Narsis. Narsis. Narsis.
Boleh dibilang, narsis salah satu istilah dari ilmu psikologi yang paling banyak digunakan dalam bahasa sehari-hari. Padahal, jarang sekali ada orang yang bercakap-cakap dalam keseharian mereka dengan menggunakan istilah-istilah psikologi. Hampir tidak pernah ada orang yang menuduh orang lain atau diri sendiri mengalami gangguan psikologis dengan menyebut istilah-istilah khas psikologi, seperti megalomania, skizofrenia, malignant, grandious, dan lainnya. Tapi menyebut diri sendiri atau menuduh orang lain narsis, sudah biasa bukan? Pernah tidak mendengar teman-teman Anda bilang, “Dasar kena skizofrenia lu!” Pasti Anda jarang mendengarnya. Tapi dengar narsis pasti sudah biasa. Sudah lazim orang berkata-kata: “Ih, narsis deh!”, “Dasar narsis!”, “Ya, sedikit narsis begitu”, “Memang narsis tuh orang!”
Apa sih yang Anda tahu tentang narsis? Lima opini dari 5 orang berbeda berikut ini adalah yang paling mencerminkan pandangan umum terhadap narsis.
Tono, 33 tahun, lajang, seorang mahasiswa pasca sarjana di sebuah perguruan tinggi, menjawab : “Narsis itu ketika engkau senyum-senyum bangga pada dirimu sendiri ketika berkaca di depan cermin besar, karena merasa betapa kerennya kamu.”
Dina, 21 tahun, seorang mahasiswi kedokteran menjawab: “Hm..memang sih aku biasa bilang narsis kalau ada orang yang memuji diri sendiri, tapi sebenarnya aku nggak tahu persis arti narsis. Kira-kira artinya, menurutku, orang yang suka memuji diri sendiri di depan orang lain. Mungkin juga sombong ya.”
Ria, 27 tahun, seorang ibu rumah tangga menjawab: “Itu orang yang kagum sama diri sendiri dan bangga setengah mati pada dirinya sendiri dan menganggap remeh orang lain. Dia juga tidak mau dengar apa kata orang. Apa yang benar ya dirinya sendiri saja.”
Budi, 26 tahun, seorang karyawan bank swasta nasional menjawab: “Orang yang merasa bahwa kalau dia berhasil, ya semata-mata karena usahanya sendiri, terus memuji-muji diri sendiri atas keberhasilannya itu.”
Lidya, 16 tahun, seorang pelajar SMU, menjawab: “Narsis itu orang yang selalu percaya kalau dirinya bisa mengerjakan semua hal. Pokoknya apa-apa merasa bisa. Tapi menurutku sih, orang narsis keren lho, mereka pintar-pintar.”
Ketika mereka ditanya, “Apakah ada teman atau saudara kalian yang menurut kalian narsis?” Jawaban mereka nyaris seragam: “Ada sih, tapi nggak banget-banget. Kupikir-pikir, sebenarnya aku juga narsis. Ya, aku yang narsis!”
Untunglah, alih-alih menuduh orang lain, sebagian besar orang yang disurvei selalu menyadari bahwa diri mereka sendiri ternyata narsis. Dengan kata lain, mereka merasa bahwa diri mereka memiliki sifat-sifat narsis. Faktanya, semua orang memang memiliki sifat narsis, hanya derajatnya saja yang berlainan. Ada yang memiliki narsisme tinggi, ada yang sedang-sedang saja dan ada yang rendah. Mereka yang memiliki kadar tinggi itulah yang paling tepat untuk disebut penderita narsisme.
Pada tahun 2007, sebuah survei mengenai kebiasaan online dilakukan oleh Pew & American Life Project menunjukkan gejala narsisme yang luas. Survei tersebut menunjukkan bahwa 47% atau nyaris separuh pemakai internet di AS mencari informasi tentang diri sendiri ketika berselancar di internet. Ketika mereka mulai membuka internet, maka dibukalah situs pencari, seperti google.com, msn.com, yahoo.com, atau yang lainnya hanya untuk mengetik nama sendiri di sana. Mereka ingin tahu seberapa terkenal diri mereka di internet.
Saat ini nyaris semua pengguna internet familiar dengan fasilitas jaringan sosial yang disediakan berbagai situs, misalnya friendster.com dan facebook.com. Mereka, para penggunanya, termasuk Anda, menampilkan profil di situs-situs itu untuk dilihat oleh teman-teman atau siapa pun juga. Foto-foto yang ditampilkan biasanya foto yang paling menarik. Isinya dibuat sebagus mungkin dan seindah mungkin. Seolah-olah profil Anda di internet adalah wajah Anda sendiri, yang harus dipermak sehebat mungkin, sebagaimana Anda ingin terlihat cantik atau tampan.
