kualitas. Kedua, customer switching. Artinya, perlu diperhatikan potensi konsumen jika digiring ke produk lain. Sebab, beberapa produk memeliki loyal, yang sulit dibujuk agar pindah ke produk lain. Loyalitas adalah perilaku puncak konsumen terhadap merk. Dan inilah situasi yang diidamkan ribuan pemilik merk,karena dengan loyalitasnya, konsumen bersedia melakukan apa saja demi mempertahankan merk pilihannya.
Apapun upayanya, loyalitas ini jelas tidak dibangun dalam satu hari, melainkan merupakan proses terus-menerus. Untuk Coca-Cola, sipa yang menyangkalnya? Produk yang tetap eksis selama113 tahun ini tanpa lelah berjuang mempertahankan diri sebagai nomor satu. Coca-Cola tidak pernah mau kecolongan oleh pesaing, dalam hal apa pun, sekecil apa pun. Memang, langkah itu memperlihatkan keseriusan Coca-Cola menghabisi pesaing, meski secara tidak langsung. Meskipun produk tanda khusus menyumbang keuntungan besar, Handi menyarankan agar pengecer yang berniat mengembangkannya, hati-hati. Jangan sampai upaya itu justru membuyarkan konsentrasi pada pengembangan nama induknya. Justru, nama yang baik itu harus dijaga.
Walau di Negeri asalnya Walmart terkenal dengan produk tanda khususnya, Winardi mengaku harus hati-hati mengikutinya. Namun, ia yakin, di masa depan penjualan produk-produk bertanda khusus akan berkembang, karena konsumen makin bertambah pintar. Seperti kata iklan obat generic, ”Kan enggak makan merknya”.
Lain Lubuk, Lain Colanya
Kurang lebih empat tahun lalu, tepatnya Januari 1995, saya bertemu dengan Gerry Pencer, CEO Cott Corp., di Seminar Articulture yang diselenggarakan Executive Education Program, Harvard Business School. Cott sebenarnya tidak menghasilkan kola. Ia ingin perusahaannya punya posisi yang lebih tinggi lagi. Keinginannya bertambah kuat, ketika melihat sukses premium PL soft drink dari Loblaw, jaringan supermarket terbesar di Kanada, yang menjual lini produk President’s Choice. Itulah sebabnya, saat bertemu dengan President’s PL Loblaw, ia pun ingin agar Cott bisa mendapatkan berkah dari kesuksesan PL mereka. Apalagi, setelah melihat bahwa saat itu, Loblaw belum punya PL kola.
Setelah memastikan Loblaw akan mengambil kola yang dipasok Cott, Gerry lalu mendatangi perusahaan pembuat kola nomor tiga di AS, Royal Crown Cola (RC Cola). Perusahaan yang punya positioning statement: “American’s best testing cola” itu merupakan perusahaan minuman yang inovatif. Karena RC Cola tidak punya kekuatan pemasaran, posisi RC Cola tertinggal jauh dari duet Coca Cola.
Karena itu, ketika Cott bermaksud membeli ramuan kolanya dan akan dijadikan bahan baku bagi PL kola di tempat-tempat yang dikehendaki Cott, RC Cola tidak keberatan. Bahkan, Cott kemudian berusaha meluaskan pasarnya ke eropa.
Dan jangan lupa, ekuitas merk Coca Cola bisa kuat, karena merknya punya nilai ekspresif yang cukup kuat pula, yaitu sebagai bentuk ekspresi orang-orang kita yang modern.
Cott yang berhasil di AS dan Eropa sepertinya tidak percaya bahwa Indonesia adalah pasar yang berbeda. Ini menunjukan, mereka tidak mengerti pasar kita. Karenanya, mereka pun lupa bahwa PL baru jalan untuk produk yang dikonsumsi sehari-hari, sehingga perbedaan harga yang cukup signifikan pun terasa. Karena itu, pesan saya untuk Gerry: “Lain lubuk, lain kolanya”.
Ketika Garuda Menerkam Dua Kelinci
Produknya memang cuma kacang garing—berkesan komoditas, murahm dan sangat mudah dibuat. Meski demikian, menjadi pemasarnya ternyata tidak gampang. Lihat saja persaingan dua merk kacang Garuda dan Dua Kelinci belakangan ini.
Dua Kelinci yang pertama kali beriklan. Kacang Garuda langsung menyusulnya—dengan frekuensi pemasangan (share of voice) yang lebih besar. Dua Kelinci lalu membat undian dengan sesumbar: “dapatkan 2 Super Kijang dan jutaan rupiah.” Garuda langsung mengibaskan sayapnya lebih keras:”Dapatkan hadiah lebih besssaaa…rrr…! 1 Suzuki Esteem, 2 Kijang 1.800 cc, 4 Suzuki Tornado, 10 Kompor Technogas, dan hadiah jutaan rupiah lainnya.” Hasilnya, tentu saja, dua nama kacang itu langsung melambung. Ini hal baru di dunia perkacangan: sebelumnya mana ada brand kacang yang memiliki awareness tinggi. Sangat mungkin promosi gencar mereka juga member hasil lain: membengkaknya pasar kacang.
Dalam soal mengemas kacang garing, Dua Kelinci tergolong pelopor. Ketika Dua Kelinci berdiri pada 1972, pengusaha lain masih terpaku pada penjualan kacang curah tanpa merk dan kemasan. Kacang Garuda dating belakangan (1987). Semula, PT Tudung Putra Jaya (TPJ) merupakan pemasok bahan baku bagi Dua Kelinci. Usaha utamanya, produsen tepung tapioca. TPJ lalu terjun ke bisnis kacang. Jurus Garuda menembus pasar cukup unik. Garuda bergerilya lebih dulu menggarap pasar kelas bawah. Dengan merk Garuda Putra ia tampil dalam berbagai kemasan kecil: 15 g (Rp 50), 30 g (Rp 100) dan 50 g (Rp 250). Setelah agak kuat barulah Garuda tampil dalam kemasan lebih besar: 100 g (Rp 650), 120 g (Rp 800), 250 g (Rp 1.650), 500 g (Rp 3.250), dan 1.000 g (Rp 6.500).
Bahan baku kacang garing diperoleh dari petani local di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Garuda membagi pasar berdasarkan kombinasi psikografis dan perilaku.”Ini kacangku” dipilih Garuda sebagai kalimat positioning. Positioning statementsebelumnya “Ahli punya keputusan”, dianggap terlalu abstrak. “Kami yakin bahwa statement tersebut akan ditafsirkan dengan baik dan sesuai dengan ceruk pasar yang ada,” kata Sudhamek. Sementara itu, Dua Kelinci membagi pasar berdasarkan status social ekonomi. Kacang Dua Kelinci untuk kelas A; Super Nut kelas B; Bintang Mas dan Rege kelas C. karena menguasai lebih dulu kemasan kecil, khususnya wilayah seputar Jakarta, daya cengkram Garuda cukup kuat. Tentu saja Dua Kelinci Tak mau kalah.
Sekarang, persaingan antar dua pemain sudah memasuki tahap pembentukan asosiasi. Hal ini memang perlu. Pengenalanmerk mampu membedakan kedua merk ini dari kacang kulit tradisional, yang sebagian besar belum bermerk. Pemilihan nama Garuda sebagai merk cukup baik nama ini sangat familiar sekaligus berasosiasi terhadap lambing Negara dan penerbangan. Kacang Garuda sadar akan hal itu. Mereka berupaya membentuk citra positif, misalnya, agar dipersepsi sebagai kacang modern. Diferensiasi dilakukan melalui kemasan dan inovasi produk baru, seprti peluncuran kacang sukro dan kacang madu.
Kedua pemain juga bersaing sengit meraih akses bahan baku. Pasar swalayan merupakan outlet yang paling cepat perpitaranya. Karena system pembayaran yang berbeda, Karyatama menetapkan harga berbeda. Untuk toko dan warung harganya Rp 5.100/kg, untuk supermarket Rp 5.300/kg. Untuk pembelian partai besar, misalnya 600 karton (1 karton berisi 10 kg kacang) diberikan diskon 3%. Omset Karyatama mencapai Rp 1,68 miliar per tahun.
Perang Sampo Anti Ketombe, Siapa Takut?
Baju hitam sedang ‘in’. Namun, baju hitam juga bencana bagi para pemilik rambut berketombe” rontoknya di bahu terlihat kotor. Lihatlah, misalnya, Puput Novel yang usai keramas dengan sampo antiketombe, lalu mengenakan gaun kasual hitam, dan berseru ceria: “Dengan Head&Shoulder, rambutku ‘oke’ dan membanggakan!” Suaranya tegas, gayanya lugas dan penuh percaya diri. Tak cukup dengan Puput, produsen H&S, PT Procter & Gamble Indonesia (PGI), juga menampilkan Lulu Tobing serta piƱata rambut terkenal.
PGI tidak sendirian. Ia malah kalah dari Unilever, yang rajin mengiklankan produk anti ketombe andalannya, Clear, dengan cara sama. Alkisah, Marketing Intelligent Unilever berhasil mengetahui rencana PGI meluncurkan sampo anti ketombe dengan konsep baju hitam di Indonesia. Bambang Bhakti, pengamat dan praktisi di Coca Cola Amatil berpendapat, itu bisa saja terjadi, dan mungkin berhasil diketahui di Bangkok. Tak heran, PGI lalu terkesan emosional dalam beriklan di Indonesia. Versinya banyak, dan karena sudah tanggung, konsep hitam pun diteruskan. Langkah PGI itu terhitung berani. Soalnya, ia juga memiliki sampo antiketombe, Pantine dan Rejoice antiketombe.
Kekhawatiran konsumen ini sudah lama ditangkap Selsun, yaitu dengan memakai formula khusus. Hingga kini, hanya Selsun yang mempunyai bahan aktif pembasmi ketombe yang berbeda dari sampo anti ketombe lain. Selsun menggunakan selenium sulfide, semntara kebanykan sampo lain menggunakan zinc pyrithione (zinc PTO atau ZPT).
Selsun, meski ada di sini sejak 1970-an, efektif beriklan baru pada 1997. Kami memang tidak pernah berpromosi di consumer goods, hanya ke dokter, karena basis kami adalah farmasi,“ ujar Duddy. “Produsen lain punya dana miliaran, seangkan budged kami lebih kecil. Kalau kami memakai konsep yang sam, bunuh diri namanya” kata Duddy seraya tertawa. Saying pula, karena produkmedicated, Selsun sulit ditemukan di supermarket, tidak sperti Clear dan H&S yang bertebaran di mana-mana.
Walau kedua merk ini diletakan berdampingan pada rak barang, harga mereka jauh berbeda. Namun, lepas dari itu, Bambang melihat, harga jual Clear yang seimbang menekan harga jual H&S menjadi setara dengan Rejoice antiketombe dan Pantene.
Diungkapkannya juga, dalam sejarah perjalanannya di Indonesia, PGI memang selalu dihantam Unilever distribusinya. Duddy juga mengakui, kekuatan Unilever dan PGI memang hamper mirip, yaitu dalam pemasaran, promosi, dan distribusi.
Untung Berjenjang Bebas Kritis
Masih ada kesempatan memperoleh keuntungan aduhai di zaman krisis. Jadilah distributor barang-barang yang dijual dengan system multi level marketing (MLM, pemasaran berjenjang). Model pemasaran berjenjang memang lagi ngetop. Beni Sindhunata menyebut beberapa factor penyebabnya. Antara lain, pasar yang prospektif, investasi yang relative rendah, biaya promosi rendah, serta mekanisme kerja yang tergolong sederhana. Hasinya? PT Amway Indonesia (AI), perusahaan MLM asal Amerika Serikat yang kantornya di kawasan Daan Mogot ikut menjadi korban aksi kerusuhan massa 14 Mei 1998, penjualannya justru menigkat luar biasa semasa krisis.
Keberhasilan penjualan AI, CNI, dan penyelenggara MLM lainnya di saat krisis, dari pendangan A.B Susanto, Mitra Pengelola Jakarta Consulting Group, tidak terlalu mengherankan. Ada dua keuntungan pola MLM yang disebut Susanto. Yaitu, memotong pola distribusi konvensional yang membebani 25% harga jual, serta membangkitkan komunikasi getok tular (words of mouth communication). Maksudnya, bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, bidang MLM bisa menjadi semacam kompensasi untuk tetap bertahan.
Syarat-syarat keanggotaannya pun gampang “Yang penting memiliki sikap kewirausahawan,” kata Helmy Attamimi, Presdir PT Avon Indonesia sekaligus Ketua Umum Asosiasi Penjual Langsung Indonesia (APLI). Tugas anggota MLM, ditambahkan Koen Honyam, Sekum APLI, hanya dua hal. Pertama, memasarkan produk ke konsumen secara langsung. Kedua, mencari orang yang mau melakukan hal sama.
Mudahnya menggarap pasar MLM bukan dalam hal mengumpulkan keuntungan dan komisi saja. Melainkan juga, dalam hal identifikasi konsumen pembeli. Maka, bisa diduga bila disaat mencuatnya isu-isu politik maupun kerusuhan, ditambah hancurnya beberapa pasar swalayan, serta kondisi di jalan yang memanas dan tidak menguntungkan, konsumen MLM–khususnya produk konsumsi dan perawatan rumah tangga—menggelembung besar. Ada lagi yang turut dipertimbangkan pembeli: harga murah.
Tidak rugikah mereka? “Kami melakukan subsidi silang,” kata Suharman lugas. Subsidi tidak hanya diberikan ke konsumen. Penyelenggara MLM juga menyediakan subsidi bagi pelatihan-pelatihan maupun seminar yang bertujuan membangun motivasi, wawasan, keterampilan, serta membentuk pribadi kuat dan andal dalam rangka membina jaringan. Secara umum kelemahan produk MLM, menurut Susanto, memang bukan pada pola MLM-nya, melainkan dukungan infrastruktur. Yang juga harus Anda perhatikan kalau mau menjadi anggota MLM, jangan sampai salah pilih sehingga akhirnya terbawa system Binari atau arisan berantai.
Koen menilai, prinsip arisan berantai cenderung sebagai kegiatan berjudi. Alasannya, jaringan kaki sudah diatur formaturnya sesuai jumlah yang diperhitungkan penyelenggaranya. Memang, Binari cepat menghasilkan uang banyak. Simak saja pengalaman Nuning—bukan nama sesungguhnya. Mula-mula ia membeli produk kecantikan dan perawatan kulit di Mangga Dua senilai Rp 1,5 jta kemudian Nuning harus mencari dua kawan—juga dengan membeli produk senilai Rp 1,5 juta untuk mengembangkan mata rantainya. Bila sudah mendapat 6 orang rantai, Nuning berhak mendapat bonus Rp 1 juta. Begitu seterusnya, dan setiap terjadi penambahan 6 jaringan baru, bonus Nuning bertambah 1 juta.
Persoalannya tentu, kalau kebetulan berada di mata rantai terbawah, Anda tak akan mendaptkan apa-apa
Mengapa MLM Tetap Berjaya
Adakah yang aneh bila dalam masa krisis ini multilevel marketing (MLM) menjadi popular dari perusahaan-perusahaan yang menggunakannya bisa untung besar? Menurut saya, tidak. Sebab, di masa krisis seperti ini, MLM menemukan momentumnya.
Ketika mulai dikenal secara luas di Indonesia—tak lama setelah masuknya Amway—yang diingat orang tentag MLM adalah kemungkinan mendapat penghasilan dengan gampang. Tentu saja, MLM melahirkan daya tarik tersendiri bagi perusahaan-perusahaan yang membutuhkan saluran distribusu efektif dan ingin menghemat biaya iklan.
Toh, keberadaan MLM di masa prakrisis itu tidak langsung mengancam keberadaan saluran distribusi konvensional maupun kegiatan periklanan/promosi. Mereka juga cukup menikmati ketika dibombardir berbgai program komunikasi pemasaran. Disinilah MLM jadi lebih berarti.
Lalu, kalau dulu mereka berani membeli dengan kredit, kini tidak lagi banyak dilakukan dan beralih kepembelian tunai. Yang dulunya suka membeli produk dengan harga sedikit mahal, kini lebih suka membeli produk murah—meski tanpa hadiah. Perubahan prilaku seperti itu jelas berpengaruh pada pola kunsumsi mereka.
Karena produk-produk yang di-MLM-kan tidak bisa diperoleh di toko, jelas tidak cisa dibandingkan dengan produk sejenis. Jadi, kalau perusahaan-perusahaan MLM seperti Amway bisa terus tumbuh dan menag bersaing dalam masa krisis, itu karena momentum pasar memang pas bagi produk-produk MLM. Ini akan terwujud kalau perusahaan yang memakai MLM bisa memenuhi syarat. Apa itu? Komitmen sepangjang masa.
001 Versus 008
Kalau Papa jauh siapa yang kau telepon? 008! Jingle lagu kartun animasi produk sambungan langsung internasional (SLI) Satrelindo itu, selama beberapa waktu sempat membahana di layar TV. Biaya yang dikeluarkan Satelindo untuk iklan-iklan itu jelas besar. Dan itu wajar. Apalagi, bisnis SLI menggiurkan: pertumbuhannya tinggi dan margin labanya gemuk. Potensi pasar SLI memang menggiurkan.
