SOSIALISME MARX (Marxisme)
Di antara sekian banyak pakar sosialis, pandangan Karl Heindrich Marx (1818-1883) dianggap paling berpengaruh. Dari segi teoritis, banyak pakar dan pemikir ekonomi yang mengakui bahwa argumentasi Marx sangat dalam dan luas. Teori-teorinya tidak hanya didasarkan atas pandangan ekonomi saja, tetapi juga melibatkan moral, etika, sosial, politik, sejarah, falsafah dan sebagainya.
A. KECAMAN MARX TERHADAP SISTEM KAPITALIS
Karl Marx sangat benci dengan sistem perekonomian liberal yang digagas oleh Adam Smith dan kawan-kawan. Untuk menunjukkan kebenciannya Marx menggunakan berbagai argumen untuk “membuktikan” bahwa sistem liberal/kapitalis itu buruk. Argumen-argumen yang disusun Marx dapat dilihat dari berbagai segi, baik dari sisi moral, sosiologi maupun ekonomi.
Dari segi moral Marx melihat bahwa sistem kapitalis mewarisi ketidakadilan dari dalam. Ketidakadilan ini akhirnya akan membawa masyarakat kapitalis ke arah kondisi ekonomi dan sosial yang tidak bisa dipertahankan. Walau ada pengakuan bahwa sistem yang didasarkan pada mekanisme pasar ini lebih efisien, akan tetapi sistem ini tetap dikecam sebab sistem liberal tersebut tidak perduli tentang masalah kepincangan dan kesenjangan sosial. Dengan menerapkan sistem “upah besi” kaum buruh dalam sistem perekonomian liberal tidak akan pernah mampu mengangkat derajatnya lebih tinggi karena --- sebagaimana diucapkan Marx --- “pasar bebas memang telah mentakdirkannya demikian”. Untuk mengangkat harkat para buruh yang sangat menderita dalam sistem liberal tersebut Marx mengajak kaum buruh untuk bersatu, dan sistem perekonomian liberal-kapitalis harus digantikan dengan sistem lain yang lebih memperhatikan masalah pemerataan bagi semua untuk semua, yaitu sistem perekonomian sosialis-komunis.
Dari segi sosiologi, Marx melihat adanya sumber konflik antar kelas. Dalam sistem liberal-kapitalis yang diamati Marx ada sekelompok orang (yaitu para pemilik modal) yang menguasai kapital, dan ada sekelompok orang lainnya (yaitu kaum buruh) sebagai kelas proletar yang seperti sudah ditakdirkan untuk selalu menduduki posisi kelas bawah. Jika tidak dilakukan sesuatu, demikian argumentasi Marx, jumlah kaum nestapa ini akan semakin besar. Sebagai langkah antisipasi, Marx menganjurkan agar sistem liberal yang menyebabkan kaum buruh menderita tersebut harus diperbaiki, atau lebih tepat lagi, diganti dengan sistem sosialis yang lebih “berpihak” pada golongan kaum buruh.
Dari segi ekonomi, Marx melihat bahwa akumulasi kapital di tangan kaum kapitasil memungkinkan tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Akan tetapi pembangunan dalam sistem kapitalis sangat bias terhadap pemilik modal. Untuk bisa membangun secara nyata bagi seluruh lapisan masyarakat, perlu dilakukan perombakan struktur melalui revolusi sosial. Jika langkah ini berhasil, maka langkah berikutnya yang harus diambil ialah penataan kembali hubungan produksi (khususnya dalam sistem pemilikan tanah, alat-alat produksi dan modal). Menurut Marx, hanya atas dasar hubungan yang lebih manusiawi ini pembangunan dapat berjalan lancar tanpa hambatan dan dapat diterima oleh seluruh lapisan rakyat.
Atas pandangan yang sangat skeptis di atas, tidak heran jika Marx meramal bahwa suatu masa sistem kapitalis akan hancur. Menurut ramalan Marx sistem kapitalis hancur bukan disebabkan oleh faktor-faktor lain, melainkan karena keberhasilannya sendiri. Sistem kapitalis dinilai Marx mewarisi daya self destruction, suatu daya dari dalam yang akan membawa kehancuran bagi sistem perekonomian liberal itu sendiri. Bagi Marx sistem kapitalis adalah suatu sistem yang “sudah busuk dari dalam” dan tidak mungkin diperbaiki. Untuk membawa masyarakat pada kehidupan yang lebih baik, tidak ada jalan lain, sistem liberal atau kapitalis tersebut harus dihancurkan dan diganti dengan sistem yang lain yang lebih manusiawi, yaitu sistem sosialis/komunis.