Setelah jaringan sosial, lalu muncul fenomena blog. Dengan mendompleng pada situs tertentu, misalnya blogger.com, wordpress.com dan multiply.com, Anda bisa memiliki situs sendiri yang bisa Anda modifikasi sesuka hati (misalnya www.smartpsikologi.blogspot.com). Hasilnya, muncul blog atau situs pribadi yang menampilkan profil pemiliknya. Macam-macam isinya, mulai dari cerita dan kisah pribadi, sampai publikasi hasil karya. Beragam motif mereka melakukannya, tapi motif salah seorang pemilik blog berikut sangat mewakili: “Saya membuat blog agar orang bisa melihat saya. Anggap saja itu sebagai media promosi. Saya ingin tunjukkan saya ada.”
Sebagaimana situs jaringan sosial, blog juga menampilkan wajah lain para pemiliknya. Mereka pun memermak blog sedemikian rupa agar terlihat bagus dan keren. Mereka berpikir bahwa blog yang bagus semestinya juga mencerminkan orangnya yang bagus. Jadi begitulah, blog pun sangat digemari.
Blog dan situs jaringan adalah wajah dan pakaian Anda yang lain, yang juga merupakan bagian dari diri Anda yang dilihat orang lain. Sebagaimana Anda ingin terlihat cantik atau tampan, ingin tampak hebat, ingin terlihat menarik, ingin mencari perhatian lewat penampilan dan performa, maka hal yang sama juga terjadi pada Anda saat memiliki profil di friendster atau blog. Dengan kata lain, keduanya merupakan saluran narsis Anda.
Tapi benarkah, nge-blog dan nge-friendster merupakan bukti narsisme? Bagi sebagian besar orang, keduanya sama sekali tidak terkait dengan narsisme, tapi bagi sebagian yang lain, keduanya memang sarana bagus untuk narsis.
Pada umumnya orang menganggap narsis seseorang jika orang itu menunjukkan hal-hal berikut:
- Memuji diri sendiri, misalnya: “Gue keren ya!”, “Siapa dulu yang buat, aku gitu lho, sudah pasti bagus!”, dan “Tak ada yang lebih baik dariku.”
- Mengagumi diri sendiri, misalnya melihat foto sendiri dengan penuh kebanggaan atau becermin lama-lama, termasuk memotret diri sendiri.
- Menunjuk-nunjukkan kehebatannya pada orang lain, misalnya menceritakan pujian orang lain terhadapnya dan menceritakan prestasi yang diraihnya.
Begitulah, ketika Diana berkata pada teman-temannya, “Aku baru saja jadian dengan Dika. Ya, aku sadar, siapa sih yang bisa menolak orang secantik diriku!” Kontan teman-teman si Diana menyahut, “Narsis kamu!”
Akan tetapi apakah orang narsis hanya seperti itu?
Narsis adalah istilah dalam ilmu psikologi untuk menyebut salah satu bentuk gangguan psikologis. Asal katanya adalah narsisme. Gangguan psikologis narsisme (dalam bahasa inggris disebut sebagai Narcissistic Personality Disorder, yang untuk seterusnya disingkat NPD), didefinisikan sebagai:
“Sebuah pola sifat dan perilaku yang dipenuhi obsesi dan hasrat pada diri sendiri untuk mengabaikan orang lain, egois, serta tidak memedulikan orang lain dalam memenuhi kepuasan, dominasi, dan ambisinya sendiri.”
Terkadang narsis disamakan dengan cinta diri yang berlebihan. Dunianya hanya dirinya sendiri tanpa mampu memberikan empati pada orang lain, apalagi cinta. Mereka kurang peduli dengan orang lain. Satu-satunya kepedulian mereka pada orang lain hanya jika orang itu bisa memberikan manfaat bagi diri mereka. Mereka adalah orang-orang yang mampu menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka sendiri.
Jika Anda ingin mengetahui lebih jauh tentang dunia orang-orang narsis, sebuah buku tentang mereka sedang dalam proses penerbitan. Dalam buku itu Anda akan mengetahui yang sesungguhnya tentang orang-orang narsis; ciri-cirinya, penyebabnya, akibatnya, dan dunianya. Anda juga akan tahu bagaimana cara terbaik menghadapi orang-orang narsis, karena sesungguhnya orang narsis adalah orang tersulit di dunia, sebab mereka hidup bukan di dunia kita. Tunggu saja tanggal terbitnya.
0 Komentar:
Post a Comment
Silahkan berkomentar disini walaupun hanya "Hay". Kami akan menghargai komentar anda. Anda berkomentar saya akan berkunjung balik