Upaya keras Satelindo merebut pasar tentu saja tak didiamkan Indosat—yang tak kalah agresif beriklan. Di samping itu, langkah pemasaran lain pun dilakukan. Sasaran utamanya kalangan menengah. Sebaliknya, Satelindo lebih banyak menggarap pasar corporate seperti perusahaan multinasional dan hotel-hotel. Hotel Grand Hyatt, misalnya, menggunakan SLI 008 untuk semua kepeeluan akses ke luar negeri.
Persaingan anta dua penyedia SLI ini cukup unik. Dari segi tarif mereka tak bisa berkutik, karena sudah diatur Pemerintah. Karena sasaran utamanya pelanggan menengah (perusahaan mengengah-kecil dan perorangan), Indosat berupaya dekat dengan pelanggan. Perhatian ke pelanggan sangat ditekankan. Sementar itu, Satelindo lebih menekankan dua layanan utama: hot billing (HB) dan home country direct (HCD). HB member kesempatan konsumen untuk menanyakan langsung berapa tagihan teleponya. HCD unutk memudahkan konsumen di Indonesia berbicara dengan bahasa yang mereka pahami. Misalnya, orang asing di Indonesia ingin telepon ke negaranya, dia dapat memutar kode HCD negaranya, lalu secara otomatis akan tersambung dengan operator yang menguasai bahasa yang ia pahami.
Lain lagi Cristine Ariesta, Manjer Pemasaran PT Alfindo Putra-setia. Ia mengaku menggunakan jsa dua provider tadi. “Tapi, saya lebih banyak pakai 008,” katanay. “Perbandingan 70% menggunakan 008 dan sisanya 001.” Alasanaya? Menggunakan SLI minimal 2-3 kali berpresepsi, bila menggunakan 008 tagihannya murah sekalipun tarifnya sama.
Ketidakseimbangan atas pengenalan merk di atas tercermin dalam pembagian pasar kedua perusahaan. Meski sampai kini ganguan Satelindo masih kecil, Indosat tetap harus waspada. Iklan 008 yang semula berbentuk animasi kartun, menurut penggarapnya PT Spectum Kencana Mukti (SKM) atau First Edition, diilhami oleh tokoh fiktif agen rahasia Inggris, James Bond alias 007. Rose mengakui, membuat komunikasi yang tepat untuk 008 merupakan tantangan berat.
Sementara itu, tema iklan 001 pun bisa dikatakan berhasil—terbukti dari pengenalan konsumen yang tetap tinggi. Keberhasilan itu bisa dilihat dari konsistensi iklan-iklannya yang ditujukan ke berbagai fragmen pasar. Lebih dari 0 versi iklan 001 dibuat Inter Admark (IA), biro iklan Indosat. Temanya disesuaikan dengan waktu, media, dan sasaran pasar seperti Tahun Baru, semangka, seruling, tutup botol, martabak, bedug Ramadhan, Lebaran, hati, mata, pesawat, bola dunia, pigura foto, kopi dan roti, golf, satelit, stopwatch dan piala, pie, bulan, lipstick, dan beberapa versi lagi. Variasi tadi, masing-masing memiliki fragmen sasaran sesuai situasi dan kondisi. Contohnya, ketika bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri, yang tampil versi bedug. Ketegaran Indosat bertahan dengan tema 001, agaknya membuat 008 goyah.
Ancaman-ancaman dari pesaing yang tak terlihat itu, justru lebih berbahaya. Tantangan itu harus dijawab Indosat dan Satelindo, dengan makin mendekatkan diri ke konsumen melalui program relation-ship marketing, customer bonding, dan costomer retention.
Merebut Wanita Levi’s
Tak usah sungkan mengeksploitasi wanita. Tahun lalu, Levi’s Strauss Indonesia (LSI) mengembangkan produk baru: Women’s Fit. “Ini satu-satunya dan yang pertama kali ada merk jins wanita,” ungkap Kiki Rizki, Marketing Service Exekutive LSI.
Menurut Kiki, Women’s Fit dikembangkan Levi’s International setelah melihat potensi besar pasar wanita. “Jadi, Women’s Fit memang sudah disiapkan lama,” tambah Kiki. Apalagi, bagi Levi’s, pengembangan produk baru adalah hal biasa. Sejak dipimpin Robert Hass (1984), perusahaan ini mengalami perubahan orientasi. Bila dulu cenderung berpijak pada kegiatan manufacturing, sekarang beralih ke pemasaran.
Kiatnya? Tidak asal-asalan. Walaupun secara gambling prospek pasar wanita sudah kelihatan, misalnya, LSI tetap melakukan survey intens untuk mengetahui ukuran-ukuran yang pas bagi dewi-dewi Indonesia. Tidak hanya soal ukuran dan model yang dicari melalui riset. Soal penentuan harga pun, LSI melakukan survey sendiri, yaitu dengan mengundang para ABG. Dari mereka diperoleh gambaran harga yang pantas untuk produk-produk Levi’s serta besaran harga yang terjangkau bagi pasar Indonesia.
Masalah harga ini memang agak merepotkan LSI. LSI menyadari tipisnya segmen pasar sasaran. Karena tiu, cenderung memancing konsumen dengan menawarkan aspirasi-aspirasi Levi’s. menurut Kiki, karena target segmen pasar berubah menjadi A plus, strategi pemasaran yang digarap pun ikut lebih focus. Sebagai produk fashion, Levi’s memang harus memperhatikan prinsip-prinsip iamge making. Pertama, mengelola citra Levi’s. kedua, mengoptimalisasi strategi pemasaran. Ketiga, kelenturan merk. Maka, LSI mencegat dengan program-program kegiatan kawula muda yang mendorong kea rah pencarian tren di antara mereka. Antara lain, LSI bekerja sama dengan radio Prambos menyelenggarakan Levi’s Noise. Acara ini meminta tanggapan pendengar tentang Levi’s.
Kiki berharap, dari acara itu Levi’s dapat mengetahui keinginan konsumen dari hari ke hari. Tekad Kiki sekaligus merupakan gambaran perubahan wajah LSI. Sejak melepas lisensi terhadap Nico Moran (Jay Gee Enterprise) tahun 1996, LSI seola-olah bejalan sendiri—mulai dari nol—untuk memahami pasar. Namun, yang menarik, Nico masih mendapat kepercayaan mengelola butik Levi’s, antara lain di Plaza Senayan. Demikian pula, atmosfer yang digambarkan pun sama, seperti kita memasuki dunia koboi saja. “Begitulah gambaran Levi’s yang sesungguhnya,” kata Kiki.
Usul untuk Levi’s
Rasanya semua orang tahu, jins adalah pakaian untuk semua jenis kelamin, semua umur dan semua lapisan masyarakat, yang praktis digunakan pada semua kejadian. Di pihak lain, Levi’s yang untuk kurun waktu cukup panjang sinonim dengan blue jins, adalah symbol the flower generation atau baby boomers—pria maupun wanita. Karena itu, agak membingungkan ketika pada 1981, Levi’s meluncurkan Levi’s 501, jins untuk wanita.
Jadi? Pasar wanita bukan hal baru bagi Levi’s. yang baru adalah langkahnya dalam mendekati pasar wanita. Sejak itulah, Levi’s mulai memperhatikan wanita. Sebelum terlambat, akhirnya Levi’s meluncurkan Woman’s Fit. Karena itu, saya tidak kaget kalau Levi’s member nama merk Women’s Fit. Nama yang dipilh, agar pasar sasarannya langsung mengerti dengan nilai intinya: seksi. Tentu saja, karena nilai intinya yang sesuai untuk pasar wanita cukup banyak, maka dengan enaknya Levi’s memanfaatkannya.
Yang jadi masalah: munculnya Woman’S Fit di masa krisis. Sehingga SBT-nya cukup solid, karena pasar sasarannya banyak mengalami penurunan daya beli, market size yang akhirnya bisa diperoleh Levi’s jadi kecil sekali. Ini pun, kalau tidak dikelola dengan hati-hati bisa menyusut. Karena itu, Levi’s mesti menyesuaikan pemasaran strategis Woman’s Fit dengan masa krisis.
Maka, kalau boleh mengusulkan, sebaiknya Woman’s Fit hanya dijual di Original Levi’s Store. Selain itu, Levi’s pun harus menjalankan program loyalitas. Misalnya, mengadakan acara lady’s night di kafe yang khusus dihadiri pemakai Woman’s Fit. Sehingga, selain bisa menjaga citra di masa krisi, juga cukup memadai mencegah kemerosotan market size.
Menggelar Simpatik di TV
Sesuatu yang mampat harus dicarikan muaranya. Keadaan yang disebut creator iklan-iklan ngepop—Sanaflu dan Xon-Ce—ini sebagai blocking stakeholder, bagi pemasar jelas berbahaya dan harus segera diatasi. Seperti apa? Strategi komunikasi pemasaran biasa—promosi—tak cukup lagi. Yang harus ditingkatkan, strategimarketing public relations (MPR). Prisip MPR mengembangkan nilai-nilai yang lahir dari hubungan antara perusahaan dengan masyarakat demi mendukung pemasaran. Hal itu dilakukan melalui kegiatan dengan target sasaran publik. Contohnya, BCA, yang program Gebyar BCA-nya telah digarap setahun lebih. Bersama Indosiar, Gebyar BCA ditayangkan langsung setiap Sabtu malam selama sejam.
Nah, di saat BCA harus berdarah-darah karena isu rush dan kepemilikan saham yang berbau KKN, terbukti program MPR ini sangat membantu. Biakto menduga, kejadian yang mengakibatkan BCA kolaps murni persoalan blocking stakeholder. Rush BCA bukan karena penolakan nasabahnya. Paling tidak, ada tiga hal yang dipertimbangkan dalam pembuatan Gebyar BCA. Pertama, memanfaatkan acara untuk media komunikasi dan informasi utuh dan lengkap. Kedua, penghematan biaya ketimbang iklan biasa. Ketiga, tentu saja, factor hiburan.
Menurut Produser Eksekutif Gebyar BCA Wisnu Tama, yang menggarap tayangan itu hingga episode ke-53 saat ini, sambutan penonton memang luar biasa. Bagi Indosiar pun, proyek tayangan khusus ini menguntungkan. Pasalnya, station TV bisa menghemat biaya waktu (air time) senilai rata-rata US2,5-5 ribu. RCTI juga mengaku untung dari kerja sam serupa yang dilakukannya dengan Satelindo.
Pada dasarnya, program ini dibuat sebagai wujud komitmen Satelindo tetap bersama masyarakat Indonesia, meski dalam keadaan sulit sekalipun. Pertimbangannya, di saat situasi ekonomi sedang jeblok, pasar perlu dorongan agar tidak berhenti. Karena muara MPR adalah mendukung pemasaran, Satelindo tentu berharap bisa mengenyam keuntungan tersebut.
Barangkali, karena tayangan TV memiliki jangkauan paling luas saat ini, hampir semua perusahaan melarikan kegiatan MPR-nya ke TV. Berturut-turut kemudian lahir MPR yang berhubungan dengan peristiwa nasional.
Menurut Biakto, keunggulan MPR selain meningkatkanawareness, juga dapat meningkatkan kredibilitas, menunjang pemasaran, dan mengurangi ongkos promosi. Dari pemgalamannya menggarap MPR beberapa bulan terakhir, Biakto semakin yakin, MPR adalah jalan pembuka mengatasi krisis, baik dari sisi produsen, konsumen, maupun biro iklannya.
Sekali Dayung, Jangan Hanya Lewati
Rasanya semua orang tahu, kalau ingin konsumen lebih loyal, salah satu pilihan yang baik adalah menjalankan kegiatanmarketing public relation (MPR). Namun, kalau anada ingin mengedukasi pasar, saya rasa tidak cara lain yang lebih efektif selain MPR. Apalagi, kalau konsumen anda begitu banyak, begitu tersebar geografinya dan sangat beragam demografinya.
Itulah hal-hal yang ingin saya garis bawahi berkenan dengan kegiatan MPR yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan di Indonesia. Tentu saja, ini akan menimbulkan persoalan dengan efektifitas program itu—mulai dari media exposure hingga sampai/tidaknya pesan ke pasar sasaran.
Namu, di zaman normal, sedikit sekali perusahaan Indonesia yang menggunakan MPR. Padahal, selain biayanya relative murah, dampaknya jauh lebih besar dibandingkan sekadar menggunakan iklan. Contoh palaing menarik adalah MPR yang dilakukan Ford. Waktu mereka meluncurkan Ford Mustang, mereka pakai MPR. Maka, untuk produk yang berbeda dan dari perusahaan yang berbeda, mestinya model MPR-nya berbeda. Begitu juga, iklan layanan masyarakat.
Padahal, kegiatan itu dilakukan di masa krisis. Di mana masalah over communicated society lebih kecil dibandingkan sebelumnya. Karena itu, saya sungguh terkesan dengan MPR yang dijalankan BCA: Gebyar BCA. Banyak perusahaan yang produknya ada encrihment atau enlargement-nya sering hanya menggunakannewslettet atau direct mail untuk edukasi konsumen. Itu sebanya, edukasi yang dilakukan BCA dengan Gebyar BCA sungguh menarik. Pendeknya, dalam MPR ada yang tidak hanya ingin melewati satu pulau, tapi sekaligus dua pulau dengan sekali merengkuh dayung.
KASUS TAKTIK PEMASARAN
Kino Menggeser yang Kuno
Beginilah yang menjadikan panggung bisnis lebih berwarna. PT Kino Sentra Industrindo (KSI), produsen permen kopi merk Kino—diambil dari nama jeruk Pakistan—dalam debut iklannya sudah mengejutkan pemirsa dengan slogan menantang: “Gantinya permen kopi.” Artinya, bukan saja Kino menantang keadaan (krisis), tapi juga melawan pemain utama yang beberapa tahun merajai pasar permen kopi: Kopiko, permen kopi yang mengklaim sebagai ‘permen gantinya kopi’.
Gebrakan Kino—konon ini akronim kreatif dan inovatif—makin terlihat jelas dari survey SRI-AC Nielsen dua bulan belakangan ini. Sjofjian Dalier dari PT Corinthian Infopharma Corpora mengatakan, nilai bisnis permen memang sangat besar, sekitar Rp 185 miliar dari produksi total 1997: 93,77 ribu ton. Ada sekitar 250 merk dari 4 kategori—permen lunak, permen keras, permen karet dan permen vitamin—bersaing di situ.
Karena itu, Harry menyadari, memasuki pasar permen tidak mudah, Selain jumlah merknya berjibun, konsumen permen tergolong sangat tidak loyal. Harry menyiasatinya, dengan hanya memperkenalkan jenis rasa satu per satu. Ditambahkan Ali Sanusi, Presiden Komisaris KSI, keberhasilan penjualan permen didukung oleh peran pemasaran dan distribusi. Dari segi produk, paling tidak, Kino berhasil membuka ceruk pasar baru: Menerbitkan permen kopi lunak. Begitu pula, dari segi distribusi, Kino punyasuhu yang diandalkan, yaitu Ali Sanusi yang mamtan motor distributor obat panas dalam Cap Kaki Tiga (CKT). Pengalaman sebagai distributor kini diterapkan di Kino.
Caranya? DLS menyiapkan tim task force—antara lain 20 sepeda motor di Jabotabek—untuk masuk pasar becek dan warung rokok, serta 80 tenaga sales untuk mendatangi warung permanen. Stategi distribusi itu, sekaligus memanfaatkan kelemahan pesaing, yang menurut Ali ada tiga hal: Pertama, Kopiko terlalu laku; kedua, jumlah ekspor terlalu banyak, sehingga pasar dalam negeri agak terabaikan; ketiga, diskon yang diberikan ke distributor maupun pengecer, rendah. “Distributor ibarat dibagi tulang-tulang saja,” ungkap Ali menyindir.
Dengan konsep distribusi yang lebih tertata, Ali optimis, Kino akan berhasil di pasar. Menurut Harry, positioning dan dukungan distribusi itulah yang mendorongnya berani adu kepala dengan Kopiko. Adji menyadari, lawan yang dihadapi adalah pemain nomor satu. Sebaliknya, pengamat pemasaran sekaligus Direktur Frontier Marketing & Research Consultant, Handi Irawan Djuwadi berpendapat, upaya iklan Kino memperbandingkan dengan produk pesaing cenderung berbahaya.
Handi khawatir, bila Kino sibuk membandingkan diri dengan pesaing, ia sendiri lupa menampilkan manfaatnya. Nekat menganjal Kopiko—yang menurut data CIC merupakan pemimpin pasar dengan menguasai 12,9% kategori permen keras—berarti Kino harus menyiapkan modal besar dan berotot kuat. Otot kuat itu misalnya diperlukan untuk mengambil margin laba lebih rendah. Sesungguhnya, perbedaan-perbedaan yang ada—harga lebih rendah, permen lunak—menurut Handi, merupakan modal yang dapat diunggulkan Kino sebagai produk masa depan.
Tak Perlu Serangan Frontal
“Gantinya permen kopi!” kalimat seperti itu rasanya tidak pernah kita bayangkan bakal muncul. Namun, mungkin karena zaman tidak “normal“ lagi, hal yang semula tak masuk hitungan bisa muncul. Lalu, peluangnya? Sun Tzu dalam The Art of Warmengatkan, kalau Anda mau head on dengan pemain kuat, Anda harus punya defidine advantage dan strong assurance of victory. Teus terang, saya terkesan dengan strategi segitiga bisnis (strategic business triangle) Kino.