B. TEORI PERTENTANGAN KELAS
Dalam buku Manifesto Komunis dapat diikuti bagaimana teori Marx tentang pertentangan kelas. Menurut Marx, sejarah segala masyarakat yang ada hingga sekarang pada hakikatnya adalah sejarah pertentangan kelas. Di zaman kuno ada kaum bangsawan yang bebas dan budak yang terikat. Di zaman pertengahan ada tuan tanah sebagai pemilik dan hamba sahaya yang menggarap tanah bukan kepunyaannya. Bahkan di zaman modern ini juga ada majikan yang memiliki alat-alat produksi dan buruh yang hanya punya tenaga kerja untuk dijual kepada majikan. Disamping itu juga ada masyarakat kelas kaya (the haves) dan kelas masyarakat tak berpunya (the haves not). Semua kelas-kelas masyarakat ini dianggap Marx timbul sebagai hasil dari kehidupan ekonomi masyarakat.
Menurut pengamatan Marx, di seluruh dunia ini di sepanjang sejarah, kelas yang lebih bawah selalu berusaha untuk membebaskan dan meningkatkan status kesejahteraan mereka. Sekarangpun (maksudnya di masa Marx) tak terkecuali, tetap ada perjuangan kelas. Dengan anggapan seperti ini Marx meramal bahwa kaum proletar yang terdiri dari para buruh akan bangkit melawan kesewenang-wenangan kaum pemilik modal dan akan menghancurkan kelas yang berkuasa. Bagaimana Marx menganggap bahwa kaum proletar dihisap dan diproses oleh para pemilik modal? Teori yang digunakan untuk menjelaskan penindasan tersebut adalah teori lebih (theory of surplus value), yang sebenarnya berasal dari kaum klasik sendiri.
C. TEORI “SUPRPLUS VALUE” DAN PENINDASAN BURUH
Menurut pandangan kaum klasik (Ricardo), nilai suatu barang harus sama dengan biaya-biaya untuk menghasilkan barang tersebut, yang di dalamnya sudah termasuk ongkos tenaga kerja berupa upah alami (natural wages). Upah alami yang diterima oleh para buruh hanya cukup sekedar penyambung hidup secara subsistem, yaitu untuk memenuhi kebutuhan yang sangat pokok-pokok saja. Padahal nilai dari hasil kerja para buruh jauh lebih besar dari jumlah yang diterima mereka sebagai upah alami. Kelebihan nilai produktivitas kerja buruh atas upah alami inilah yang disebut Marx sebagai nilai lebih (surplus value), dinikmati oleh para pemilik modal. Makin besar nilai surplus yang dinikmati pemilik modal, yang bagi Marx berarti makin besar penghisapan atau eksploitasi dari pemilik modal atau kaum buruh. Sebagaimana yang tertulis oleh Marx dalam Das Kapital (yang sudah di bahasa-Inggriskan oleh Samuel Moore dan Edward Aveling menjadi: capital: A Critique of Political Economy (1984): The rate of surplus-value is therefore an expression for the degree of exploitation of labour-power by capital, or of the labourer by capitalist.
Menurut Marx, sebagian dari nilai surplus itu merupakan hak para pekerja, tetapi semuanya dikangkangi oleh para pemilik modal. Mereka (para pemilik modal tersebut) telah memakan yang bukan hak mereka. Sebagian dari nilai lebih tersebut kembali ditanamkan untuk investasi, apakah perluasan usaha yang ada atau membuka lapangan usaha baru. Dari hasil investasi ini para pemilik modal akan menerima hail yang lebih besar. Kekayaan mereka terus menumpuk, sehingga makin lama semakin besar.
Akumulasi kapital akan semakin berhasil jika para kapitalis bisa menindas kaum buruh sekeras-kerasnya, yaitu dengan memberikan tingkat upah yang sangat rendah. Di sini tampak perbedaan yang sangat nyata antara Marx dan Smith dalam memandang persaingan. Kalau Smith menganggap persaingan bebas sebagai prasyarat bagi terbentuknya masyarakat sejahtera, sebaliknya Marx memandangnya sebagai penyebab terjadinya konsentrasi-konsentrasi ekonomi atau monopoli. Kompetisi dinilai Marx mengandung sesuatu daya yang kalau tidak diawasi akan menghancurkan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Perusahaan-perusahaan besar akan mencaplok yang kecil. Yang lemah akan tergusur dari pasar. Akibatnya jumlah golongan menengah menciut, jumlah kaum proletar akan semakin banyak.