Namun, terusa terang, komunikasi Kino masuh kurang kuat. Ini terlihat dari brand awareness-nya yang belum bagus. Mestinya, dengan integrasi merk yang cukup bagus, Kino tidak perlu head ontapi cukup flanking, dengan menyebarkan pasukan paying. Yang disebut terakhir itu bukanlah hal yang bisa dianggap angin lalu.
Bagaimanapun, keberhasilan Kopiko sebagai permen pengganti ngopi bukan hanya karena dikomunikasikan dengan baik, tapi juga didukung diferensiasi konteks. Kopiko bisa melakukan hal itu, antara lain karena Kopiko permen keras. Memang, tak berarti Kino tanpa peluang sama sekali. Penggunaan harga untuk bersaing, bila dilakukan dengan hati-hati, bisa berhasil, sepanjang mampu membuat konsumen mendapatkan sesuatu yang berbeda—dengan deberi yang lebih murah.
Gasakan Suroboyoan Ekstra Joss
Walau pemain yang berlomba di kategori baru ini banyak—Livopitan, Kratingdaeng, M-150, Nagatan, dan lainnya—PT Bintang Toejoe (BT) menganggap peluang masih ada. “Bintang Toejoe ingin mengisi sasaran mengah bawah,” kata Ir. Simon Jonatan, Manajer Pemasaran BT yang ikut membidani kelahiran Ekstra Joss (EJ). “Apa salahnya nebeng popularitas para perintis, yang penting tidak mengambil ide sukses mereka.” Tambahnya.
Dari awal, EJ diposisikan bermain di wilayah menengah bawah. Untuk itu, diciptakan diferensiasi yang mendukungpositioning-nya. Pertama, EJ dijual dengan harga murah. Kedua, EJ –berkomposisi sama dengan produk lain: terdiri dari taurine, inositol, nicotinamide, vitamin B1, B2, dan B6, serta gingseng—dibuat berbentuk serbuk yang dikemas dalam sachet. Ketiga, penamaan merk yang lugas dan akrab. Hasilnya, bukan main.
Meskipun positioning dan diferensiasinya bagus, EJ sempat tersandung oleh iklan pertamanya yang cenderung tidak lantang mengkomunikasikan keunggulan produk. “Strategi komunikasi memang harus bertahap,” kata Simon membela diri. Ia menjelaskan, iklan pertama memang tidak bisa diharapkan mencapai semua tujuan. Lalu, tahun 1996, BT membuat konsep iklan baru bersama Hotline.
Menurut pengamatan Handi, iklan baru EJ yang memperlihatkan suasana kerja kontraktor di lapangan merupakan kampanye repositioning yang sangat berhasil. Lalu, dalam iklan itu, EJ makin lugas pula diposisikan seperti minuman kesehatan botol.
Subiakto Priosoedarsono, bos Hotline, puas dengan kreativitas timnya. Ia menjelaskan, arena perang ke-1 menitikberatkan pada aspek kualitas versus harga, dan arena perang ke- pada aspek waktu dan teknologi. Adapun EJ langsung melangkah ke arena perang ke-3, yang terkait dengan upaya mematikan pesaing yang memasuki pasar sejenis: minuman kesehatan bentuk serbuk. Beberapa perubahan mendasar atas konsep komunikasi iklan lama dalam iklan baru dipuji sebagai keberanian mengubah kelemahan menjadi kekuatan. Namun, ternyata tidak mudah mendapatkan pelanggan loyal. Hasil survey FMRC December 1996 di empat kota (Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya) terhadap 1000 responden tentang konsumsi minuman penambah tenaga dalam tiga bulan terakhir menunjukan, loyalitas konsumen tidak terlalu tinggi (lihat tabel).
Jika hasil survey itu benar, berarti setiap merk berkekuatan sama dalam memperebutkan pasar. Bagi EJ, hal itu justru lebih menguntungkan, karena sejak awal ia telah mengembangkan diferensiasi produk secara tajam. Demikian pula soal kesinambungan komunikasi. Saat ini, EJ paling gencar beriklan. Langkah berani EJ menggasak para pesaing dengan atribut komunikasi yang dipercayainya ampuh, akhirnya berbuah. Bersamaan dengan penjualan yang meningkat, biaya iklan EJ—90% disalurkan ke TV—ikut meledak. Walau begitu, Simon mengakui, secara keseluruhan pasar minuman kesehatan masih dipegang Kratingdaeng dengan pangsa 45%, sedangkan EJ hanya 29%. Masih panjang jalan yang harus di tempuh EJ untuk jadi pemain terdepan.
TABEL: Minuman Penambah Tenaga yang DI minum dalam 3 bulan Terakhir
Merk Jumlah (responden) (%)
_______________________________________________________
Kratingdaeng 731 73,7%
Ekstra Joss 432 43,5%
M-150 150 15,1%
Gatorade 117 11,8%
Lipovitan 55 5,5%
Panther 40 4,0%
Tonotan 25 2,5%
Nagatan 16 1,6%
Supertin 13 1,3%
Fit-Up 3 0,3%
Mukasa 2 0,2%
Lain-lain 14 4,4%
TOTAL 992 164,1%
*) Survei dilakukan pada Desember 1996 di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.
Memberikan Nilai yang Sebenarnya
Resminya Surabaya adlah kota nomor dua di Indonesia, setelah Jakarta. Karena itu, banyak pemain baru yang masuk atau membangun pasar di Indonesia, memilih menggarap lebih dulu Jakarta dan sekitarnya. Lho, apa nggak salah? Begitu kata orang, ketika Dahlan mulai menghidupkan kembali Jawa Pos. memang betul kalau hanya menghitung orang Surabaya di Kota Surabaya. Orang-orang semacam itulah, yang akhirnya membuat Jawa Pos tidak hanya terbatas untuk orang Surabaya ataupun Jawa Timur, melainkan ke seluruh Indonesia.
Yang menggembirakan, ternyata ada banyak Dahlan lain. Misalnya saja, Bintang Toedjoe (BT) yang membuat minuman kesehatan untuk segmen menegah bawah, Ekstra Joss. Maksudnya, kian banyak orang yang butuh menuman kesehatan. Padahal, contohnya bukan tidak ada. Bukankah jamu, yang banayak dikonsumsi SES menengah bawah itu, kebanyakan dibuat berbentuk serbuk dan dikemas dalam sachet? Hanya saja, meski jamu itu sebenarnya juga diposisikan untuk menjaga kesehatan, ia mulai kurang popular.
Tidak demikian BT, yang melihat bahwa SES menengah-bawah sebetulnya juga butuh miniman kesehatan. Kompetensi BT terlihat dari kemampuan tetap memberikan komposisi yang sama dengan produk minuman kesehatan lainnya—termasuk mengandung ginseng dan vitamin B6—tapi harganya jauh lebih murah. Apalagi Ekstra Joss bisa mengelola komponen pembilang, yang terdiri dari functional benefit dan emotional benefit.
Ekstra Joss bisa dibilang memberikan nilai yang sebenarnya pada konsumen. Mengapa? Total get-nya tidak berkurang. Last but not least, kita paut member acungan jempol buat BT atas strategi pemasarannya.
Meraih Sukses Berkat Co-Branding
Pemasar sering menghadapi dilemma ketika memperluas produknya. Co-branding merupakan penggabungan dua merk atau lebih demi menciptakan sinergi. Inilah jalan pintas meraih pengenalan merk. Pemasar tak perlu repot mengeluarkan banyak uang. Cukup dengan menempelkan logo Intel Inside pada sebuah computer, segera citra computer tersebut terangkat. Mengapa? Intel memiliki presepsi kualitas di benak konsumen.
Kini situasi berbalik. Produsen PC justru belum puas bila tak memasang logo Intel Inside. Intel, setelah namanya terkenal, bahkan akhirnya menjual pula produk lain: faks/modem, motherboardcomputer pribadi, dan peralatan video conference. Nutrasweet tak jauh berbeda jauh. Banyak produk diet dan kesehatan yang memetik manfaat tertentu dengan memasang logo Nutrasweet.
Penggorengan Maxin, produksi Maspion, mencoba jurus co-braqnding dengan menggaet Telfon sejak 1989. Tefol adalah merk paten Dupont untuk lapisan coated peralatan memasak. Menjadi bagian dari produk lain bahkan menguntungkan produsen makanan seperti Hershey di AS.
Bentuk lain co-branding adalah composite brand. Ini sama saja membundel dua merk dengan member manfaat lebih ke konsumen sekaligus menekan biaya. Meski baru diperkenalkan Juli 1992, Maestro segera saja meraih sambutan dari 1.391 lembaga keuangan, 493 ribu terminal POS serta tersedia di 69 begara. Bank Bali, misalnya, menyediakan tujuh kartu co-branding Maestro.
Masing-masing merchant memberim perlakuan khusus yang berbeda atas setiap kartu co-branding ke para pemegang kartu seperti diskon khusus, intensif untuk sejumlah pembelian tertentu dan undian berhadiah. Sementara itu, Bank Lippo menawarkan delapan jenis kartu: Amcol Card Star, Hero Star, Amway Card Star, Ponderosa Group Star, Gramedia Star, Matahari Star, Pizza Hut Star, dan Garuda Indonesia Star.
Jangan nheran, jumlah pemegang kartu Maestro lebih besar ketimbang kartu kredit. Rahasianya, persyaratan ringan. Sebenarnya produk apa yang cocok memanfaatkan co-branding? Menurut Kafi Kurnia, co-branding lebih tepat dimanfaatkan untuk produk berkandungan teknologi tinggi dengan investasi yang besar pula.
Pengamat pemasaran dari Magister Manajemen Universitas Indonesia, Martani Husaini, berpendapat senada. Produk konsumsi missal, menurutnya, memiliki repeat buying yang tinggi sehingga berisiko renadah. Apa pun alasannya, strategi co-brandingmerupakan alternative bagi produsen yang ingin melakukan eksternsi merk, tapi kecut menghadapi risiko dan biaya yang besar.
Pilih Kawin atau Kumpul Kebo
CEO Intel, Andi Grove memang hebat. Beberapa tahun lalu dialah yang punya ide mempopulerkan merk Intel. Sebelumnya orang Cuma tahu IBM dan merk-merk pembuat computer lain. Padahal, Mikroprosesor merupakan jantungnya computer. Mikroposesorlah yang mamaska data dan menghidankannya sebagai informasi. Karena itu, Andy kesal, kenapa Cuma nama komputernya yang dikenal dan bukan nama Mikroposesornya. Dengan susah payah dia menyakinkan para pembuat computer bahwa hal tersebut member keuntungan ganda.
Pertama, hanya pemasok mikroposesor yang lebih murah yang kan meningkatkan keuntungan. Kedua, dia berjanji akan melakukan consumer education, bahwa mikroposesornya-lah yang sebenarnya indicator utama kualitas sebuah computer. Padahal dengan pencantuman label tersebut, sebenarnya, AAndy melakukantangibalizing the intangible (memaksimalkan sesuatu yang tadinya tidak kelihatan).
Dalam konteks berbeda, BASF pernah melakukan hal yang sama. BASF dating meyerbu Indonesia dengan memeberikan diskon, bantuan pencetakan label daftar lagu, dan pembayaran p[eriklanan kaset dengan syarat: nama BASF ikut dibawa—di penggung pita kaset maupun di iklan-iklan dan produknya sendiri.
Strategi ingredient co-branding tersebut sebenarnya cocok bukan hanya untuk produk berteknologi tinggi. Namun, kalau produk anda bukan komponen penting, agak susah meminta para pembeli ikut menentukan merk komponen tersebut. Pada merk komposit yang membundel dua merk, hasilnya lain lagi. Tujuannya, mengkawinkan citra kedua merk yang ada.
Maka, muncullah masalah-masalah. Pertama, seberapa seimbang kekuatan masing-masing merk. Kedua, dua merk yang asosiasinya kuat dengan dua kategori produk akan bisa memperkuat kedua belah pihak. Ketiga, co-branding bisa bertujuan memperkuat merk lain. Keempat, co-branding bisa menciptakan kategori produk baru. Kelima, co-branding bisa dipakai untuk menempelkan personalitas merk yang dipunyai salah satu merk yang di bundle.
Setelah membhas semua aspek co-branding, paling tidak ada tiga hal yang harus diingat sebelum anda melakukannya, pertama, perhitungkan berapa tambahan ekuitas yang anda peroleh dari menggandengkan diri dengan merk lain. Kledua, perhitungkan tambahan asosiasi apa yang akan menempel pada merk Anda. Secara total merusak atau memperkaya? Ketiga, berapa lama Anda akan ber-co-branding, sementara atau seterusnya. Jadi, putuskan lebih dulu: mau kawin atau sekedar kumpul kebo.
menggugah pasar lesu
Kekacauan ekonomi tak pelak lagi mengacaukan pasar produk elektronik. Tatsuya Amacho, Penasihat Divisi Pemasaran PT Sony Indonesia (SI) juga mengakui kenyataan itu. Begitu pula, PT I stana Argo Kencana (IAK), agen tunggal Sanken. Dalam keadaan seperti ini, tentu saja semua produsen mengkaji ulang kebijakan pemasarannya.
Langkah Toshiba: secara internal mengetatkan biaya iklan, terutama untuk aktivitas above the line. Secara eksternal, Toshiba justru akan meluncurkan produk baru: TV, mesin cuci, dan DVD, Desember mendatang. Sanken pun melakukan hal yang serupa. Tampaknya, uapaya pengembangan produk baru dapat menutupi penurunan penjualan Sanken.
Satu hal yang menjadi perhatiannya adalah harga. Sementara itu, aktivitas periklanan sengaja dievaluasi secara selectif danterarah. Yang menarik, upaya SI menggaet simpati. Strategi semacam itu bukan tanpa alas an. Menurut Amacho, SI tidak sekali ini menghadapi pasar lesu. Tahun 1992 pun ada kejadisn serupa, bahkan jauh lebih buruk daripada saat ini. “Yang pointing, waspada terhadap perubahan pasar,” ujarnya.
Untuk mencapai target penjualan yang sudah ditetapkan—sebelum depresiasi, SI menargetkan penjualan Rp 360 miliar, dan itu tidak berubah—SI berpromosi ke daerah-daerah selam Oktober 1997 sampai February 1998 untuk kategori produk TV, video CD, dan audio.
Menurut A.B. Susanto, Mitra Pengelola The Jakarta Consulting Group, strategi para produsen elektronik tersebut cukup tepat. Dalam keadaan pasar lesu, promosi langsung memang lebih tepat, termasuk member diskon ke pedagang atau fasilitas sejenis lainnya.
Jadilah Ade Rai
Ketika saya berbicara dalam seminar yang diselenggarakan Stanley Adam awal bulan lalu (sekitar Oktober 1997, red) H. Mahtum Mastoem, Pemimpin Usaha Gatra, sebgai moderator sempat bertanya, bisakah pemasaran digunakan sebagai kunci bertahan dan menang dalam era krisis moneter seperti sekarang?
Maklumlah, dalam situasi krisi moneter seperti sekarang, mau jual apa saja sangat susah. Lalu apa jawaban saya? Bagi saya, khususnya setelah IMF memberikan sejumlah jamu, justru situasi sekarang adalah saat pemasaran diperlakukan. Yang membuat saya jadi semakin yakin bahwa pemasaran harus digunakan adalah ketika saya bertemu dengan Al Ries di Hyatt Regency Atlanta, 27 Oktober (1997, red) silam.
Maka, dalam pertemuan itu, Ries lebih banyak mengupas mengapa saham-saham di bursa bisa punya nilai yang begitu tinggi. Misalnya ia bertanya, apa yang menyebabkan saham Dell dalam dua tahun terakhir naik hingga 200%? Yang kemudian, langsung dijawabnya, “Karena focus!” Lihat saja, teknologi Dell sebetulnya bukan yang terbaik. Karena itu, saya berpendapat, situasi sekarang yang dikatakan sulit menjual apa pun, akan menjadi momentum buat kritalisasi. Semsntara itu, mereka yang punya kompetensi inti di bisnis tertentu, mesti focus pada bisnisnya. Karena, di sinilah mereka bisa memberikan nilai tertinggi ke pelanggan.
Toh, jangan sampai upaya pengurangan itu dilakukan secara drastic. Selain itu, saya sarankan, Anda tidak main banting harga. Kalau anda memang mau mendorong penjualan tetap tinggi dalam situasi susah jual barang, caranya bukan di banting harga, tapi tetap dengan pemasaran. Jadi, ada tiga hal penting yang harus di lakukan agar bisa bertahan dan menang dalam era krisis moneter ini. Pertama, focus. Kedua, cut your fat, strengthen your muscle. Ketiga, dengan pemasaran.
Tekita, Melawan Sosro atau Coca Cola?
Jarang ada pemain baru seyakin Tekita. Sungguh cita-cita besar. Buat PCI, situasi demikian bukan masalah besar. Babak kedua, membangun merk. Ini antara lain dengan meluncurkan Tekita. Awalnya, pada tahun 1990, PCI melakukan serangkaian riset pasar dan produk. Hasilnya, menurut Lance Tanaka, Direktur Pengelola PCI, Tekita harus diluncurkan dengan konsep inovatif—dari rasa, kemasan, volume, hingga strategi disrtribusi.