Sebagai ekses dari persaingan yang tidak sehat tersebut maka sebagian yang kalah tercampak dari pasar. Mereka yang tergusur dari pekerjaan semula akan mengumpul di pusat-pusat industri, membentuk perkampungan-perkampungan kumuh. Tetapi adanya pemusatan para penganggur ini justru menguntungkan kaum kapitalis, sebab mereka bisa dijadikan sebagai cadangan tenaga kerja murah. Dengan banyaknya orang yang antri mencari pekerjaan, maka kaum buruh yang “cukup beruntung memperoleh pekerjaan” walau dengan upah sangat rendah tersebut tidak akan bisa macam-macam. Kalau mereka membuat ulah, dengan segera mereka bisa dipecat (PHK) dan seribu orang siap menggantikannya. Akibat yang lebih nyata dari keadaan ini: kehidupan buruh kian lama semakin tergencet.
Tetapi dengan praktek “gencet menggencet” seperti ini siapa sesungguhnya yang rugi? Kaum buruh jelas rugi, sebab mereka hanya bis memperoleh nafkah sekedar penyambung hidup belaka. Bagaimana dengan pemilik modal? Pada mulanya dengan menekan upah buruh mereka memang untung. Tetapi dengan jumlah buruh yang sangat banyak, sedang pendapatan mereka sangat rendah, siapa yang akan membeli barang-barang dan jasa yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik? Karena daya beli masyarakat rendah, barang-barang yang dihasilkan menjadi tidak laku. Pabrik-pabrik terpaksa tutup. Semua ini bukan karena salah siapa-siapa, melainkan karena tingkah kaum kapitalis sendiri. Lebih lanjut Marx menganalisis: jika pabrik-pabrik pada tutup, pengangguran akan semakin merajalela, yang akan membawa kekalutan pada masyarakat. Marx meramal akan datang suatu masa, di mana terjadi krisis besar-besaran, yang akan mengakhiri riwayat sistem kapitalistis.
D. DIALEKTIKA SEJARAH
Dari setiap argumen yang dilontarkan Marx di atas jelas sekali bahwa ide tentang konflik selalu ditekankan: konflik antara ideal dan realitas; antara kapital dan labor; juga antara pertumbuhan dan stagnasi. Dari setiap konflik akan muncul perubahan, dan untuk alasan ini Marx berpendapat bahwa sistem kapitalisme mesti diganti dengan sistem lain di mana konflik diganti dengan harmoni atau keselarasan etis, sosial dan ekonomi.
Proses pembangunan melalui konflik merupakan proses dialektik. Proses ini mempunyai basis dalam pembagian masyarakat atas kaum pekerja dan kapitalis. Bagi Marx, pangkal dari semua perubahan adalah karena dilakukannya penghisapan atau eksploitasi dari para kapitalis terhadap kaum buruh. Eksploitasi terhadap buruh tersebut telah memungkinkan terjadinya akumulasi kapital di pihak pemilik modal, tetapi menyebabkan pemiskinan di kalangan buruh.
Perbedaan yang sangat menyolok antara pemilik kapital dan kaum proletariat sebagaimana dijelaskan di atas akan membawa ke arah revolusi sosial. Bagaimana revolusi sosial tersebut terjadi sebagai akibat dilakukannya eksploitasi terhadap labor.
Bagi Marx, dialektika sejarah merupakan suatu keniscayaan: sesuatu yang pasti bakal terjadi. Yang jelas, jika kaum proletar sudah tidak tahan lagi, mereka akan melancarkan revolusi. Para pekerja akan menghancurkan pabrik-pabrik dan merusak segala milik kaum kapitalis. Tetapi jika ini terjadi, semua pihak akan rugi; baik kaum kapitalis maupun mereka sendiri. Sebab, jika pabrik-pabrik hancur, berarti mereka akan tergusur dari lapangan kerja. Untuk menghindari tindakan-tindakan yang merugikan semua pihak, di sinilah peran kaum komunis diharapkan. Menurut Marx, kaum komunis yang memperjuangkan nasib kaum proletar harus menuntun revolusi yang dilancarkan kaum proletar ke arah yang benar, dan revolusi harus dilancarkan sebaik-baiknya.
Agar revolusi berjalan sukses, Marx menganjurkan agar kaum komunis mendukung setiap gerakan melawan tatanan sosial politik sistem kapitalis. Kaum proletar yang sudah sangat menderita dan tidak memiliki apa-apa di bawah sistem kapitalis tidak akan kehilangan apa-apa dalam memperjuangkan revolusi. Bagi Marx, untuk memperjuangkan nasib mereka sendiri kaum buruh di seluruh negeri harus bersatu memperjuangkan sebuah sistem baru yang lebih berpihak kepada kaum buruh, yaitu sistem sosialis/komunis.
0 Komentar:
Post a Comment
Silahkan berkomentar disini walaupun hanya "Hay". Kami akan menghargai komentar anda. Anda berkomentar saya akan berkunjung balik