Soal rasa, misalnya. “Konsumen ternyata lebih suka rasa the yang tak telalu manis dan tak terlampau kental,” papar Lance. Bagaimana strategi distribusi Tekita, yang jadi basis kekuatan? Yadi, yang juga mengelola PT Buana Distrindo (BD)—distributor Tekita—menjelaskan, Tekita membagi pasar menjadi dua. Pertama pasara tradisional, seperti pedagang kaki lima dan asongan. Kedua, pasar modern, seperti Hotel, mal, dan pasar swalayan.
Untuk pengelolaan pasar tradisional, BD bekerja sama dengan agen besar yang menguasai satu wilayah tertentu. Untuk pengecer, selain melalui agen, BD juga member layanan langsung dengan memanfaatkan 180 kendaraan distribusi. Ada dua factor utama keberhasilan di sini. Pertama, kekuatan. Siapa yang berhasil mamasuki wilayah lebih awal dan bisa memegang gacoan atau orang yang paling berkuasa di wilayah itu, akan sukses. Kedua, layanan. Bagi pedagang eceran, layanan adalah masalah utama, khususnya dalam harga dan ketepatan penyedian barang.
Agar minat agen besar dan pengecer menjajakan Tekita terjaga, BD memberikan beberapa intensif. Yaitu, bonus satu tahun sekali, jika penjualan melebihi target; memberikan sarana bisnis, seperti kotak pendingin dan baju seragam; member informasi tentang daerah-daerah yang berkembang; dan mencarikan akses KUK untuk pengembangan usaha. Dari pengalaman Yadi mendistribusikan Tekita, pertarungan paling ketat adalah saat memasuki wilayah yang sudah mapan tapi mengalami perubahan cepat. Contohnya, Grogol. Dalam hal ini, Tekita tidak hanya berjuang menghadapi situasi pasar baru, tapi juga perebutan dengan para pesaingnya.
Sosro masih menguasai 70% lebih. Bahkan, klaim Luice C. Dy Buncio, Kepala Divisi Pemasaran PCI ini pun diragukan sumber SWA. Bambang juga tak yakin akan klaim itu. Menurutnya, selama ini gebrakan Tekita terganjal dominasi Sosro atas pedagang besar. Rasa Sosro sudah diterima baik oleh konsumen. Harganya terjangkau dan tersedia di mana-mana.
Menurut Bambang, ketertarikan konsumen terhadap rasa Tekita rendah. Bambang juga tak yakin dengan komitmen PCI. Ia menduga, PCI akan memanfaatkan bangunan infrastruktur distribusi Tekita yang sudah jadi. Secara tak langsung, Yadi membenarkan hal itu. Tekita hanyalah langkah awal untuk rencana yang lebih besar.
Rencana PCI tersebut jelas luar biasa. Soalnya, ada kesan pada akhirnya mereka akan masuk ke seluruh segmen—satu hal di mana pemain lain yang lebih besar pun, seperti Coca-Cola dan ABC, tak berani melakukannya. Segala kemungkinan memang bisa terjadi. Yang pasti, kini Tekita telah kembali berkampanye dengan pesan yang sama sekali baru: “Tekita adalah Teh kami.”. hanya saja, Tekita tak sendirian. Sebuah pertarungan yang memang belum selesai.
Bertumpu di Atas Kaki Sendiri
Adalah sejumlah pegawai perusahaan distributor Sun Microsystems (SM) di Norwegia, Skrivervik Data. Mereka tertarik mengumpulkan berbagai informasi Olimpiade Musim Dingin 1994, dan berharap bisa diakses banyak orang, sebelum dan selama Olimpiade. Demi nama baik SM, para pegawai SM di Norwegia lalu menghubungi kantor pusat SM, di Amerika Serikat, yang bertugas menagani homepage.
Sebaliknya, IBM yang merupakan sponsor resmi olimpiade itu mencak-mencak, karena ada yang “mencuri di tikungan”. Karena sikap IBM yang seperti kebakran jenggot itulah, nama SM justru makin melambung. Kesuksesan SM tentu saja membuat panas IBM, dan mendorongnya untuk membalas melalui Olimpiade Musim Panas 1006 di Atlanta, AS. IBM tak hanya memanfaatkan jaringan global miliknya, tapi juga mainframe-nya.
Toh, itu tak membuat IBM gentar. Ia pun kemudian mencari medan lain untuk unjuk kebolehan produk andalannya. Langkah SM dan IBM hanya contoh yang biasa dilakukan untuk menggoyang status quo di pasar—selain cara konvensional, yakni pemunculan produk baru di pasar, itu sebabnya, ketika Pepsi-Cola meluncurkan Tekita dengan ayunan langkah cukup serius, wajar kalau kemudian muncul pertannyaan: apayang dicari Perpsi-Cola? Melawan Sosro atau Coca-Coala? Masing-masing raja di kategorinya.
Di samping pemain local lain, Sosro juga menghadapi pemain multinasioanal. Kans Tekita? Produk ini, seperti Hi-C dan Lipton, selain didukung perusahaan yang punya deep pocket serta jaringan distribusi dan pemasaran yang kuat, juga berinovasi dalam rasa. Sejauh ini, Tekita cukup berhasil.
Agar lebih jelas, kita lihat di kategori air mineral. Di sini, rasa sebetulnya sulit digambarkan. Demikian pula, Sosro. Nah kalau keadaannya begitu, Pepsi-Cola seharusnya tidak Cuma habis-habisan dengan Tekita. Kini Pepsi-Cola harus berhati-hati. Sebab, proses franking yang dilakukannya melalui Tekita itu ternyata telah membangun sejumlah harimau lain yang tak suka kekuasaanya diusik.
Hati-hati Memilih Kategori
Ingin meneguk bir tanpa mabuk? Minum saja Beck’s Beer. Tampilnya Beck’s di kategori bir non alcohol, bukan sekedar asal tampil beda. Memunculkan kategori baru seperti yang dilakukan Beck’s memang penuh risiko. Kasus Frezzy Malta bisa jadi pelajaran.
Toh, kegagalan tersebut tak menyurutkan banyak pemasar untuk menciptakan kategori prodik baru. Selain itu, para pemasr pasti ingat pesan pakar pemasaran Al Ries dan Jack Trout: Jika Anda tidak dapat menjadi yang pertama dalam suatu kategori, buatlah kategori baru yang menjadikan Anda yang pertama.
Contoh lain, Unif, yang mencoba masuk kategori baru sebagai minuman soda vitamin. Minuman macam Unif kini makin banyak dijumpai di ritel. Belakangan, dinamika selera konsumen melahirkan formulasi minuman berserat. Konsep penambahan serat ke minuman ringan berawal dari Jerman. Di Jepang, setiap tahun muncul 500 kategori minuman baru. Pasar Jepang dikuasai minuman ringan nonkarbonat. Penggunaan rempah sebagai salah satu bahan dalam formulasi juga sudah banyak, tapi jumlah dan jenis rempah yang diaplikasikan masih terbatas. Yang sudah terbukti berhasil di sini Teh Botol Sosro. Dua dasawarsa silam tak ada yang menyangka, mengemas teh dalam botol akan laku dijual. Pada akhirnya kategori minuman dalam kemasan botol bisa diterima masyarakat dan sukses.
Contoh sukses meraih kategori baru yang paling popular dilakukan Sony dengan Walkman-nya. Meski kemudian Sony menciptakan kategori baru seperti Discman dan Videoman, tapi tak ada yang sesukses Walkman. Newton mencoba menjadipersonal digital assistant (PDA). Sayang , malah membingungkan konsumen: apakah ini computer, alat komunikasi, atau organizer.
Menjadi PDA semula memang menguntungkan Newton. Ia tak punya pesaing, sebab menjadi pertama di kategori PDA. Sebagai computer pena, ia melawan arus, karenma generasi muda lebih suka menggunakan keyboard ketimbang pena. Sebagai alat komunikasi Newton pun serba tanggung: hanya menyediakan fasilitas facsimile. Padahal, mesin faks belum tersedia di sembarang tempat, seperti halnya telepon.
Jack Trout memberikan solusi bagi Newton. Belakangan, Apple bekerja sama dengan Bandai Corporation, Jepang, (produsen Power Rangers) menciptakan: Set TopBox (semasa uji coba dinamakan Pippin).
Jangan Sekadar Baru
Ketika tulisan ini dikirim untuk dikomentari, saya sedang mengikuti program pendidikan eksekutif di Sekolah Bisnis Kellogg, Chikago, AS. “Sepanjang pengetahuan saya, bir tanpa alcohol itu tidak pernah berhasil di mana pun, bahkan juga di Jerman,” kata Ramon.
Dia minta saya mencoba bir itu. Setelah saya minum, harus diakui rasanya datar, tidak ada apa-apanya, bahkan lebih terasa “rasa kaleng”-nya. Secara tidak sengaja, Corona berhasil jadi satu-satunya pemain di kategori bir baru. Padahal, isinys biasa-biasa saja. Semsntara itu, Beck’s Beer bisa jadi berfikir bahwa hamper 90% penduduk Indonesi adalah muslim. Apalagi, semakin banyak orang yang ingin kelihatan minum bir untuk kepentingan sosialisasi.
Satu faktor lagi yang perlu dipertimbangkan, khusus di Indonesia. Saat ini sementara terjadi penurunan penjualan bir, antara lain kaqrena pil ecstasy sudah ngetrend bahkan sampai ke tingkat eksekutif. Konon, sebutir pil yang bisa membuat badan bergoyang sepanjang malam itu baru efektif kalau diminum dengan air putih biasa—bukan minuman berakohol.
Jangan salah mengerti terhadap keberhasilan A.Mild, yang juga menciptakan kategori baru dengan menawarkan konsep: tetap merokok tapi sehat. A Mild berhasil, karena ceruk pasar perokok yang ingin menunjukan suatu gaya hidup tertentu sudah cukup besar. Jadi, walaupun rasa A Mild jauh lebih cemplang disbanding rokok keretek biasa, tapi tetap dianggap lebih gurih disbanding rokok putih.
Walkman berhasil, karena manfaat utama mendengarkan suara hi-fi streo tidak berkurang, bahkan jauh lebih jelas sebab suaranya langsung masuk ke kuping. Sementara itu Unif, menurut saya, lebih berhasil bila diposisikan sebagai: vitamin berbentuk minuman soda, ketimbang minum soda tambah vitamin. Ingat, kisah sukses klasik Kopiko yang diposisikan sebagai kopi berbentuk permen, dan larutan penyegar Cap Kaki Tiga, yang diposisikan sebagai jamu panas dalam berbentuk air.
Kisah Teh Botol Sosro lain lagi. Semua orang tahu, awalnya, Sosro tepaksa mati-matian melakukan consumer education, sebelum saluran distribusi mau menerimanya. Kalau Sosro berhasil setelah produk teh botol dingin langsung dijual ke komponen dengan gerobak dorong, maka Aqua meledak terutama justru karena harganya dinaikan dan disediakan kemasan gelas plastic yang praktis.
Suatu produk yang sifatnya mau membentuk kategori baru memang harus melalui masa pendidikan konsumen innovator, yang pada gilirannya diharapkan bisa mempengaruhi konsumen early adopter dan early majority, yang jumlahnya jauh lebih besar. Jadi, setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan untuk mengurangi. Risiko kegagalan. Pertama, jangan membuat suatu kategori baru, yang tidak jelas manfaat utamanya bagi konsumen yang dituju. Kedua, produk yang sama bisa berarti lain di benak konsumen. Ketiga, konsep yang baik harus disertai berbagai peluncuran yang habis-habisan. Kerja keras, pintar membidik innovator, dan pendidikan konsumen merupakan kunci implementasi yang harus diterapkan. Karena itu, jangan sekadar baru.
Adu Ringan Mild vs Lights
Penurunan penjualan selama dua tahun terakhir membuat Djarum dan Bentoel sadar, pasar telah berubah. Kesadaran itulah yang memaksa Djarum dan Bentoel meluncurkan masing-masing LA Lights dan Star Mild. Di Indonesia perkembangan rokok jenismild/lights tergolong lamban. Menurut konsultan pemasaran Handi Irawan Djuwadi MBA MCom. Sementara itu, jenis full favourporsinya tinggal 15%-20%.
Menurut Haryanto Wiratman, Wakil Direktur PT Djarum, pangsa pasar rokok rendah tar dan nikotin saat ini sekitar 5% total pasar rokok Indonesia, atau 910 juta batang per tahun. Haryanto menampik dikatakan Djarum ikut latah masuk ke kategori Rokoklights.
Selain mengunggulkan rasa kretek yang masih kental, LA Lights juga mengunggulkan kadar tar dan nikotin. Kalau A Mild memiliki kadar tar 15 mg dan nikotin 1,1 mg, LA Lights memiliki kadar tar 14 mg dan nikotin 1,1 mg. Banyak yang beranggapan, munculnya LA Lights terlalu lambat:’ A Mild sudah terlalu kokoh untuk diserang.
Menurut sumber di Indo-Ad, iklan baru A Mild yang muncul pada pertengahan 1996 itu, merupakan penegasan bahwa produk A Mild bukan produk yang sekedar bisa basa-basi. Dalam iklan, basa-basi itu dilukiskan dengan gigi, sementara alat perlindungannya paying.
Djarum pun tampaknya tahu diri. Iklan LA Lights tidak menyerang secara frontal produk pesaing utamanya, A Mild. Dalam distribusi yang dipilih juga cara gerilya. Melihat pola distribusi yang diterapkan, wajar jika LA Lights masih sulit dijumpai, terutama di warung-warung rokok kaki lima atau pedagang asongan.
Konsep iklan LA Lights tampaknya tidak mau kalah dari A Mild. Jika A Mild memvisualisasikan kerendahan tar dan nikotinnya dengan kertas melayang-layang, LA Lights menggambarkannya dengan mobil yang dapat melayang dan turun serta mencari tempat parkir sendiri. Menurut pengamatan pemasaran sekaligus penikmat rokok Bambang Bhakti, strategi LA Lights cukup berhasil. Konsumen, menurut dia, bisa memilih keduannya.
Denagn kondisi seperti itu, apa yang harus dilakukan Djarum? Menurut Bambang ada tiga langkah. Pertama, bereskan masalah distribusi. Kedua, lakuakan sampling besar-besaran, karena LA Lights terletak pada produknya. Ketiga, kegiatan harus lebih menggigit lagi. Bagaimana Star Mild dari Bentoel? Beberpa pengamat melihatnya hanya bakal jadi pengikut.
Pahitnya Perang Kopi
Kirs-kira medio Juni 1998, tiba-tiba setiap ujung jalan, terminal pasar, serta bus kota dan angkutan kota lainya di Jakarta, penuh tempelan berisi peringatan agar hati-hati dengan cara penipuan kopi Kapal Api (KA). Dengan huruf mencolok disebutkan, undian berhadiah kopi KA yang dijanjikan, bohong belaka.
Aneh memang. Selebaran yang sangat banyak itu bisa tertempel strategis di tempat-tempat keramaian, meski tidak jelas identitas pembuatnya. Anehnya lagi, KA, yang pasti tak menduga bakal diserang seperti itu, tidak terlalu menggapi. Paulus I. Nugroho, Executive Vice President PT Santos Jaya Abadi (SJA), sang produsen, yang biasanya terbuka terhadap SWA, kali ini menolak diwawancara.
Kalau ada motif persaingan di balik kejadian itu, wajar saja. Sebab, KA memang membuat iri. Nah, bila sekarang program undian berhadiah yang menjadi ciri khas kopi KA—karena berlangsung puluhan tahun—dihajar, berarti sang musuh tahu persis di mana kekuatan lawan yang harus dihancurkan.
Ia mengatakan terus terang, pesaing kopi bubuk memang seperti di ujung pedang. Maklumlah, semenjak krisis, pasar yang diperebutkan mengecil, sementara harga kopi terus mendesak naik. Pesaing-pesaing utama KA, bisa disebut: Nescafe, Ayam Merak (AM), Torabika, dan Indocafe. Harga, sebagai akibat naiknya harga biji kopi sampai 300% (terbawa melambungnnya nilai tukar dolar AS terhadap rupiah), memang tak bisa dihindari harus naik–hingga 100% lebih.
Tekanan memang menyebar ke segala penjuru. Kopi memang industry yang luar biasa. Keberhasilan merk-merk nasional seperti KA, Torabika, atau Nescafe, dikarenakan kemampuan mereka menembus rasa dan selera disetiap ujung wilayah. Menurut Handy Noerianto, Wakil Presdir PT AM, sukses pemasaran kopi tergantung tiga hal, yakni: brand awareness, kualitas produk, dan distribusi. Ketiganya kini tengah dikebut AM yang belakangan cenderung ekspansif mengejar ketingglan. Salah satu atribut yang mencolok: AM juga menyerbu Jakarta dengan leafet-leafet berbunyi keras: “Kopi Boleh Sama Hitam. Soal Rasa, Ayam Merak Lebih Nikmat.”
Maka, tidak heran bila perusahaan yang mulai berproduksi pada 1965 ini dituduh sebagai biang penyebabnya. Handy pun heran dengan tindakan pesaing yang tidak elegan. Lebih mengherankannya, bila AM kemudian diduga menjadi biang kerok. Namun, harus diakui, strategi distribusi dan strategi harga AM bisa membuat pesaing kelimpungan. Agaknya, serangan AM membuat KA tidak berkutik. Di saat susah uang, konsumen cenderung memilih harga yang lebih murah.
Satu lagi keuntungan AM: ia lebih kenal Jabotabek. Maklumlah AM memang lahir dari sini. Handy menolak jika dikatakan AM lebih cerdik menempatkan barang di gerai-gerai kecil. Perang kopi terlihat jelas di distribusi. Karena konsumen juga sangat loyal terhadap merk, tak aneh kalau posisi KA sulit tergoyahkan.
Buat produsen kopi, menurut Direktur Fronter ini, tidak ada pilihan lain: jika ingin menguasai pasar, harus gencar beriklan. Sayangnya, kebanyakan produsen kopi bubuk di Indonesia tergolong konservcatif dan tradisional. Sebab itulah, mereka masih bersedia menyerang dengan cara-cara yang kurang elegan, ya seperti menyebar isu tentang kopi KA.
Pelajaran dari Kapal Api
Banyak orang hanya sekedar membahas promosi, iklan, atau penjualan saat berbicara tentang pemasaran. Artinya, agar bisa bertahan dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan usaha, perusahaan perlu memaafkan Sembilan elemen utama pemasaran, sesuai kondisi lingkungan usahanya. Itulah beberapa hal yang harus saya garis bawahi, ketika mendengar kabar bahwa kopi Kapal Api (KA) yang dulu seperti tak tergoyahkan, tiba-tiba dalam masa krisis ini kerepotan ketika menghadapi serangan Kopi Ayam Merak.
Kalau kabar itu memang benar, jelas sungguh mengejutkan. Yang juga tak bisa dilupakan adalah upaya KA menempatkan kualitas sebagai ujung tombak keunggulan produk. Sebagai kopi pertama yang beriklan di TVRI, KA sempat terganggu gerak langkahnya ketika ada larangan iklan di televise pemerintah itu. Yang menarik, setelah hadir kembali di layar kaca, KA mulai menaikan target pasarnya dari segmen menegah bawah ke menengah atas.
Lalu, bisakah krisis yang sekarang terjadi membuat orang begitu saja meninggalkan KA? Mungkin saja, kalau proposisi nilai KA di masa krisis tidak memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan konsumen. Apa sajam proposisi nilai yang dicari konsumen di masa krisis? Berdasarkan survey perilaku konsumen. Di masa krisis yang dilakukan Mark Plus, Februari lalu, ada beberapa proposisi nilai yang dicari konsumen di masa krisis.
Yang perlu di teliti lebih jauh adalah asosiasi konsumen terhadap KA. Factor lain yang juga berpengaruh: harga yang mungkin tidak bisa lagi dijangkau oleh sebagian konsumen. Dan di masa krisis ini, memang banyak merk kuat yang kehilangan konsumen karena dianggap tidak lagi value for money oleh sekelompok konsumen.
Berebut Obat Puyeng
Jika anda cukup tua, Anda tentu ingat pasukan Bodrex. Tentu, Bodrex punya pesaing. Namun, karena kurang berani berpromosi, mereka tak mampu bersaing. Kini Bodrex masih ada. Namun memilih obat sakit kepala tak semudah dulu lagi—bisa sma pusingnya dengan sakitnya.
Semua obat itu tentu diposisikan sebagai penghilang sakit kepala yang ampuh. Karena itu, jamak saja jika untuk menarik perhatian konsumen, semuanya gencar beriklan dan berusaha mendistribusikan produknya sampai ke warung-warung pinggir jalan, agar mudah diperoleh.
Menurut Survey Research Indonesia, penganggar iklan terbesar obat-obat pain killer selam 1996 adalah Bodrex—Rp 6,688 miliar, 90% untuk TV. Setelah itu, Paramex (Rp 4,174 miliar), Saridon (Rp 3,303 miliar), dan Panadol (Rp 1,167 miliar). Keberhasilan Paramex mengalhkan Bodrex berkat inovasi baru mereka, yakni membuat kemasan kecil berisi empat tablet. Melalui iklanya, Bodrex yang dikenal pasar sejak 30 tahun silam berusaha memperluas pasar. Unutk menanamkan presepsi baru itu, Bodrex harus kerja keras. Soal distribusu, Bodrex memang cukup kuat.
Panadol hamper sama tuanya dengan Bodrex (di Indonesia), tapi namanya baru menggema belakangan. Karena, selama ini ia termasuk kategori produk ethical. Dalam komunikasi iklannya, Panadol konsisten menggunakan wanita sebagai tokoh, yang berujar, “Sakit kepala? Sudah lupa, tuh.” Iklan ini ingin menujukan, betapa cepatnya sakit kepala hilang.
Panadol juga rajin melakukan kegiatan below the line.”Ada strategi push-pull,” jelas Dewi. Distributor Panadol belum seluas Bodrex ataupun Paramex. Penjualan masih terkonsentrasi di kota0kota besar dan belum sampai ke warung kecil.
Produk lain, Oskadon. Oskadon yang dikemas empat tablet seharga Rp 400, diperuntukan bagi segmen menengah bawah. Muncul pada 1990-an, Oskadon yang diproduksi PT Supra Usadhatama (SU), diposisikan sebagai obat sakit kepala tanpa rasa ngantuk. SU termasuk produsen yang berani beriklan. Loncatan Oskadon, diakui Johannes, terjadi pada 1994, ketika mulai merilis iklan versi Oskadon Oye. Johanes dan timnya merancang dan membuat sendiri kreatif dan copy iklan yang berhasil mendongkrak penjualan dua kali lipat
Target Oskadon, lima tahun baru untung,”Jadi, tidak buru-buru,” ujar Denny.tak jelas benar, berapa sebenarnya obat puyemg ini. Yang jelas, pemain baru terus berdatangan, meski isi produknyasami mawon, parasetamol. Perbedaan Bodrex Forte dengan saudara tuannya, sederhana. Dosis parasetamolnya lebih besar, yakni 650 mg—dosis tertinggi yang masih diizinkan Departement Kesehatan. Menurut Pujo Lahardho, Manajer Produk Bodrex Forte, produknya ditujukan untuk orang sakit kepala, padahal sibuk dan tidak bisa meninggalkan aktivitasnya.
Kehadiran analgesic berdosis melebihi rata-rata obat sakit kepala yang ada di pasar rupanya juga mengilhami Sanbe Farma (SF)—produsen obat-obat ethical—untuk ikut meramaikan pasar. Seperti Bodrex Forte, Poldan berisi 650 mg parasetamol. Tambahannya, kafein 50 mg. Menurut Wisnu Dewi, Manajer Pengembangan SF, Poldan dipersiapkan selama satu tahun.
Akankah Poldan menjerit ke papan atas obat sakit kepala, seperti kaka kandungnya, SanaFFlu, yang tiba-tiba mencuat lantaran iklannya,”Belum tahu dia?” Ini yang belum terbukti. Namun, yang jelas, menurut Jahja Santoso, Presdir SF, Poldan akan melakukan pola SanaFlu yang gencar beriklan dan aktif di kegiatanbelow the line.
Dari berbagai pola pemasaran produsen obat sakit kepala itu, jelas terlihat, iklan menjadi arena perang yang sebenarnya. Karena itu, iklan yang kreatif, mudah diingat, dan berfrekuensi tinggi, berkemungkinan besar memasukan merk produk di benak calon konsumen.
Perempuan Hijau, Kuning, dan Biru
Persaingan di bisnis negatif film sedang marak. Kalau beberapa tahun lalu para pemain masih asik memperebutkan pasar ASA 100, kini persaingan beralih ke ASA 200. Gerakan Fuji tampak dibayangi Konica. Semntara itu, Kodak memilih menjagokan ASA400.
Hampir dua dasawarsa peta bisnis film fotografi di sini berwarna hijau. Itulah warna logo Fuji Film yang menguasai 84% pangsa pasar. Aktivitas pemasaran Fuji memang agresif. Ke mana pun Anda bepergian di Indonesia—dari kota besar sampai ke pelosok desa—outlet hijau Fuji bakal Anda temukan. Pesaing terdekat Fuji adalah Kodak. Interdelta (ID) mengelola jaringan eceran fotografi beratribut Super Foro, diluar Jakarata memiliki 6 cabang: Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, Ujungpandang, dan Denpasar. Pada 1987 kepemilikan saham ID beralih ke Grup Kalbe Farma.
ID tahu diri. Menyadari Kodak hanay menguasai pangsa pasar 10%, ID sengaja menghindari pertempuran Frontal dengan Fuji. Kodak pun jeli menetapkan harga. Umumnya, semakin tinggi tingkat kepekaan film (ASA) semakin tinggi harganya. Terobosan distribusi juga dilakukan Kodak. Outlet-outlet yang belum dijamah pesaing pun dimasuki. Apotek misalnya.
Berkat stategi itu, pada 1995, penjualan Kodak tumbuh 40%. Bagaiman tahun ini? Kodak hanya menargetkan pertumbuhan 10-15%. Meski pasarnya terbatas, cengkraman Kodak di pasar studio foto mode maupun artistic masih cukup kuat. Lalu, apa langkah Konica? PT Persada Bangun Pusaka (PBP) yang sejak 1986 mengageni Konica mengandalkan Kawasan Timur Indonesia sebagai sasarannya.
Seperti halnya Fuji, Konicca juga mengandalkan ASA200. Mengapa? Produk ini sangat pas untuk karakteristi pasar Indonesia, yang dikuasai fotografer amatir. Meski murah, Konica serius dalam menawarkan terobosan. Teknologi vivid expression(VX) Konica member jaminan hasil cetak bermutu tinggi. Adapun Fuji, salah satu alasannya dapat memimpin pasar, karena ia pemain paling lama di bisnis film di Indonesia. Distributonya, PT Modern Photo Film (MPF) didirikan oleh Ho Tjek dan Luntungan Honoris pada 1971.
Tentu tak hanya itu kunci sukses Fuji. Namun juga,”Kualitas produk dan pelayanan serta keunggulan teknologi kami,” ujar Lendy Susanto, Directur Pemasaran PT Modern Photo Company. Meski tergolong pelopor di ASA 400, Fuji tidak berkonsentrasi menggarap pasar yang unutk ukuran sekarang masih kecil itu. Grup Modern terus memperluas jaringan pemasaran melalui pengoperasian minilab. Jumlah outlet Fuji Image Plaza, yang dikelola PT Modern Putra Indonesia mencapai 02 unit tersebar di berbagai lokasi.
Melihat scenario persaingan di atas, tampaknya Fuji bakal tetap nomor satu di pentas film negative di Indonesia sampai waktu yang cukup lama. Sulit bagi Kodak dan Konica mengejarnya. Begitu pula, pemain baru tak akan mudah menembus kekuatan tiga pemain itu, tanpa dukdungan investasi raksasa, jaringan distribusi luas dan promosi besar-beasaran.
Merebut Simpati di Masa Kritis
Krisis membuat produsen susu ramai-ramai ”setor muka” ke hadapan konsumen. Mula-mula, Nutricia tampil dengan iklan “KKomitmen Nutricia unutk para Ibu”, kemudian Mead Johnson muncul dalam serial iklan “Anak Bagai Kertas Putih, Binar Matanya Memancarkan Kasih Sayang Anda dan Kasih Anda Dukungan Kami”. Rangkaian iklan itu sekaligus memperkenalkan logo Mead Johnson yang baru. PT Nestle menyusul dengan berujar, ”Kami Mendengar …” Dan, terakjir, PT Frieche Vlag Indonesia (FVI) mengibarkan iklan berwarna setengah halaman Koran, “Karena Kesehatan Anak-anak yang Utama, Kami Memberikan Potongan Harga 25%.”
Di antara mereka, Nutricia jelas yang paling lugas dan agresif—bila dihitung dari frekuensi tampilannya. Tanpa berusaha menonjolkan kreativitas visual maupun naskah, iklannya langsung bicara tentang empat hal. Pertama, bersedia menanggulangi kenaikan harga yang diakibatkan melambungnya bahan baku impor dan menjamin harga yang tetap tejangkau. Kedua, siap terus memproduksi seluruh rangkaian lengkap produk makanan bayinya dan menjamin mutu produknya. Ketiga, menjamin kelancaran penyediaan produk di toko-toko penyalur tertentu. Keempat, membuka layanan 24 jam bebas pulsa bagi konsumen yang membutuhkan informasi.
A.J Hendro Sugianto, MBA, Deputi Directur Penjualan dan Distribusi PT Nutricia Indonesia, mengatakan, pesan iklan tersebut dimaksudkan untuk memberikan ketenangan kepada para ibu. Namun, ia mengaku tidak mudah memenuhi komitmen itu. Karena itu, melalui konsultan dengan induknya di Belanda, Nutricia menentukan harga yang lebih rendah. Harga memeang sangat menentukan dalam pasar susu—apalagi ketika daya beli masyarakat menurun seperti sekarang.
Pasar susu menengah yang lebih murah jelas jauh lebih besar, sekitar 79% dari total. Toh, persaingan di kelas premium tak kalah menarik. Selain mengandalkan kekuatan kualitas dengan berlomba-lomba menawarkan komposisi istimewa mendekati ASI, kelas ini cenderung berebut di kategori susu formula yang tidak boleh diiklankan.
Dalam hal ini, Mead Johnson terdepan dalam menyiasati larangan beriklan. Berdasarkan hasil ritel audit SRI/Nielsen periode Januari/Februari1998, sesyngguhnya penguasaan pasar lima besar perusahaan susu Indonesia sebagai berikut: Nestle (37,6%,), FVI (20,7%,), Mead Johnson (11,3%,), SH (10,1%,), Wyeth (5,7%,).
Setelah terjadi kenaikan harga susu berkali-kali, kini posisi harga Nutricia menjadi nomor 5 di kelas premium; atau sedikit di atas harga produk menengah. Kenapa Nutricia mau banting harga? Ada tiga alas an yang mendasarinya. Pertama, meilhat prospek daya beli yang cenderung menurun. Kedua, Nutricia berharap mendapat limpahan pasar dari merk lain di saat konsumen mulai berhitung ekonomis. Ketiga, menyangkut upaya ekspansi Nutricia Internasional BV, Belanda, yang sejak Februari lalu membeli 51% saham SH dari PT Tigaraksa Satria, hingga dapat mengefisiensikan biaya produksi.
Himawan Wijanarko dari Jakarta Consulting Group menilai, sinergi yang terbentuk anatara Nutricia dan SH benar-benar strategis. Keberadaan SH—berdiri 197—sesungguhnya menyakinkan. Menguasai 83,3% pasokan susu bayi dalam negeri, SH juga melayani produksi Weyth-Ayers, Mead Johnson, maupun Nutricia. Doctor Ahmad Fuad Afdhal, pangamat komunikasi PT Aawal Fajar Adicita, menilai, gerakan Nutricia yang dimulai dengan penampilan iklan korporat layanan masyarakat, mengubah strategi harga, hingga rencananya mengembangkan produk baru, merupakan tindakan perusahaan yang sadar memantapkan posisi.
Nutricia melengkapi program harga murahnya dengan aneka program lain. Misalnya, menjalin komunikasi interaktif dengan konsumen. Meski bukan hal baru, menurut Rini Achdiat dari TBW Advertising—biro iklan Notricia—saluran layanan tersebut memperoleh tanggapan luar biasa dari konsumen.
Era Substitusi Impor Kedua
Sulit dibayangkan, perusahaan asing terkemuka bisa mensponsori kempanye cinta produksi dalam negeri. Saat itu, saya melihat Unilever Thailand menyokong kampanye cinta produksi dalam negeri. Unilever di sana bahkan sekadar menjadi penyokong kampanye cinta produk dalam negeri. Terus terang, saya harus angkat jempol bagi Unilever Thailand. Sebagai “kompensasi”, mereka pun jadi lebih cinta produk dalam negeri. Khusus untuk Indonesia, kondisi yang “Lebih cinta produk dalam negeri” itu saya sebut sebagai Era Subtitusi Impor kedua.
Sesungguhnya, pilihan itu cukup disayangkan. Perusahaan-perusahaan global yang kreatif tetap akan mendapatkan respons dari pasar sasarannya, entah itu dengan romancing the brand ataurationalizing the brand. Jangan lupa, bagaimanapun juga konsumen yang menurun daya belinya tidak anti-produk asing atau global sama sekali. Jadi, kalau ingin bertahan dan menang di masa krisis, perusahaan harus bisa memenuhi aspirasi mereka.
Caranya? Mereka bisa menggunakan same/less content differentiation dan less context differentiation—dengan kemasan yang lebih kecil atau yang biasa-biasa saja.
Namun, ada juga yang memberikan nilai dengan cara membuat produknya bisa terjangkau dengan memperbaiki prosesnya, khususnya dalam pengiriman. Sehingga, harganya bisa lebih rendah. Dengan cara itu, Nutricia bisa memanfaatkan celah dalam menembus Era Subtitusi Impor Kedua.
Fenomena Equil Menggusur Perrier dan Evian
Produknya memang Cuma air, tapi istimewa. Equil, namanya. Terkesan classy dan modern, begitu pula kemasannya yang seperti botol anggur. Namun sesungguhnya, Equil 100% asli Indonesia.
Pria 53 tahun ini mengaku mulai merajut impiannya 19 tahun lalu, tatkala santap malam bersama orang-orang Italia di kawasan Marco Bridge, Venezia. Ternyata, tidak mudah memproduksi air mineral, jangankan mengikuti standar prosedur dari lembaga internasional atau Departement Kesehatan, mendapatkan sumber airnya saja tergolong langka.
Menurut Morgan, Equil dibuat dengan tujuan tak sekedar memenuhi standar air mineral Departemen Kesehatan, tetapi juga EEC Directives on Natural Mineral Water dan Codex Alimentaries Commission, kembaga standarisasi di bawah naungan WHO, Food, dan Agriculture Organizasion of The United Nations, yang antara lain mensyaratkan, air harus layak minum secara alami dan didapatkan langsung dari sumber alami; air tidak boleh diberitreatment apa pun yang dapat mengubah keaslian mutunya—kecuali karbonisasi (penambahan CO2) untuk sparkling natural mineral water; dan air harus dibotolkan langsung dari sumbernya.
Di samping itu memenuhi persyaratan itu, Equil juga memeriksakan kandungan air dan kemungkinan kontaminasinya. Morgan yakin, peluang bisnis air mineral masih terbuka luas. Tentu, produk tersebut sasaranya harus tinggi—harga mahal dan eksklusif (hanya bisa diperoleh di tempat-tempat tertentu). Morgan sengaja membuat desain botol mewah—ia mengaku banyak terinspirasi dari botol-botol anggur Italia—serta desain gambar menarik, yang menyimbolkan kehidupan dan alam: matahari, air, daun, dan wanita.
Strategi kedua, menekankan kualitas dan mutu produk. Equil memang membandingkan diri dengan dua pesaingnya. Ketika memutuskan isi Equil 380 ml pun, pertimbangannya: pesaing. Ketiga, layanan. Sudah jelas, pada sasaran konsumen premium, pelayanan adalah bagian yang tak terpisahkan. Untuk menjangkau sasaran segmen pasar atas, pendekatan personal lebih banyak diandalkan.
Menurut Morgan, ia sengaja turun gunung sendir, mengunjungi hotel demi hotel. Melalui pergaulan ketok pintu satu per satu, kini menurut Morgan, Equil mulai diproduksi November 1997 berhasil menguasai lebih dari 80% pasar air mineral di hotel berbintang.
Berkat kesuksesan itu, produksi Equil terus meningkat meski saat ini kapasitasnya yang 50 ribu botol per hari baru terpakai seperempatnya. Strategi yang tak kalah penting, Equil juga melakukan pendekatan personal ke para pramusaji sebagai ujung tombak penjualan. Debut Equil yang belum genap setahun, membuat gerah pesaing langsung maupun tak langsungnya.
Reaksi nyata terlihat pada Aqua. Sejak 4 September lalu, Grup Aqua menyatkan bergabung dengan Grup Danone, yang salah satunya memproduksi Evian. Alasan Willy secara tertulis kepada SWA, Aqua yang telah memiliki jaringan distribusi yang baik serta pengalaman dan penguasaan pasar AMDK di Indonesia, dapat mendukung distribusi Evian, hingga terjalin sinergi yang menguntungkan kedua pihak. Namun, sumber SWA meraguikan alas an Willy. Menurutnya, keputusan Aqua menggandeng Evian, hanya gambaran bahwa ia kebakaran jenggot melihat ekspansi Equil.
Target Willy pada Evian bukan volume, tapi ketersediannya. Willy juga menuduh klaim Equil sebgai air mineral alami telah melanggar peraturan yang berlaku, begitu juga penggunaan label berbahsa Inggris yang dianggapnya mengelabui konsumen.
Equil Masih Membutuhkan Legitimasi
Tahukah Anda, salah satu vodka terlaris di AS adalah Absolut Vodka buatan Swedia? Vodka ini bahakan mengalahkan Stolichnaya, yang asli Rusia, dan menjadi vodka impor terlaris. Memang agak sulit dipercaya, bahwa vodka, wiski khas Rusia yang bau Rusianya paling rendah, ternyata malah menjadi salah satu vodka terlaris. Dengan segenap hambatan itu, logika awam pasti bilang Absolut tidak akan berumur panjang. Namun, ternyata, Vin and Spirit AB, pemilik merk Absolut Vodka, bisa mengubah berbagai kelemahan tersebut menjadi kekuatan
Caranya? Salah satu kunci sukses Absolut Vodka adalah kecerdikannya memanfaatkan apa yang disebut Brend Schmitt dan Alex Simonson sebagai marketing aesthetics. Hanya saja, media cetak yang dipakai bukan hanya yang sudah diakrabi public, tapi juga yang jarang terdengar, semacam, Bomb, Details, dan Paper.
Itulah sebabnya, saya agak terkejut ketika tahu bahwa ada air mineral local yang harganya satu botol (389 ml) mencapai Rp 10-20 ribu, meski produk tersebut menggunakan merk Equil, yang sepintas mirip nama Prancis dan Botonya mirip botol anggur. Yang membuat saya lebih terkejut lagi, ternyata Equil bisa menguasai pengsa pasar hotel dan restoran mewah sebanyak 80%. Kalau data itu valid, tentu kita semua mesti angkat jempol buat Equil. Kenapa? Khususnya kemunculannya.
Tentu saja, ukuran yang sedikit itu memang tidak hanya bisa dianggap sebagai ancaman, tapi juga bisa berarti peluang.. sejauh ini, itu tampaknya dilakukan Equil dengan cerdik. Khususnya dalan mengeksplorasi aesthics dan perceived quality. Pendeknya, sangat mendukung dalam positioning yang dilakukan. Namun, kalau kita lihat lebih seksama, legitimasinya belum begitu kuat. Untuk memperkuat legitimasi dibenak end-customer meupun calonend-customer, tentu saja Equil harus menjalankan integerated marketing communication, yang bisa memperkuat citra kualitas tinggi. Akan lebih baik kalau bisa mengopi Absolut Vodka.
KASUS NILAI PEMASARAN
Obati Luka dan Keramaslah dengan Betadine
Obat luka, salep, obat kumur, sabun, sampo, dan pembersih vagina (vaginal douche). Bisakah anda menemukan satu kata yang menghubungkan mereka? Gampang. Tengok kotak P3K Anda di rumah. Kemungkinan besar, Anda bisa menemukan Betadine Onat Luka (BOL) di sana, sebab itu merk obat luka terpopuler di Indonesia kini, yang menguasai mayoritas pasar.
Ekstensi merk yang luar biasa berani berani, bukan? Begitulah. Umumnya, perusahaan cenderumg hati-hati dalam memanfaatkan merk yang sangat terkenal untuk produk baru yang ada hubungannya dengan produk asli. Menurut Djudjun Kusnadi, Direktur AdFokus Advertising, biro iklan Betadine, iklan bersama itu tujuannya jelas: mengomunikasikan pesan Betadine sebagai merk antiseptic yang memiliki aneka produk untuk aneka keperluan, guna menjaga kesehatan.
Apa pun alasannya, gebrakan Keluarga Betadine dalam konse[ iklan bersama menarik dicermati. Memang, selama ini konsumen lebih banyak mengenal Betadine sebagai obat luka luar. Selanjutnya, mudah ditebak. Pemasaran Betadine semakin meluas dan penjualannya pun terus meningkat. BOL praktis tanpa pesaing. Saat itu, obat luka yang banyak dipakai adalah obat merah (merkurokrom), yang berfungsi mengeringkan luka dan menutup kembali.
Menurut Handy Irawan D. pengamat pemasaran, Betadine mengharapkan ekstensifikasi merknya bisa membuat pruduk baru sukses di pasaran dan produk lama semakin kuat ekuitas merknya. Persoalan dalam ekstensi merk jenis ini adalah bagaimana pasar bereaksi dan mengasosiasi.
Risiko ini disadari MBF. Namun, Kahar tak takut. Toh, fakta dilapangan berbicara lain. Persoalan lain MBF, Betadine cenderung dianggap nama generic untuk obat luka. PT Pharos adalah salah satu perusahaan farmasi yang telah melihat persoalan MBF itu. Strategi perang Stardine melawan BOL, menarik. Pertama, memanfaatkan pegangan hokum. Kedua bermain citra. Ketiga, menyerbu pasar secara bergerilya. Keempat, Stardine tidak beriklan. Menurut Bernadus, sampai bulan ke-8, penjualan Stardine terus merangkak naik, dengan peningkatan Rata-rata perbulan sekitar 300%.
Toh, ketika ditanya berapa angka penjualannya, ia hanya menjawab, “Ah, masih kecil.” Namun, meski kecil, pihaknya siap melawan raksasa BOL. Alasannya, pasar obat luka sangat atraktif. Omzet setiap bulan diperkirakan mencapai Rp 4-5 miliar. “Apa bukan pasar gemuk namanya!”
Hati-hati dalam Perluasan Merek
From chips to ships. Begitu bunyi iklan Samsung diberbagai majala bisnis internasional beberapa tahunlalu, ketika, chaebolKorea Selatan itu mulai serius menjadi perusahaan global. Yang dilakukan chaebol itu menarik. Karena, selama ini jarang ada perusahaan yang menggunakan nama merknya di begitu banyak produk yang sebenarnya tidak ada kaitan satu dengan lainnya.
Mobil ataupun mesin cuci Daewoo, price positioning-nya selalu di bawah produk Jepang, AS, atau Eropa. Padahal, kualitas produknya tidak jauh berbeda. Jadi, penggunaan satu merk untuk berbagai lini produk yang berbeda itu bukan suatu dosa, sepanjang mempunyai asosiasi merk sebagai identitas umum yang sama.
Tanap kesiapan seperti itu, maka lebih baik tidak melakukan perluasan merk (brand extension). Inilah yang mestinya dipertimbangkan Betadine. Posisi Betadine sebagai obat luka luar memang kuat. Ini jelas berbeda dari langkah Samsung. Ketika Samsung membuat kampanye from chips to ships, perusahaan ini sedang berupaya membangun global corperate brand, khususnya identitas merk bahwa Samsung berkompetensi di produk Hi-techdan permesinan.
Artinya, kalau semua produknya belum dikenali dan kemudian melakukan kampanye secara bersama, dengan memanfaatkan media cetak, kampanye tersebut bisa menjadi ampuh membangun identitas. Apalagi, beberapa pasar baru yang dimasuki Betadine itu bukan kategori pasar baru, tapi pasar yang persaingannya cukup ketat. Menghadapi pasar demikian, Betadine memang tidak boleh membenturkan kepala ke tembok. Dan itu telah dilakukannya.
Handyplast, Eh Hansaplast
Mengubah nama adalah biasa—tanya saja ke artis-artis. Di Indonesia, ada kasus seperti itu: PT Beierdorf Indonesia (Bdf) yang mengubah nama plester Handyplast menjadi Hansaplast. Ada tiga Negara yang masih menggunakan merk Handyplast: Indonesia, India, dan Australia.
Bahwa awareness Handyplast tinggi, tak perlu diaragukan: dominasinya dipasar plester sangat kuat. Total konsumsi obat plester baik dari kain maupun plastic di Indonesia berkisar 600-700 juta strip/tahun. Jadi, tak heran jika diantara nama-nama merk obat plester kain, yang menonjol hanya beberapa glintir. Pemimpin pasar adalah Hansaplast, menguasai 60% pangsa pasar.
Menurut Yan, beda kualitas antarproduk nyaris tak ada. “Yang penting plester untuk menutupi luka. Itu saja” katanya. Dulu, sebenarnya Tensoplast pada awal 1990-an terpeleset oleh kesalahan teknis produki. Meskipun kesalahan itu diperbaiki, keadaan tidak bisa lagi pulih, karena pemain lain dengan cerdik memanfaatkannya.
Pemain itu tak lain: Handyplast. Melihat kelemahannya Tensoplast, Handyplast segera menggempur pasar. Untuk itu, Bdf menunjuk PT Ultramos Jaya sebagai distributor tunggal. Walters membenarkan pendapt itu. Menurut MBA dari Universitas Cologne, Jerman ini, ada tiga hal yang menentukan keberhasilan Hansaplast di pasar. Pertama, distribusi sudah disebutkan di atas. Kedua, kualitas produk terpercaya. Ketiga, komunikasi melalui iklan yang komunikatif dan efektif. Dengan tiga kekuatan tadi, Welters yakin, perubahan nama merk tidak akan banyak menggangu.
Ressy T. Salim, Direktur Usaha FCB/Advis, biro iklan Hansaplast mengemukakan, perubahan nama memang tak akan mengubah citra positif yang sudah berkembang dalam Handyplast. Konsep kampanye Hansaplast, masih kata Ressy, dibuat tidak agresif. Walau begiru, Grace yakin, sasaran jangka panjang Bdf bisa terpenuhi. Pertama, mamiliki satu merk menjelang memasuki pasar global. Kedua, bersamaan dengan penggantian nama tersebut, dapat dimanfaatkan sebagai peluang memperlebar rangkaian produk di Indonesia. Dengan nama baru tersebut, Bdf dapat mulai merintis mengasosiasi nama merknya dengan produk tertentu, yaitu mengarah ke produk perawatan kesehatan.
Asosiasi (kesesuaian) itu mutlak, sebab menyangkut persepsi yang muncul di benak konsumen. “Jika plester luka dikembangkan menjadi plester gulung, kain kasa, balsam dan koyo, memang dapat diasosiasi sama,” kata Hermawan.
Semoga Tidak Bernasib Buruk
Meski Nissan membuat mobil sejak 1918, tapi ketika memutuskan menjual mobil ke AS tahun 1961, ternyata mereka tidak mau memakai nama Nissan. Karenya, unutk menghindarkan kesan bahwa produknya produk biasa-biasa saja, Nissan memutuskan menggunakan nama yang seolah-olah bukan dari Jepang. Apa itu? Datsun. Ternyata, nama Datsun bukan hanya digunakan di AS, tapi juga di sejumlah Negara lain, termasuk Indonesia. Maka, pada 1981 Nissan memutuskan menyeragamkan namanya di seluruh dunia, menjadi Nissan.
Mereka malah berani membuat kampanye komunikasi pemasaran besar-besaran dan sebetulnya juga cukup rapi, termasuk sempat menggandengkan nama Datsun dengan Nissan. Kemungkinan seperti inilah yang menurut saya mesti dipertimbangkan oleh Handyplast, yang berubah nama menjadi Hansaplast di pasar Indonesia. Sebab, seperti Datsun, nama Handyplast sedang memiliki awareness yang tinggi.
Baikalah, jika karena alas an strategi global Handyplast, sehingga nam yang dipakai di Indonesia, India, dan Australia, harus dihilangkan. Saya rasa, hal serupa bukannya tidak akan terjadi pada Hansaplast. Apalagi, kalau mengingat, keberhasilan Handyplast hingga menjadi pemimpin pasar bukan semata-mata karena kegencaran beriklan. Lagipula, merk awareness-nya tinggi biasanya akan menacap kuat di benak. Dengan kata lain, perubahan nama bisa menimbulkan gangguan dalam identifikasi merk. Kalau ini terganggu, loyalitas merk pun akan terganggu.
Biore Runtuhkan Keperkasaan Unilever
Ingar-bingar produk toiletries tak mengenal resesi maupun uang ketat. Sampai saat ini, boleh dibilang keperkasaan Unilever masih tak tertandingi. Lalu, sebelumnya, tahun 1989, Procter & Gamble Indonesia (PGI) juga mengalami kisah serupa. Namun, sejarah mencatat, tak ada jawara yang tak terkalahkan. Begitu pula Unilever.
Kao Corporation, Jepang—produsen Biore—bukan pemain baru di belantara toiletries dunia. Dan sesungguhnya, ia memiliki cirri-ciri yang sepadan dengan Unilever. Pertama, memiliki laboratorium R&D sangat kuat, bahkan digunakan sebagai daya jual, yaitu dengan mencantumkan Teknologi Kao sebagai based line dalam iklan maupun kemasan produk. Kedua, sangat mempercayai riset pasar. Menurut Adriana, Kao memiliki program riset produk maupun riset pasar berlapis-lapis secara bersinambungan. Kao meneliti mulai dari bentuk kamar mandi, kebiasaan selama di kamar mandi, sampai beberapa kali sehari ia mandi.
Sampai di sini pun persiapan belum selesai. Bagaiman Unilever? Siapa yang meragukan kemampuan pengenalan pasar Unilever? Pemain paling tua (1934) ini jelas paling mahir memahami pasar Indonesia dengan segala tabiat dan kebiasaannya. Kendati langkah-langkah pengembangan dan pemasaran produk Kao maupun Unilever hamper serupa, toh setiap produk memiliki roh, persepsi, dan personalitas sendiri. “Jadi, persaingan sudah dimulai sejak awal kelahiran,” kata sumber SWA. Di sini, untungnnya Kao datang belakangan. Ketika masuk pada 1987, ia sudah mempelajari tren pasar dan kebutuhannya.
Sumber SWA menyebutkan, sejak awal Unilever tidak menyadari kelemahan ini. Nah, padahal konsumen menginginkan kejelasan manfaat lebih dari produk. Kedua, cara komunikasi Lux sabun cair terbawa arus Lux padat. Meliahta upaya keras Lux sabun cair menggenjot penjualan—terutama dalam strategi komunikasi—Adriana justru senang.
Yang kini terus dilakukan Biore: mengembangkan produk-produk baru. Kini ada lima macam Biore: Ekstra Mild, Deodorant, Micro Powder, Cooll, dan Antiseptic. Buktinya: tahun ini, menurut Adriana, Biore meraih peningkatan penjualan 153%.
Mengapa Lux Cair Gagal
Iklan IBM di Koran-koran atau majalh Amerika, Oktober 1997, yang dibuat Ogilvy & Mather, muncul dengan lebih banyak kalimat dibandingkan biasanya. IBM memang salah satu perusahaan yang Berjaya seiring meluasnya kebutuhan pertukaran informasi secara tepat. IBM dengan agresif menunjukan betapa hebat kemampuannya di bisnis baru ini.
Toh, IBM tidak kehilangan akal. Dibuatkah supercomputer yang dijadikan jagoan catur, lalu diadu dengan manusia pecatur yang terhebat di dunia, Gary Kasparov. Berhasikah? Di masa silam, ketika bisnis PC mulai marak, di mana IBM merupakanstandard setter, IBM pernah berusaha merajai kembali pasar yang “ terlanjur dilepas”. Bukan hanya IBM.
Itulah sebabnya, Lux yang selam ini dikenal sebgai sabun mandi, yang katanya bisa membuat cantik pemakainya, ternyata kurang berhasil di sabun cair. Menurut saya, kan lain ceritanya kalau sabun cair itu Lifebouy. Pelajarannya, Anda harus hati-hati mengembangkan asosiasi merk. Hanya saja, kalu sudah terlanjur memiliki positioning kuat disuatu kategori produk, dan memang bermaksud me-leverage nama merknya, mesti konsisten denganpositioning-nya.
Mengapa Kualiva Gagal
Konsumen tak hanya raja, tetapi raja yang sangat manja: tak mau repot, bahkan untuk sesuatu yang sesungguhnya bisa menguntungkan mereka. Seperti itu pula program Kualiva yang dilakukan Bank Bali (BB). Bahkan BB telah melengkapinya dengan menagajak banyak mitra, sehingga alternative pemanfaatan poin lebih beragam. Sayangnya, Kualiva menuntut pelanggan proaktif.
Kualiva diluncurkan dua tahun lalu. Toh, sampai kini kurang dari 30% anggota memanfaatkannya. Data dari para mitra menunjukan keengganan konsumen itu. Hero, misalnya. Setiap anggota Hero Customer Club (HCC)—kini, 16 ribu orang00otomatis jadi anggota kualiva dan nasabah BB.
Melihat jumlah dana yang sudah dikeluarkan unutk “mendidik” konsumen agar paham layanan baru ini, sungguh mengherankan kalau konsumen masih tak paham juga. Yang lebih masuk di akal tampaknya keengganan konsumen. Bandingkan misalnya, sambutan semacam itu dengan sambutan untuk tabungan dengan undian berhadiah ketika pertama kali muncul (Tabungan Hari Depan, alias Tahapan, yang diselenggarakan sekelompok bank dengan motor BCA dan Lippo).
Ketidaktertarikan nasabah untuk tahu jauh tentang Kualiva, jelas bertanda buruk bagi BB. Sasaran Kualiva adalah nasabah—agar mereka semakin loyal, tak gampang pindah ke bank lain ketika, katakanlah, ada yang menawarkan bunga lebih tinggi. Caranya mudah. Poin Kualiva yang berhasil dihimpun dikumpulkan dalam rekening poin. Nilai poin di setiap mitra Kualiva berbeda-beda, tergantung kesepakatan kerja samanya dengan BB.
Meski sampai kini belum menampakan hasil berarti, para mitra tetap melihat manfaat Kualiva, dan tetap bersedia begabung. Mitra baru pun masih berdatangan. Jika awalnya hanya bebrapa, kini Kualiva memiliki lebih dari 15 mitra pendukung.
Melsiana Tjahyadikarta, Presdir Gold Mart, mengharapkan kerja sama salaing mengunutngkan. Konsumen pun pelan-pelan mulai mengerti maksud Kualiva. Contohnya, T. Deasy, ibu rumah tangga, sengaja mengaku mulai memanfaatkan Kualiva secara tridak sengaja. Mirip denagn Deasy, Jennieta Utama, 45 tahun, mulanya tidak berani memakai Kartu BaliAkses. Untuk semakin membuat konsumen sadar, penyelenggara akan segera merombak program komunikasi. Caranya? Lewat Pesta Poin. Kegiatan yang sudah berlangsung ketiga kalinya ini, mencoba merangsang nasabah dengan cara sederhana dan mudah di mengerti.
Dibutuhkan Sinkronisasi
Mengapa para atlet Indonesia jarang sekali menang atau mencapai prestasi hebat dalam olahraga beregu? Begitu pula di basket ataupun voli, juga tidak pernah mencapai prestasi hebat. Apa artinya ini? Meski kita sering menyatkan diri sebgai bangsa yang suka gotong-royong, kenyataannya kita sulit sekali mendapat hasil baik dari tim kerja. Repotnya, makin lama makin banyak hal yang harus dilakukan memallui tim kerja alias koordinasi-intergrasi-sinkronisasi.
Sejauh ini, di Indonesia hanya Kualiva yang bisa memberikan nilai tersebut. Dengan kata lain, Kualiva yang bisa memberikan nilai tersebut. Dengan kata lain, Kualiva merupakan pionir penciptaan nilai tersebut. Sementara itu, sejumlah pengecer yang bergabung dalam kualiva juga msuk jaringan Star Card, “pesaing” Kualiva di kartu debit.
Lalu mengapa kartu debit dengan nilai lebih semacam itu tidak mendapat sambutan luas? Kalau kembali ke Marketing Plus 200, untuk membuat produk mendapat sambutan, perusahaan bukan hanya memikirkan kreasi nilai. Dalam mapping, Kualiva cukup bagus. Dan, tentu bukan hanya itu nilai yang diberikan.
Jadi, tidak aneh kalau produk ber-positioning statement belanja dengan poin yang cukup bagus itu, ternyata sulit populer. Apalagi kalau yang dilakukan bukan sekedar mengajak belanja lewat poin, tapi lebih bijaksan berbelanja.
Menunggu Kebangkitan Vespa
Mengendarai Vespa, beberapa decade lalu, boleh dibilang lumayan bergensi. Saying PT Danmotors Vespa Indonesia (DVI) selaku agen tunggal Vespa, telalu percaya bahwa kesetiaan pelanggan tak bakal pudar. Di pihak lain, kebanggaan memakai Vespa pun makin luntur. Posisi Vespa pun kian terpojok. Pada tahun 1992, misalnya DVI hanya mampu menjual 13.222 kendaraan atau 2,88% pasar sepeda motor saat itu.
Keadaan tersebut memaksa Vespa lebih gencar berpromosi pada 1993. Vespa merasakan bahwa positioning mereka, ‘Lebih baik naik Vespa’, sudah bukan factor pemikat lagi. Vespa pun kemudian mengubah positioning statement-nya menjadi ‘Tangguh di jalan, kokoh bertahan’. Hasilnya, terdapat tiga atribut penting: mantap, tahan lama, dan nilai jual kembali tinggi.
Berdasarkan tiga atribut itu, Cabe Rawit pun mengeluarkan slogan baru. Untuk menujukan kemantapannya diciptakan kalimat: 20 tahun lagi motor lain mungkin sudah jadi ganjal pagar, motor ini masih mengantar keluarga pesiar. Sementara itu, pernyataan tahan lama diungkapkan sebagai, 20 tahun lagi motor lain mungkin sudah jadi besi tua, motor ini masih berlari segesit kuda. Bahwa harga jualnya masih tetap tinggi diungkapkan sebagai, 20 tahun lagi motor lain mungkin sudah tidak bernilai, motor ini masih diincar rumah gadai.
Toh, semua upaya itu belum banyak membantu. Dalam segi bauran pemasaran berupa produk, distribusi, promosi dan harga, tak tampak terobosan baru. Menurut Alain Irawan, Manajer Pemasaran DVI, Vespa diposisikan sebagai kendaraan yang tahan lama dan tidak rewel.
Bagi merk yang memiliki top of mind awareness tinggi seperti kijang, taktik seperti itu tentu tak jadi soal. Cara lainnya? Mungkin membangun loyalitas dengan melakukan customer bonding berupa pengenalan merk, identitas, relationship¸ community hingga mencapai level advocacy. Di level terakhir pemakai akan menjadi pembela fanatic Vespa. Namun, tampaknya, itu belum optimal untuk mencapai advocacy.
Nasihat untuk Vespa
Kasus Vespa ini menarik dibahas. Saya setuju dengan pendapat rekan saya, Roy Goni: manajemen DVI masih hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Dulu, Jepang belum hebat. Sekarang Jepang salah satu dari yang terhebat. Coba kita analisis kasus Vespa ini secara popular dan sistematis. Merk Vespa dulu diasosiasikan sebagai: kualitas, menengah-atas dan gagah. Setiap orang yang mengendarai Vespa ingin mengejar status pribadi seperti itu.
Namun, citra merk yang sudah terbentuk ini mulai luntur, karena tiga hal. Kesatu, ‘Lebih baik naik Vespa’ di benak konsumen bisa berubah menjadi ‘Lebih baik naik kijang’. Kedua, penggunaan Vespa untuk detailmen secara volume panjualan memang menguntungkan. Akan tetapi hal itu mempercepat lunturnya asosiasi menengah-atas dan gagah tadi. Ketiga, mesuknya kendaraan roda dua lain merk Jepang, yang menampilkan berbagai variasi dengan gencar berpromosi, membuat brand awareness Vespa menurun.
Bagaimana soal layanan? Inilah min set yang meliputireability, responsiveness, assurance, empathy, tangible.Tangible? Menghadapi serbuan sepeda motor model baru yang gencar berpromosi, penampilan Vespa yang sebenarnya bagus, relative menjadi tampak kurang menarik. Sekarang, kita beralih ke dimensi strategi untuk menemukan cara memenangkan pikiran konsumen. Kalau segmentasi pasar hanya memakai variable demografis, biasanya target pasar yang diteliti hanya unsure demografisnya.
Riset yang dilakukan terhadap para pemilik Vespa itu baik, dapat diketahui persepsi pengguna Vespa. Kembali ke riset tersebut, saya mengingatkan bahwa siklus what-why-how sangat perlu “diputar” secara benar. Lalu, bagaimana taktik pemasaran: diferensiasi-bauran pemasaran-selling? Bagi saya, taktiklah cara memenangkan pangsa pasar secara nyata.
Dari segi bauran pemasaran, inovasi pada produk baru Vespa terkesan terlambat. Dari segi selling, Vespa masih menerapkan feature selling. Dari analisis Sembilan elemen pemasaran yang tergabung dalam tiga dimensi, dengan menggunakan teori 4C dan mempertimbangkan cara Vespa memutar what-why-how, saya sampai beberapa kesimpulan. Pertama, Vespa kurang mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis otomotif di Indonesia. Saya yakin, sebenarnya skuter masih berprospek terutama si Asia. Selamat berjuang—tapi, jangan berjuang setengah hati.
Imajinasi Inovatif Stanley Adams
Banyak jalan menuju Roma, banyak cara memuaskan pelanggan. Caranya? Member iming-iming hadiah. Untuk itu, Matahari menerbitkan kartu SA Preferred Member. “Tujuan kami, hanya ingin memberikan sesuatu yang berbeda,” begitu alas an Nurbertus M. Wirawan, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis PT Matahari Putra Prima (MPP), yang melahirkan SA 1,5 tahun lalu.
Cara yang ditempuh Matahari untuk SA memang melanggar tradisi. SA tidak melakukan prinsip-prinsip di atas—tidak mengasosiasikan diri dengan Matahari. Strategi SA itu justru tepat. Sebab, meskipun private brand dan house brand sejenis, peran keduanya berbeda. Nurbertus mengaku, pemilihan nama berbau asing itu bertujuan menggaet target pasar mode, yang cenderung beranggapan bahwa semua yang berbau asing (luar negeri) berkualitas dan berkelas.
Walau begitu, Nurbertus—12 tahun bergelut di bidang garmen—tidak larut dalam permainan nama dan psikologis konsumen mode saja. Untuk itu dicanagkan tiga prinsip. Pertama, melahirkan produk berkualitas. Kedua, harga yang masuk akal. Ketiga, layanan ke pelanggan. Sampai Februari 1997, dari 63 outlet, telah terkumpul 25 ribu kartu SA –30%-nya diketahui membeli SA lagi. Arrow sampai kini masih memeimpin pasar—menguasai 40% pangsa pasar kemeja pria.
SA tentu sadar akan langkah para pesaingnya. Karena itu, SA menyiapkan terobosan. Toh, Susanto berani meramalkan, SA masih bisa berkembang lebih baik. Ada tiga hal yang mendukung dugaan itu. Pertama, nama SA berhasil mewakili citra merk yang mapan. Kedua, SA tampil di counter strategis—berada di jajaran produk berkelas. Ketiga, strategi harga yang unik—tak terlalu mahal dan tak terlalu murah—yang memungkinkan menggaet konsumen sedikit ke atas dan sedikit ke bawah.
Hati-hati dengan PPL
Kalau anda menebak Pepsi, “pasangan hidup” Coke, pasti salah. Dan, kalau anda menebak RC Cola—perusahaan yang terkenal inovasinya dalam Cola, seperti diet cola dan caffeine-free cola—juga tidak tepat. Yang benar adalah Cott-Corporation. Selain memanfaatkan kekuatan channeling-nya, langkah para pengecer mengembangkan private label (PL) soft drink, seperti yang dilakukan Wal-Mart itu, juga dilakukan sebagai diferensiasi terhadap pengecer lainnya—yang tidak membeli pasokan cola dari CC.
Kalau di Inggris Coke baru sampai tahap mengultimatum CC, maka AS Coca-Cola telah melangkah lebih jauh, dengan mengingatkan para pengecer tentang perbandingan profit antara menjual cola milik mereka dan menjual cola buatan Coke. Namun, hal itu berlangsung lama. Karena itulah, saya tidak terkejut ketika Matahari—yang di mana-mana selalu dijadikan alat penarik pengunjung di berbagai pesat perbelanjaan baru di sejumlah kota utama Indonesia—akhirnya juga mengembangkan program PL di pakaian, Stanley Adams (SA).
Selain itu, PL biasa tidak ditunjang in-store merchandizingataupun out-store advertising. Uniknya, sebenarnya SA tidak hanya bisa diperoleh di Mataharo. Ternyata, banyak juga orang di seluruh Indonesia, kalau tidak salah 25 ribu orang, mendapatkan kartu itu, lengkap dengan konsekuensinya.
SA memang bisa disebut brand special karena brand ini merupakan PPL. Namun, harus diingat, ini baru permulaan. Karena, setelah berhasil meng-atrct, bukan sekedar memuaskan konsumen, tapi juga harus memikirkan retentaion-nya.
Unilever pun Mudik Lebaran
Unilever tergolong berani mengobral pesan—lewat iklan, kegiatan promosi lain, maupun kehumasan. Lebaran 1997 lalu, lagi-lagi Unilever dengan pendekatan promosi segar, memanfaatkan momentum mudik lebaran. Menurut Maharini Rahsilaputeri Winoto, Manajer Senior Merk Lifebuoy UI, ide kesertaan Lifebuoy dalam kegiatan mudik Lebaran diajukan oleh biro iklan Ammirati Puris Lintas, denagn tujuan menjalin hubungan langsung dengan keluarga sesuai sasaran Lifebuoy.
Hasilnya? Program Mudik Segar Lifebuoy. Setiap sekitar 10 km, Lifebuoy menyediakan kamar mandi/WC bersih yang disebut Pos Mudik Segar Lifebuoy. Asumsi itu terbukti benar. Setiap 10 menit. 30 pos mudik lifebuoy selama acara digelar—seminggu sebelum dan sesudah Lebaran—dikunjungi paling tidak 150 keluarga. Walau dibantu pihak ketiga, menurut Puteri, mempersiapkan kegiatan di bawah lini (below the line) tetap tak semudah menikmati hasilnya. Puteri memaparkan, yang paling menetukan dan krusial: komunikasi, komitmen (saling percaya), dan koordinasi.
Wati, menambahkan, koordinasi menjadi vital yang menentukan keberhasilan program. Selain itu, kegiatan di bawah lini juga didukung oleh langkah-langkah promosi melalui iklan di media cetak, radio, maupun TV. Menurut Puteri, anggarannya tak terlalu besar. Dibandingkan pengeluaran belanja iklan Lifebuoy di media cetak,TV, dan radio, jelas tak lebih dari 5%.
Yang pasti, santi berhasil mengangkut 2.800 pemudik, masing-masing mendapat kaos Rinso seta paket produk Unilever—berisi antara lain Royco, Sunlight, dan Comfort. Kegiatan di bawah lini memang cenderung sebagai bagian dari kehumasan yang menonjolkan citra dan social.
Santi mengaku tak muluk-muluk dengan program mudik Rinso. Santi menjelaskan, kegiatan Lebaran Rinso merupakan upaya mengembangkan kegiatan di bawah lini yang bukan hal baru—menyediakan angkutan bagi pemudik Lebaran sudah sering dilakukan para pengusaha jamu—menjadi konsep komunikasi pemasaran yang utuh.
Di samping menggarap above the line, Rinso juga menyebarkan brosur ke daearah dan beberapa instansi pemerintah. Sama seperti lifebuoy, Rinso pun bekerja sama dengan biro iklan Amminarti Putris Lintas dan pihak ketiga yang mendukung aktivitas lapangan.
Ada tiga hal pelaksanaan kegiatan di bawah lini yang menurut Himawan perlu diperhatikan. Pertama, memanfaatkan fenomena budaya. Kedua, menciptakan loyalitas pelanggan. Terakhir, mengingatkan kembalo sekaligus membangun citra.
Membentuk Citra Positif melalui Value in use
Rasanya sulit dipercaya, tapi kenyataan menunjukan: Citibank pemimpin pasar dalam bisnis kartu kredit di Indonesa. Toh, kenapa akhirnya Citibank yang banyak dipilih, meski menawarkan harga premium? Jawabannya sederhana. Pembeli kartu kredit Citibank tidak sekedar membeli kartu kredit, tapi layanan, organisai, dan semua hal terkait.
Saya yakin, hal itu tidak hanya terjadi pada produk yang nama merknya sama dengan nama perusahaan, tapi juga produk-produk yang nama merknya berbeda dari nama perusahaan. Selain kualitas layanan, yang mutlak harus diperhatikan adalah nilai yang diberikan ke konsumen. Setelah suntuk dalam perjalanan darat, tiba-tiba mereka mendapatkan tempat melepaskan “panggilan alam” yang bersih dan gratis. Lifebuoy pun akan memetik manfaatvalue in use yang diberikan.
Karenaitu, kegiatan Rinso sebenarnya termasuk value in usepula, yang tentu akan memberikan hasil: Loyalitas yang lebih tinggi di masa depan. Namun, jika hal itu tak bisa dilakukan—karena produk atau perusahaan belum dikenal luas—yang harus diupayakan adalah menciptakan valu in use yang inovatif dan diliput secara luas. Kegiatan yang sbetulnya sederhana itu, menutrut saya, berhasil membentuk citra positif jangka panjang.
Mengelola Portofolio Merek
Produsen mobil AS, General Motors (GM), memiliki 33 nama merk, termasuk tujuh nama merk Buick ( REoadmaster, Park, Aveneu, Riviera, Century, Skylark, Regal, dan LeSabre). Sementara itu, produsen lain—BMW dan Mercedes—hanya punya satu merk, sebab tiap model diwakili angka serinya.
BMW, yang Cuma bergerak di pasar atas (luxury car), mamilih merk tunggal: BMW berarti mutu, selesai. Beberapa perusahaan malah sudah melangkah lebih jauh dengan menjadikan pengelolaan merk—bukan bidang usaha tertentu—sebagai misi perusahaan. Contohnya, Sara Lee Corporation (SLC), multinasional yang bermarkas besar di Chicago, AS.
Di sini, SLC beroperasi antara lain melalui PT Kiwi Prodenta Indonesia (KPI). Berkat pengelolaan portofolio merk yang baik, banyak merk mereka yang mampu bertahan di pasar. She merupakan produk parfum penyegar untuk remaja. Sampai tahun 1995 She hanya menguasai 4% pangsa pasar parfum penyegar remaja.
Menyadari hal tersebut KPI merasa perlu membangkitkan kembali She. Kemasan dan komunikasi pemasarannya dilakukan Design Bridge (DB), perusahaan periklanan yang bermarkas di London. DB membuat kemasan yang sama sekali berbeda dari kemasan terdahulu, baik design maupun pilihan warnanya. Di samping itu, KPI juga mengubah segmen pasar. Data Survey Research Indonesia menunjukan peningkatan kinerja She di pasar.
Bukan hanya SLC yang melakukan upaya tersebut, Procter &Gamble (P & G) juga. Karena peninngkatan permintaan akan barang-barang konsumsi sehari-hari hanya 2%, agar bisa bertahan di pasar P & G harus rajin mencari produk baru, Negara baru, dan bisnis baru.
Generasi baby boomers yang menua tadi, menurut Pepper, akan mulai sakit-sakitan dan berangsur menjadi gemuk. Contoh lain, Grup Konimex dari Indonesia. Menurut Iding Sunadi, Art Director Matari Inc—yang menangani proses kreatif Snips Snaps—pihak Konimex mempercayakan penuh ke Matari untuk menggarap komunikasi pemasran produk tersebut.
Hasil riset menunjukan, citarasa Snips Snaps ternyata tak seperti yang diiklankan. Setelah berdikusi dengan pihak Konimex, akhirnya dicapai solusi. Meluncurlah Snips Snaps rasa keju.
Sulitnya Memasarkan Timor
Hanya dalam empat bulan Timor sudah menjadi sedan terlaris di Indonesia. Bukan itu saja tantangannya: pabrik itu haurs segera direalisasikan, karena PT Timor Putra Nasional (TPN) harus memenuhi ketentuan komponen local 20% dalam stahun. Tak ada upaya terncana menagkis serangan terhadap Timor
Ir. Suparto Soejatmo, Dirctur Utama TDN, mengakui tidak mudah menepis isu negative Timor di pasaran. Tahap selanjutnay, penetuan pilihan. Pada tahap motif mempertimbangkan empat factor yang dianggap memberikan nilai tambah. Pertama, keuntungan fungsional yang tercermin dari segi fungsi mobil sebagai alat transportasi. Kedua, keuntungan emosional, yaitu begaimana kendaraan memberikan rasa nyaman. Ketiga, keuntungan ekspresi pribadi menyangkut gensi dan prestise—kenbdaraan digunakan sebagao tampilan citra diri. Keempat, factor harga.
“Timor prlu upaya mengubah citra,“ saran pengamat pemasaran tadi. Misalnya, membentuk asosiasi-asosiasi baru, agar orang ingat Timor bukan hanya sebagai monas, tetapi juga mobil yang berkualitas dan bergensi.
Bukan Sekedar Harga Murah
Awal Februari lau, selama sehari, saya pergi ke Kuala Lumpur mmemenuhi undangan Oliver Ho, salah seorang aktivis Asosiasi Pemasaran Malaysia. Selain Proton yang bekerja sama dengan Mitsubishi, Malaysia juga punya mobnas lainnya (Daihatsu), kancil. Jadi, hamper tidak ada bedanya dengan di sini.
Bad PR pun semakin bertambah ketika dalam siding DPR bebrapa waktu lalu, seorang anggota fraksi PDI mengemukakan hasil kunjungannya ke pabrik Kia Motors, di Korea Selatan karena itu, strategi sebenarnya di buat berdasarkan taktik, seperti kata Al Ries.
Menurut saya, ada tiga pelajaran menarik yang bisa dipetik berkenaan dengan kurang lakunya Timor. Pertama, PR Timor belum berjalan dengan baik. Pelajaran Kedua, lemahnya upaya mengelola customer satisfaction. Pelajaran ketiga, harga murah belum tentu jaminan sukses produk.
Banting Kartu untuk Meraih Pelanggan
Pengguna telepon seluler kini tak Cuma repot memilihhandset, tapi juga operator. Yang menambah bingung: semua operator rajin beriklan dan menawarkan keunggulan—semuanya kelihatan penting. Perang iklan jelas sekali terlihat. Di Kompas, suatu hari, ada iklan 1/2 halaman “Begitu GSM-XL Langsung Kriiing”. Bahkan belakangan, operator system NMT yang sudah hamper dilupakan, Era Mobitel, kembali terjun ke gelanggan iklan. Hitung saja berapa besar dana yang dikeluarkan hanya untuk biaya iklan. Harga iklan di Kompas untuk berukuran 1/2 halaman sekitar Rp 60 juta. Itu baru iklan. Promosi bentuk lain masih banyak. Para operator, misalnya, juga berlomba menggandeng sejumlah produsen handset untuk menawarkan beragam paket hemat.
Mereka juga melakukan kerja sama promosi yang dikaitkan dengan pembelian barang. Beli kulkas, TV, bahkan beli asuransi oun dapat kertu SIM (Subscrible Identity Module). Kartu yang dibagikan gratis itu tentu tak bisa lagi dijual mahal. Karut yang semula berharga Rp 390 ribu, kini di outlet-outlet penjualan handsetbisa diperoleh dengan Rp 50 ribu.
Seperti terlihat dari belanja iklannya, Telkomsel adalah operator yang paling agresif. Promosi Telkomsel tergolong kreatif. Pertama, ia menciptakan nama unutk produknya—kartu Halo, sesuatu yang tak terpikirkan pesaingnya. Kedua, ia membuat promosi yang sangat segmentatif. Selanjutnya, Telkomsel mencoba masuk ke segmen-segmen tertentu. Ini di,ulai di kalangan muda, dengan meluncurkan program yang disebut WOW Project.
Setelah menggarap kaum muda, dan merasa nama Halo sudah menamcap di benak masyarakat, Telkomsel menggarap pasar yang lebih serius, yakni orang-orang, terutama pengusaha, yangbutuh kemudahan menelpon di mana pun. Tentu, bukan main-main target yang ditetapkan Telkomsel, dengan promosi yang mati-matian.
Telkomsel boleh dikatakan masuk pada saat yang tepat. Saat itu, pesaing utamanya, Satelindo, tengah menghadipi kendala teknis. Selain itu, administrasi billing-nya pun, kata beberapa pelanggan, sempat kacau. Mungkin karena kesulitan-kesulitan di atas, saat itu Satelindo tampak tak banyak melakukan aktivitas pemasaran. Iklannya bahkan sempat hilang.
Kini, ketika dengus napas pesaing terdengar jelas di balik punggungnya, sikap seperti itu tak bisa dipertahankan lagi. Konsep penjualan langsung sebenarnya bukan inovasi Satelindo. Justru bisa dikatakan, Satelindo merespons langkah pesaing lain, XL, yang sudah melakukannya. Menurut Alfred F. Boschulte, Directur Pengelola PT Excelcomindo Pratama, konsep one stop shoppingmemang telah diterapkan sejak XL masuk pasar.
Sebagai operator GSM bungsu, tak ada jalan buat XL unutk mendobrak masuk, kecuali membuat terobosan semacam itu. Soalnya, waktu itu operator lain sudah memiliki keunggulan besar, terutama dalam jaringan. Senjata lain yang dipakai, menurut AL, “High quality of sound and high speed of connection.” Karenanya, sasaran pasar XL adalah orang yang peduli kualitas.
Selain tiga pemain GSM, pertarungan di sini juga diramalkan system lain. Yang utama, Komselindo. Kini Komselindo mencoba bangkit kembali. Dengan motto Kelihatan Suaranya, ia ingin membalikan citra bahwa telepon seluler berbasis AMPS selalu “kresek-kresek”.
Dhany mengakui, pesaing mereka sesungguhnya adalah operator GSM. Dari berbagai komunikasi dan aktivitas pemasaran masing-masing operator, jelas terlihat, agresivitasnya hanya pada pencarian pelanggan yang lebih banyak, alias menjual kartu sebanyak-banyaknya. Kondisi ini sangat memungkinkan orang berganti-ganti kartu. Ini pada gilirannya mempengaruhi kualitas layanan operator. Sebab, banyaknya pelanggan menyebabkan potensi terjadinya ganguan teknis lebih besar. Tak terlalu mudah mengatasi persoalan diatas.
Selanjutnya, dukungan layanan konsumen. Makin banyak pelanggan, tentu makin sulit pelayanannya.
Wah, Direct Marketing
Susah mencari barang belanjaan? Odol, atau popok bayi favorit? Atau, sembako? Di masa suilit seperti sekarang, ketika rak toko swalayan banyak yang kosong dan toko dekat rumah sudah jadi puing lantaran dijarah dan dibakar, bisa jadi Anda mengalaminya.
Tak usah pusing. Sekarang ada DialMart dan Bebita, yang lahir hamper bersamaan, menawarkan jasa baru belanja lewat telepon. Masih ada lagi. Penyelenggara menjamin barang pasti ada dan harga tidak naik-turun seperti timbangan. Buat konsumen mungkin enak. Namun, pengelola harus siap pusing—membangun insfrastruktur lumayan njlimet. Jelas, membutuhkan dukungan teknologi informasi (TI) yang canggih dan mahal. Bebita memfungsikan jaringan sekitar 40 komputer. Selain itu menggunakan aplikasi database cukup serius. dialMart menggunakan Oracale. System yang dibuat juga harus memungkinkan debit otomatis setiap ada pesanan ke rekening bank yang ditunjuk. Bebita hanya menunjuk Bank Universal, sedangkan DialMart menunjuk 6 mitr bank: Bank Lippo, BII, Bukopin, Bank BNI, BRI, dan BCA. Dengan demikian, antara telepon dengan computer pun harus saling terhubung.
Basis jasa belanja lewat telepon adalah direct marketing(DM), atau kegiatan pemasran yang berhubungan langsung dengan pribadi konsumen satu per satu untuk mendapatkan segmen pasar spesifik dengan penawaran yang istimewa. Begiru pula Sahat, sang komandan DialMart, punya latar belakang tak jauh berbeda. Ia pernah aktif berurusan dengan data pelanggan semasa di Divisi Layanan Informasi United Parcel Indonesia.
Menurut Lenny Marlina, artis yang sekaligus Dirut DialMart, pelanggannya adalah segmen pasar kelas A murni, bukan A plus atau A minus. Kecanggihan TI mempengaruhi pula efisiensi. Enny menyadari, pelaksanaan DM dapat berhasil baik bila memiliki perencanaan yang baik. “Yang penting, perencanaan matang dan terus-menerus berubah sesuai tujuan,” katanya di suatu seminar. Sampai saat ini, Enny masih mencoba mengedukasi calon pelanggan. Tentu, ada yang tidak percaya gaya belanja baru ini akan berhasil.
Kelemahan lain DM yng bakal menjadi hambatan adalahproduct liability (keamanan produk) yang belum terjamin, serta hak pengembalian (refund policy) yang belum menjadi tradisi.
Lebih dari Direct Marketing Tradisional
“Selama ini, direct marketer sebetulnya tak ada bedanya dari retailer. Kenapa? Ya, karena mereka melakukan Inside-Out, seperti yang biasa dilakukan oleh retailer.” Kalimat itu saya dengar dari propesor Integrated Marketing Communication di Universitas Northwestern, Don Schultz, ketika mengikuti workshop “Communication Strtegy: Managing Communication for the Changing Marketplace”, dua setengah tahun lalu.
Mengapa Schultz bilang bahwa direct marketer melakukanInside-Out? Soalnya, mereka mencari produk-produknya dulu, baru mencari pembeli. Lho bukankah banyak direct marketer yang sukses meski mamakai cara semacam itu? Betul, kata Schultz. Jadi, kalau masih bertahan dengan Inside-Out, tak banyak keunggulan yang dimiliki direct marketer untuk membuat konsumen tetap loyal. Padahal, pada saat bersamaan, perusahaan harus menghadapi pesaing yang tidak hanya bertambah banyak, tapi juga punya banyak maneuver. Lantas, dalam situasi kompetitif itu, justru sekarang harus sebaliknya: memilih konsumen dulu. Setelah paham benar, barulah dicari produk yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Inilah yang disebut Schultz sebagai Outside-In.
Kemunculan DialMart dan Bebita membuat saya teringat pada usulan Schultz agar perusahaan mulai menggunakan Outside-In. memang, ini nilai lebih home shopping (HS) untuk berbagai produk kebutuhan rutin rumah tangga. Namun, harus diakui, layanan HS tidak berfungsi optimal. Terbukti, sejumlah perusahaan yang semula dikenal sebagai perusahaan HS ternyata malah membuka gerai. Itulah sebabnya, meski dalam harga, pengiriman, kecepatan, dan fleksibilitas lumayan, tapi karena masih ada soal dalam kualita, akibatnya tidak banyak orang yang memanfaatkan HS. Apalagi, mereka pun menetapkan cara yang tepat: menggunakan system keanggotaan. Alias, mengikuti anjuran Schultz unutk memilih konsumen yang hendak dilayani. Tentu saja, pemilihannya tidak hanya terbatas sampai di situ. Perusahaan harus melakukan yang akan dijaga dan jadi andalan bagi tumbuhnya perusahaan.
Share this article :

4 Komentar:

  1. hai..
    hanya mau sedikit koreksi ...untuk kasus mudik lebaran Lifebuoy...
    nama saya bukan Maharani..tapi Maharini Rahsilaputeri Winoto. terimakasih telah menggunakan kasus ini di blog anda...ga kerasa..sudah 14 th yg lalu.
    Mohon dikoreksi nama saya ya ...terimakasih

    ReplyDelete
  2. terima kasih atas koreksinya. Nama anda telah kami revisi. terima kasih telah berkunjung ke blog ini

    ReplyDelete
  3. artikelnya lengkap bener sob. bagus-bagus contoh kasusnya, saya jadi banyak belajar dari contoh kasus diatas.tks

    ReplyDelete
  4. Terima kasih atas analisis yang lengkap.
    Sangat bermanfaat sekali..

    ReplyDelete

Silahkan berkomentar disini walaupun hanya "Hay". Kami akan menghargai komentar anda. Anda berkomentar saya akan berkunjung balik

 
Support : Aris Decoration | Galaxy Young
Copyright © 2014. All in here - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger