BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Skenario Pertumbuhan Ekonomi
Mengawali kerja beratnya, Pemerintah telah menetapkan sasaran-sasaran ekonomi yang diungkapkan dalam indikator-indikator laju pertumbuhan berikut: Mendorong laju pertumbuhan ekonomi dari 4,5% pada tahun 2003 menjadi 7,6% pada tahun 2009, sehingga dalam lima tahun mendatang dapat mencapai rata-rata 6,6% per tahun. Tingkat pertumbuhan ini, secara teoritik, diperlukan untuk menurunkan angka pengangguran dan tingkat kemiskinan. Pengangguran akan dikurangi dari 9,5% pada tahun 2003 menjadi 6.7 % pada tahun 2009. Sedangkan tingkat kemiskinan ditekan dari 16,6 % pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada tahun 2009. Sasaran laju pertumbuhan di atas hanya akan tercapai jika rasio investasi terhadap PDB dapat ditingkatkan dari 20,5% pada tahun 2004 menjadi 28.4% pada tahun 2009.
Lebih lanjut, secara konsensual disebutkan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi umumnya mengandalkan pada aspek konsumsi, investasi dan ekspor. Laju pertumbuhan ekonomi yang kita alami selama tahun-tahun terkahir, ternyata lebih banyak didominasi oleh pertumbuhan konsumsi yang sangat berfluktuasi. Sedangkan pertumbuhan dengan meningkatkan investasi mengalami hambatan karena iklim investasi yang belum membaik, sementara negara-negara tetangga terutama di Asia Tenggara lebih menarik dan menjanjikan bagi investor. Keadaan ini diperburuk oleh kondisi infrastruktur yang kurang memadai untuk menopang kebutuhan minimal pertumbuhan ekonomi yang kita butuhkan untuk menekan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Secara sektoral, pemerintah berketetapan hati menempuh kebijaksanaan untuk mempercepat pemulihan pertumbuhan ekonomi. Yang terkait langsung dengan UMKM, dalam berbagai kesempatan, telah dicanangkan tiga butir kebijakan pokok di bidang ekonomi. Pertama, adalah peningkatan layanan jasa keuangan khususnya untuk pelaku UMKM, yang meliputi perbaikan layanan jasa perbankan, pasar modal, multifinance, asuransi, dsb. Kebijakan pokok kedua adalah peningkatan infrastruktur layanan jasa-keuangan, berupa akses pasar, layanan penagihan dan pembayaran, kemudahan investasi dan menabung, serta dukungan umum atas pelaksanaan transaksi perdagangan.
Data tahun 2003 menunjukkan bahwa UMKM menyerap 99.45% tenaga kerja, tetapi hanya 58.3% dalam penciptaan nilai tambah. Akibatnya terdapat ketimpangan yang mencolok antara produktivitas per tenaga kerja antara UMKM dengan usaha besar yaitu 1:129. Jika seandainya produktivitas tenaga kerja dalam UMKM dapat menyamai 2% saja (dari 0.8% dewasa ini) dari produktivitas usaha besar maka nilai PDB Indonesia akan meningkat lebih dari 50% dari PDB tahun 2003.(Bakri, 2004). Peningkatan layanan jasa dan infrastruktur pendukungnya tidak akan berarti banyak tanpa upaya pembenahan menyeluruh untuk meningkatkan kemampuan entrepreneurship bagi pelaku UMKM. Maka, kebijakan pokok ketiga adalah meningkatkan kemampuan dan penguasaan aspek-aspek teknis dan manajemen usaha, pengembangan produk dan penjualan, administrasi keuangan, dan kewirausahaan secara menyeluruh.
Pengembangan Agroindustri
Paparan skenario di atas tidak secara spesifik menunjukkan pada segmen industri apa prioritas pengembangan akan difokuskan. Pengembangan agroindustri merupakan salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan. Sebagai industri berbasis sumber daya, agroindustri berpotensi dapat meningkatkan cadangan devisa serta penyediaan lapangan kerja. Hal ini dinilai strategis mengingat Indonesia merupakan satu dari sedikit negara di daerah tropis yang memiliki keragaman hayati (biodiversity) cukup besar. Untuk sektor perkebunan saja tidak kurang dari 145 komoditi yang tercatat sebagai komoditi binaan, sementara yang memiliki nilai ekonomis dapat diandalkan baru sekitar 10% diantaranya kelapa sawit, karet, kopi, jambu mete (Saragih, 2002).
Selanjutnya, pengembangan agroindustri akan sangat strategis apabila dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Pengertian terpadu adalah keterkaitan usaha sektor hulu dan hilir (backward and forward linkages), serta pengintegrasian kedua sektor tersebut secara sinergis dan produktif. Sedangkan dengan konsepsi berkelanjutan, diartikan sebagai pemanfaatan teknologi konservasi sumberdaya dengan melibatkan kelompok lembaga masyarakat, serta pemerintah pada semua aspek.
Dengan demikian diperlukan jaringan kerja dan peran aktif semua pihak yang terkait. Keterpaduan dan berkelanjutan inilah yang menempatkan UKM yang tergabung dalam sentra sentra, menjadi variabel penting. Hal ini karena agroindustri, yang memproduksi kebutuhan konsumsi masyarakat memiliki .multiplier effects. tinggi karena keterlibatan berbagai komponen dalam masyarakat (Tambunan, 2003).
Dari sisi perkembangan usaha dan kelembagaan, Departemen Perindustrian mendata 40 jenis komoditi dari air minum, ikan dalam kaleng, kecap, sampai dengan makanan ringan (snack food). Data yang dikumpulkan Depperindag (2003) menunjukkan bahwa perusahaan yang terlibat dalam agroindustri, jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2000 tercatat 2.673 perusahaan, dan berkembang menjadi 2.924 perusahaan pada tahun 2004. Meningkatnya jumlah perusahaan agroindustri ternyata berdampak terhadap meningkatnya jumlah tenaga kerja. Total tenaga kerja pada tahun 1999 adalah 735.388 dan tumbuh menjadi 744.777 pada tahun 2003. Jumlah tenaga kerja ini adalah karyawan yang terlibat langsung dalam perusahaan. Jumlahnya akan jauh lebih besar bila memperhitungkan tenaga kerja yang tidak langsung terkait dengan perusahaan agroindustri, misalnya pedagang pengecer, pemasok, dan tenaga permanen.
Sementara itu, perkembangan kapasitas produksi menunjukkan gambaran bahwa masih banyak kemampuan produk yang bisa dioptimalkan. Data yang ada menunjukkan bahwa pada semua komoditi, total kapasitas terpasang masih lebih besar dibandingkan dengan produksi riil. Rata-rata utilitas pada tahun 2001 adalah 56.25% dan menjadi 14.94% pada tahun 2004. Dengan demikian terjadi peningkatan produksi, yang lebih banyak dapat memanfaatkan kapasitas terpasang.
Dalam kegiatan ekspor-impor, agroindustri juga menunjukkan perkembangan. Dengan menggunakan ukuran berat/tonase, maka pada tahun 2000 diekspor 5.442 metrikton, meningkat menjadi 5.937 metrikton tahun 2003. Nilainya meningkat dari USD 2.743 juta pada tahun 2000 menjadi USD 3.769 juta pada tahun 2003. Sementara itu, dari sisi impor, ternyata juga mengalami kenaikan yaitu dari 1.835 metrikton pada tahun 2000 bernilai USD 696 juta menjadi 3.217 metrikton senilai USD 1.217 juta pada tahun 2003. Dari sisi investasi dalam agorindustri menunjukkan peningkatan walaupun tidak signifikan, yaitu dari total investasi sebesar Rp. 26.729 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp. 27.850 milyar pada tahun 2003. Data sebagaimana dilaporkan di atas secara umum menggambarkan tren peningkatan dalam berbagai aspek pengembangan agroindustri. Sudah barang tentu tren umum di atas kurang menampakkan aspek lain yang lebih rinci, misalnya; proporsi perkembangan komoditas strategis, jenis dan sebaran komoditas di masing-masing wilayah, dan produktivitas masing-masing unit produksi.
B. Rumusan Masalah
- Apakah agroindustri skala menengah dan skala kecil mampu berkembang dengan baik atau tidak?
- Apakah agroindustri ini mampu meningkatkan ekonomi mikro indonesia?
- Apakah agroindustri bisa menyerap tenaga kerja yang banyak?
C. Tujuan Penulisan
- Melihat apakah agroindustri di Indonesia layak untuk berkembang
- Melihat apakah agroindustri mampu berdaya saing
- Kebijakakan-kebijakan pemerintah yang mendukung usaha agroindusrti
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Definisi Agroindustri
- Soekartawi (2009:9) mendefinisikan agroindustri sebagai fase pertumbuhan setelah pembangunan pertanian, tetapi sebelum pembangunan tersebut dimulai ketahapan pembangunan industri.
- FAO mengdefinisikan agroindustri sebagai suatu industri yang menggunakan bahan baku dari pertanian dengan jumlah minimal 20% dari jumlah bahan baku lainnya.
- Saragih (2001:35) mengemukakan bahwa agroindustri adalah industri yang memiliki keterkaitan ekonomi yang kuat dengan komoditas pertanian.
B. Peranan Agroindustri dan Pembangunan Nasional
- Menurut Saragih (2001:35) jika ditelusuri lebih dalam, industri yang masih mampu bertahan selama krisis ekonomi sebagian besar adalah agroindustri.
- Selanjutnya dikemukakan bahwa sebagai suatu subsistem agribisnis, agroindustri memiliki potensi yang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan masyarakat, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta mempercepat pembangunan daerah. Pendek kata agroindustri dapat dijadikan sebagai leading sectors dalam perekonomian indonsia.
C. Potensi Agroindustri sebagai Leading Sector
- Berdasarkan penelitian pusat studi pembangunan studi IPB (1997) pangsa agroindustri dalam nilai tambah industri nonmigas tahun 1995 mencapai 70% sementara pangsanya dalam ekspor industri nonmigas adalah lebih dari 80%.
- Menurut Syarkawi (1992) ada dua alasan mengapa agroindustri memiliki peranan penting:
1) Karena agroindustri adalah bidang usaha yang menawarkan kesempatan luas bagi upaya pemerintah untuk menata struktur perekonomian Indonesia.
2) Sumbangan yang besar dari sektor agroindustri terhadap nilai tambah perekonomian Indonesia. Sumbangan itu bersifat nonmigas dan sangat diharapkan naik nilainya dalam upaya divesifikasi sumber pendapatan nasional.
BAB III
PEMBAHASAN
Permasalahan yang Dihadapi
Masalah umum yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri adalah potensi agroindustri yang sangat besar belum sepenuhnya mampu diwujudkan secara berdaya-guna dan berhasil-guna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sumberdaya permodalan, hambatan teknologi dan rendahnya efektivitas kelembagaan yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi strategis di atas. Permasalahan tersebut muncul karena adanya beberapa titik lemah dalam kebijakan dan implementasi program pengembangan agroindustri di Indonesia, terutama adalah sebagai berikut :
A. Rendahnya Produktivitas dan Daya Saing
Pada fase awal krisis multidimensi pada tahun 1998, maka kegiatan agroindustri, tetap tegar menghadapi krisis. Akan tetapi situasi ini memunculkan masalah baru yaitu rendahnya produktivitas usaha dan disparitas pendapatan antar sektor, sehingga daya saing produk agroindustri kita khususnya di pasar internasional menurun.
Produktivitas sangat terkait dengan aspek penerapan teknologi pengolahan, pengolahan hasil pertanian sebagian besar masih menggunakan teknologi serta peralatan pengolahan yang sampai saat ini sederhana dan masih belum memadai. Pengetahuan dan kesadaran petani sebagai produsen dan juga sebagai salah satu pelaku pasar masih kurang. Rendahnya penggunaan teknologi ini diakibatkan oleh tingkat kualitas sumber daya manusia pelaku agroindustri masih rendah dan kurang tersedianya teknologi dan peralatan pengolahan secara merata. Lemahnya pembinaan dan penerapan jaminan mutu mempunyai andil terhadap rendahnya mutu produk yang dihasilkan agroindustri. Rendahnya kesadaran akan produk yang bermutu dan aman, sangat berpengaruh terhadap upaya-upaya peningkatan mutu hasil pertanian. Belum mampunya produk-produk agroindustri kita merespon perubahan tuntutan konsumen yang cenderung menyukai produk dengan kualitas tinggi, kontinyuitas pasokan, ketepatan waktu penyampaian, serta harga yang kompetitif.
Teknologi pengolahan yang telah adaternyata tidak dimanfaatkan disebabkan (a) tidak tersedianya alat mesin yang produktif dan terjangkau, (b) kalaupun tersedia manajemen pengelolaannya masih sangat lemah (c) alat mesin panen dan pascapanen masih sangat mahal (d) adanya masalah sosiologis menyangkut penggunaan teknologi dan tenaga kerja manusia (Tambunan, 2003).
B. Keterbatasan kapasitas dan kemampuan pelaku agroindustri untuk menghimpun sumberdaya dalam rangka meningkatkan posisi tawarnya.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa salah satu ciri agroindustri di Indonesia adalah sebagian besar beroperasi dalam skala yang relatif kecil. Hal ini berarti bahwa agroindustri bersifat menyebar, masif, dengan sumberdaya yang tersebar dan terpisah-pisah.
Hal semacam ini menimbulkan masalah tersendiri dalam organisasi dan tatalaksana yang mampu mengorganisir sumberdaya sehingga terhimpun menjadi kekuatan penyalur aspirasi yang dapat disinergikan secara efektif.
Dewasa ini terdapat sekitar 34,42 juta unit usaha yang terdiri dari 2.000 unit usaha besar (konglomerasi), 37.000 unit usaha menengah dan selebihnya adalah unit usaha kecil. Usaha kecil tersebut, sebagian besar bergerak di bidang pertanian yakni 21,2 juta unit usaha atau 64% dari seluruh usaha kecil, bidang perdagangan 6,8 juta atau 17% dan bidang industri manufaktur 2,5 juta unit usaha atau 7,5%. Dari 33.381.000 unit usaha kecil hanya menguasai 33,9% PDB, sedang dari 2.000 usaha besar ternyata telah menguasai 61,1% PDB, dan sisanya sekitar 5% PDB dikuasai 37.000 unit usaha menengah. Angka-angka di atas memperlihatkan adanya kesenjangan dalam produktivitas dan efisiensi antara industri-industri skala kecil, dan menengah di satu pihak dan industri-industri besar di lain pihak. Dari data agregat di atas, tampak hal yang ironis yaitu tidak terwakilinya aspirasi pelaku usaha agroindustri melalui institusi formal yang aspiratif. Walaupun jumlahnya besar namun posisi tawarnya secara politik tidak mampu terhimpun untuk menjadi kekuatan aspirasi kepentingan secara efektif. Hal ini penting karena dalam wacana pengambilan keputusan politik pada tingkat nasional, maka lobi-lobi politik diperlukan terutama untuk mempengaruhi opini publik, menjadi kelompok penekan dan sebagai institusi penyalur aspirasi dari konstituennya.
C. Lemahnya keterkaitan struktural agroindustri, baik secara internal, maupun dalam hubungannya dengan sektor lain.
Pengembangan agroindustri semestinya menjadi pilihan yang strategis dalam menanggulangi permasalahan ekonomi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal ini disebabkan adanya kemampuan yang tinggi dari agroindustri dalam hal perluasan kesempatan kerja, mengingat sifat industri pertanian yang padat karya dan bersifat masal. Potensi yang besar dan tersebar tersebut belum dapat dirangkai menjadi suatu keterkaitan yang integratif, baik antar wilayah, antar sektor, dan bahkan antara satu komoditas dengan komoditas lain.
Pembangunan pertanian masa lalu dinilai cenderung bias pada padi dan beras. Sebagian besar upaya inovasi dan pembangunan teknologi program pertanian masa lalu difokuskan pada padi dan beras, sehingga inovasi dan pengembangan
teknologi bagi pangan lainnya berjalan sangat lamban bahkan tertinggal (Arifin, 2004). Akibatnya ketika kebijakan diversifikasi konsumsi pangan digalakkan untuk mengurangi ketergantungan pada beras, kemampuan untuk menyediakan produk pangan non-beras Indonesia tidak memadai sehingga kesempatan ini diisi oleh aneka pangan impor (Saragih, 2000).
Lokasi usaha tani yang terpencar pencar dengan luasan yang sempit serta jauh dari lokasi agroindustri yang mengolah, menyebabkan kurang terintegrasinya bahan baku dengan industri pengolah. Perusahaan agroindustri pada umumnya tidak mempunyai lahan budidaya sendiri, tetapi sangat tergantung kepada pasokan bahan baku dan petani sekitarnya. Keadaan ini mengandung kesulitan manajemen yang tinggi karena
beragamnya masing-masing usaha dan lemahnya kemitraan akibat kurangnya pemahaman pihak petani dan pengusaha agroindustri dalam pengelolaan hasil yang baik.
Penyebab belum adanya koordinasi, integrasi tersebut karena belum adanya kebijakan-kebijakan dan program agroindustri terpadu, yang mencakup beberapa bentuk kebijaksanaan; di tingkat perusahaan (firm level policy); kebijaksanaan tingkat sektoral untuk mengembangkan seluruh kegiatan usaha sejenis belum membuahkan hasil dan kebijaksanaan di tingkat sistem agroindustri yang mengatur keterkaitan antara beberapa sektor, kebijaksanaan ekonomi makro yang mengatur seluruh kegiatan perekonomian terhadap agroindustri.
D. Kebijaksanaan makro dan mikro ekonomi yang kurang berpihak kepada agroindustri
Pengembangan agroindustri pada berbagai skala kegiatan perlu didukung adanya kebijaksanaan makro dan mikro yang dapat menciptakan usaha yang kondusif, dan semakin memudahkan pelaku agroindustri dalam mengakses ke sumberdaya produktif.
Selama ini pembangunan pertanian cenderung bias ke masyarakat perkotaan, menguntungkan penduduk kota, dan nilai tambahnya lebih banyak dinikmati penduduk kota (Arifin, 2004). Perhatian pada kepentingan non-pertanian khususnya sektor industri dan manufaktur (ketika pangan dan pertanian menjadi residual) jauh lebih besar daripada pemenuhan kebutuhan pangan penduduk serta kesejahteraan petani. Akibatnya, potensi produksi agroindustri belum dikelola secara optimal, menyebabkan produktivitas agroindustri kurang berkembang.
Saragih (2000) mencatat bahwa di masa lalu, dengan orientasi pada peningkatan produksi (production-driven), maka yang menjadi motor penggerak sektor pertanian adalah usahatani. Dengan demikian usahatani menentukan perkembangan agroindustri hilir dan hulu. Hal ini tidak menjadi masalah karena memang sesuai dengan kondisi pasar pada masa itu. Di samping itu, karena target pembangunan sektor pertanian masih diorientasikan untuk mencapai tingkat memaksimalkan produksi. Atributatribut produk yang terurai secara rinci dan lengkap, belum menjadi tuntutan konsumen. Namun dewasa ini, lebih-lebih dengan disosialisasikannya undang-undang tentang perlindungan konsumen, orientasi sektor agroindustri telah berubah kepada orientasi pasar yang secara dinamik berusaha memenuhi preferensi konsumen, dan sekaligus berupaya keras untuk menjaga keamanan dan kepuasan konsumen.
Perubahan preferensi konsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih rinci dan lengkap serta adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka motor penggerak sektor pertanian berubah, dari usahatani kepada agroindustri. Keadaan ini mengharuskan adanya kebijaksanaan makro dan mikro yang berpihak kepada agroindustri.
Peluang Pengembangan Agroindustri
Kendatipun terdapat hal-hal yang merupakan penghambat terhadap pertumbuhan agroindustri, namun sektor ini masih memiliki peluang untuk berkembang secara meyakinkan, terutama bila dikelola secara arif dan bijaksana. Peluang tersebut adalah :
a. Jumlah penduduk Indonesia yang kini berjumlah lebih dari 220 juta jiwa merupakan aset nasional dan sekaligus berpotensi menjadi konsumen produk agroindustri. Namun bila potensi ini tidak dikelola dengan baik, maka justru akan menjadi beban bagi kita semua. Tingkat pendapatan masyarakat yang semakin meningkat merupakan kekuatan yang secara efektif akan meningkatkan permintaan produk pangan olahan.
b. Berlangsungnya era perdangangan bebas berskala internasional, telah semakin membuka kesempatan untuk mengembangkan pemasaran produk agroindustri.
c. Penyelenggaran otonomi daerah memberikan harapan baru akan munculnya prakarsa dan swakarsa daerah untuk menyelenggarakan pembangunan sesuai dengan program dan aspirasi wilayah yang spesifik dan berdaya saing. Peningkatan kinerja pemerintah daerah, bila dibarengi dengan stabilitas politik merupakan faktor penting yang akan menarik minat para investor untuk mengembangkan agroindustri.
d. Dari sisi suplai sumberdaya, agroindustri masih memiliki bahan baku yang beragam, berlimpah dalam jumlah dan tersebar di seluruh penjuru tanah air. Sementara itu kapasitas produksi usaha agroindustri yang masih dapat ditingkatkan; Modernisasi dan teknologi pengolahan yang semakin banyak diaplikasikan, merupakan jaminan akan meningkatnya kualitas dan kuantitas produksi agroindustri.
e. Dalam proses produksinya, bahan baku agroindustri tidak bergantung pada komponen impor. Sementara pada sisi hilir, produk agroindustri umumnya berorientasi ekspor. Dihadapkan pada peluang, sebagaimana diuraikan di atas, sektor agroindustri memiliki potensi dan peluang dan cukup menjanjikan untuk dikembangkan.
Kendala Pengembangan Agroindustri
Sebagai sektor yang mempunyai kekuatan untuk menjadi penggerak ekonomi nasional, agroindustri telah memperlihatkan peran yang sangat besar. Namun demikian pengembangan agroindustri dalam rangka mendukung ketahanan pangan juga menghadapi sejumlah kendala, antara lain adalah:
a. Belum terfokusnya arah dan orientasi perkembangan agroindustri sehingga sulit untuk menetapkan skala prioritasnya.
b. Belum efektifnya peran lembaga yang berperan dalam pengadaan stok produk agroindustri melemahkan sistem cadangan produk pertanian yang secara tradisional telah dikembangkan masyarakat selama ini.
c. Sentra-sentra produksi belum dapat diandalkan untuk bekerja secara efektif dan efisien sehingga mampu menyediakan bahan baku dan menghasilkan produk secara berkesinambungan dalam jumlah dan kualitas yang memadahi.
d. Penguasaan, pemilikan dan akses terhadap sarana teknologi dan alatalat pengolahan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas barang masih kurang. Faktor inilah yang menyebabkan mutu produk olahan belum dapat memenuhi standar kualitas yang diharapkan lebih-lebih penyesuaian dengan standarisasi produk yang diperlukan untuk mengisi pasar internasional.
e. Pemasaran dan distribusi belum berkembang terutama karena keterbatasan infrastruktur berupa sarana transportasi, komunikasi dan informasi.
f. Sumberdaya manusia yang memilki ketrampilan, pengetahuan dan sikap yang profesional masih terbatas baik dalam jumlah, kualifikasi, maupun sebarannya.
g. Belum adanya kebijakan yang mengontrol dan mengendalikan ekspor bahan mentah untuk melindungi dan merangsang berkembangnya agroindustri di dalam negeri.
Dengan gambaran yang cukup kompleks tersebut di atas, maka konsepsi pengembangan agroindustri, hendaknya diorientasikan untuk mewujudkan kondisi agroindustri yang diharapkan dengan karakter sebagai berikut :
(1) Meningkatnya Produktivitas dan Daya Saing Agroindustri
Ketika Indonesia mengalami krisis multidimensional, agroindustri mampu menunjukkan kemampuannya untuk menjadi katup pengaman untuk mencegah terjadinya keterpurukan ekonomi yang lebih parah. Hal ini terjadi karena sesuai dengan ciri-ciri agroindustri. Ciri-ciri agroindustri ini terkait erat dengan karakteristik komoditas pertanian, yaitu: (a) bersifat musiman, (b) mudah rusak, (c) memakan tempat, (d) amat beragam, (e) transmisi harga rendah, dan (f) struktur pasar monopsonis (Arifin, 2003).
Peningkatan produktivitas agroindustri diarahkan sehingga mata rantai kegiatan agroindustri dalam negeri tidak lagi mengandalkan produk atau bahan baku diimpor. Kemandirian inilah yang perlu diwujudkan, sehingga kegiatan agroindustri diarahkan untuk mendukung substitusi impor, sehingga nilai tambah yang diciptakan dapat dinikmati pelaku agroindustri domestik, misalnya berupa penciptaan lapangan kerja baru.
Meningkatnya produktivitas dan daya saing juga dapat dilihat dari sisi tersedianya bahan baku. Aneka sumber daya pertanian tersedia secara alami di seluruh pelosok tanah air. Sehingga pengembangan agroindustri tidak perlu bergantung pada komponen impor. Sebaliknya, agroindustri umumnya di ekspor, sehingga menambah devisa bagi negara. Komoditas hasil usaha tani yang belum diolah pun memiliki peluang menghasilkan devisa. Tidak sedikit pula permintaan impor berbagai komoditas agroindustri kita ke negara-negara yang tidak memiliki sumber daya alam pendukung agroindustri.
Dihadapkan pada cepatnya perubahan dan dinamika tuntutan masyarakat maka, meningkatnya daya saing agroindustri hendaknya diarahkan agar sektor ini muncul sebagai sektor andalan yang mampu memberi respons yang cepat dan besar terhadap dinamika pasar dan setiap kebijaksanaan pemerintah. Inilah hakekat dari peningkatan produktivitas dan daya saing. Untuk maksud tersebut peningkatan dan perbaikan teknologi produksi, distribusi, dan pemasaran sangat diperlukan, sebagai cara untuk menyesuaikan dengan tren perubahan tersebut di atas.
(2) Menguatnya Kapasitas Dan Kemampuan Pelaku Agroindustri Untuk Menghimpun Sumberdaya Dalam Rangka Meningkatkan Posisi Tawar.
Agroindustri memiliki dimensi pemerataan karena melibatkan banyak pelaku pada berbagai strata sosial, mulai dari petani berskala usaha mikro hingga pengusaha agroindustri skala besar. Sektor ini melibatkan tenaga kerja cukup banyak yang selama ini tidak memperoleh kesempatan bekerja maupun berusaha di sektor formal. Kesempatan bekerja dan berusaha akan semakin besar dan semakin berkembang, seiring dengan berkembangnya agroindustri.
Penguatan kapasitas dan kemampuan pelaku agroindustri sangat dimungkinkan karena agroindustri dapat diusahakan bahkan pada skala kecil relatif sehingga tidak memerlukan banyak modal investasi. Usaha agroindustri skala kecil dapat bergerak luwes menyesuaikan diri dalam situasi yang cepat berubah karena tidak perlu terhambat oleh persoalan persoalan birokrasi sebagaimana yang sering dikeluhkan oleh perusahaan besar; usaha agroindustri kecil memiliki tenaga penjualan dan wirausaha yang tertempa secara alami; dan perubahan selera konsumen yang semakin bergeser dari produk-produk tahan lama yang dihasilkan secara massal ke produk produk yang lebih bersifat customized, yang akan lebih tepat untuk ditangani oleh usaha kecil.
Para petani-nelayan merupakan kelompok yang dominan dalam masyarakat agroindustri, yang umumnya dicirikan dengan kecilnya pemilikan atau penguasaan faktor produksi terutama tanah dan modal. Tingkat kemampuan dan profesionalisme sumberdaya manusia yang umumnya masih rendah. Kekurangmampuan dalam memanfaatkan dan memperluas peluang dan akses pasar, keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permodalan, keterbatasan dalam penguasaan teknologi, dan kelemahan di bidang organisasi dan manajemen. Keterbatasan ini dapat mempengaruhi motivasi, perilaku dan kesempatan pengembangan usahanya. Selain itu, vokalitas untuk memperjuangkan pendapat dan kebutuhan dari kelompok ini biasanya relatif rendah. Agar kelompok ini dapat berkembang bersama-sama pelaku ekonomi lainnya maka perlu adanya kebijaksanaan yang memberikan kesempatan dan peluang yang lebih besar agar para petani-nelayan, termasuk para pengusaha kecil dan menengah dapat mengembangkan usahanya (Saragih, 2000). Upayanya adalah menggabungkan sumberdaya mereka yang kecil dan tersebar, untuk dipadukan dan disatukan dalam wadah yang efektif, representatif dan memiliki posisi tawar tinggi.
Hanya dengan mensinergikan semua kompetensi itulah agroindustri kita akan mampu bersaing di pasar global. Dengan demikian, konsolidasi dan pengorganisasian pelaku agroindustri merupakan langkah efektif untuk meningkatkan posisi tawar. Suatu kebijaksanaan (policy) lahir antara lain karena desakan masyarakat kepada policy makers. Kebijakan akan berjalan dengan baik bila didukung oleh pemerintah yang memahami tentang makna dan tujuan kebijakan tersebut disertai kelompok pendukung kebijakan tersebut baik kelompok formal, maupun non-formal di masyarakat. Lemahnya peran kelompok pendukung kebijakan ketahanan pangan untuk mengingatkan .penguasa.
menyebabkan kebijakan diresidualkan bahkan disimpangkan implementasinya.
(3) Menguatnya Keterkaitan Struktural Agroindustri, Baik Secara Internal, Maupun Dalam Hubungannya Dengan Sektor Lain
Upaya integral untuk memperkuat kaitan struktural agroindustri (secara internal maupun eksternal) merupakan keniscayaan. Sebab keberadaan agroindustri yang terpisah dengan industri hulu dan hilir tidak akan mampu menjadi penggerak ekonomi secara efektif. Sektor ini hanya dapat menjadi kekuatan yang efektif apabila dikombinasi dengan sektor hulu dan hilir serta industri penunjang lain yang terkait misalnya, transportasi, industri, perdagangan, dan jasa.
Agroindustri merupakan rangkaian kegiatan agrobisnis berbasis pertanian yang saling berkaitan dalam suatu sistem produksi, pengolahan, distribusi, pemasaran dan berbagai kegiatan atau jasa penunjangnya. Keterkaitan struktural antar sub-sistem amat vital dan merupakan kunci sukses dalam membangun agroindustri yang tangguh. Kegiatan agroindustri dapat menghasilkan produk pangan dan/atau produk nonpangan. Bahkan hampir semua jenis pangan yang dipasarkan dan dikonsumsi berasal dari kegiatan produsen agroindustri di dalam negeri maupun di luar negeri. Bagi Indonesia, sejauh pada aspek produksi; tingkat kemandirian kita masih cukup tinggi karena sebagian besar produk agroindustri yang dikonsumsi penduduk utamanya berasal dari agroindustri dalam negeri.
Diperlukan koordinasi kebijakan dengan lembaga terkait, agar kapasitas dan sumberdaya yang terkait dengan agroindustri dapat disinergikan secara efektif. Koordinasi antar pelaku dan pembina usaha akan melibatkan banyak Departemen dan Lembaga pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Karena itu, untuk keberhasilan pengembangan agroindustri diperlukan langkah yang mengkordinasikan dan mengintegrasikan kebijakan dan program secara lintas sektoral dan antar pusat-daerah secara harmonis, baik secara internal maupun dalam hubungannya dengan sektor lain.
(4) Kebijaksanaan Makro dan Mikro Ekonomi Yang Mendukung
Agroindustri merupakan sektor yang esensial dan besar kontribusinya dalam mewujudkan sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi nasional, seperti pertumbuhan ekonomi (PDB), kesempatan kerja, peningkatan devisa negara, pembangunan ekonomi daerah, dan sebagainya. Agroindustri diharapkan mempunyai kemampuan untuk ikut memacu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional.
Untuk melanjutkan misi tersebut, agroindustri membutuhkan payung pelindung berupa kebijaksanaan makro dan mikro.
Kebijaksanaan ekonomi makro dan mikro diharapkan agar dapat menciptakan kesempatan dan kepastian usaha, melalui perannya sebagai penyedia pangan, secara beragam dan bermutu, dan peningkatan nilai tambah yang, pada gilirannya, dapat meningkatkan pendapatan atau daya beli penduduk. Upaya peningkatan nilai tambah melalui kegiatan agroindustri selain meningkatkan pendapatan juga dapat berperan penting dalam penyediaan pangan bermutu dan beragam yang tersedia sepanjang waktu. Dengan demikian, ketika terjadi kelangkaan pangan pada saat produksi rendah, maka pelaku agroindustri dapat berperan dalam menstabilkan harga. Seperti diketahui, agroindustri dapat berperan dalam peningkatan nilai tambah melalui empat kategori agroindustri (Saefuddin, 1999) dari yang paling sederhana (pembersihan dan pengelompokan hasil atau (grading); pemisahan (ginning) penyosohan, pemotongan dan pencampuran hingga ke pengolahan (pemasakan, pengalengan, pengeringan, dsb) dan upaya merubah kandungan kimia (termasuk pengkayaan kandungan gizi). Masing-masing jenis dan tingkat kegiatan memiliki karakteristik kebijaksanaan pengembangan yang spesifik, dalam hal; tingkat kesulitan, modal kerja, tingkat resiko, teknologi yang dibutuhkan dan tingkat marjin yang diperoleh. Oleh karena itu diperlukan kebijaksanaan makro maupun mikro yang mampu, di satu pihak memberi insentif kepada pelaku agroindustri agar mengembangkan keseluruhan jenis kegiatan di atas secara propor-sional. Di pihak lain, pengaturan tersebut diperlukan agar terdapat peningkatan keahlian pada setiap jenis kegiatan agroindustri di atas.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Penutup
Dengan mengenali potensi, kemampuan dan kapasitas agroindustri maka perlu dirumuskan kebijaksanaan pengenbangannya dengan ciri :
a. Memiliki keterkaitan ke hulu dan hilir ;
b. Dapat dikembangkan dalam skala kecil dan menengah, sehingga memiliki multiplier effects yang tinggi ;
c. Mendukung upaya menjaga stabilitas ketahanan pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, Mewa et al (2001):”Bagaimana Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Ketahanan Pangan Golongan Miskin ?”..Bulletin Agro Ekonomi I (2) 2001 : 7-12
Brundtland, G.H. (1999): Nutrition, Health and Human Right. SCN-News. July (18).
Food and Agriculture Organization FAO (1997): Report of the World Summit. Rome.
Hardinsyah dan Martianto, (2001): “Pembangunan Ketahanan Pangan yang Berbasis Agribisnis dan Pemberdayaan Masyarakat”. Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001.
Hardinsyah, D. ET (1998): “Kajian Kelembagaan untuk Pemantauan Ketahanan Pangan” Kerjasama Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) IPB, UNICEF dan Biro Perencanaan Deptan. Bogor.
Hardinsyah, D. Martianto, et al (1999):”Membangun Ketahanan Pangan yang Tangguh”. Prosiding Seminar Pembanguan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal. PERGIZI PANGAN Indonesia dan CRESCENT. Bogor.
Hardinsyah (2000): “Arah Pembangunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Menuju Ketahanan Pangan” dalam Pertanian dan Pangan. Rudi Wibowo (ed). Sinar Harapan. Jakarta.
Maxwell, S. and T. Frenkenberger. 1997. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements. UNICEF and IFAD. New York.
Robinson, M. 1999. The Human Right to Food and Nutrition. SCN-News. July (18).
Saefuddin, A.M. 1999. Dukungan Politik dan Kebijakan Ekonomi untuk Pembanguan Pertanian. Makalah disampaikan pada Seminar Rekonseptualisasi Pembangunan Pertanian sebagai Basis Ekonomi Bangsa. Jakarta, 23 . 24 Juli 1999.
Saragih, Bungaran (2000): Kebijakan pertanian untuk merealisasikan agribisnis sebagai penggerak utama perekonomian negara. Paper pada Panel Diskusi Jakarta American Club. Jakarta, November 14, 2000. Centre policy for agro studies.
Simatupang, P. 1999. Kebijaksanaan Produksi dan Penyediaan Pangan dalam Siregar, Masjidin et. al. (2001): Analisis Kebijaksanaan Perdagangan Komoditas Pangan. Bulletin Agro Ekonomi I (3) 2001 : 12-17Rangka Pemantapan Sistem Ketahanan Pangan pada Masa Pemulihan Perekonomian Nasional. Bahan diskusi .Round Table. Kebijakan Pangan dan Gizi di Masa Mendatang. Kantor Menpangan dan Holtikultura, 23 Juni 1999, Jakarta.
Suryana, A. 2001. Critical Review on Food Security in Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001.
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Skenario Pertumbuhan Ekonomi
Mengawali kerja beratnya, Pemerintah telah menetapkan sasaran-sasaran ekonomi yang diungkapkan dalam indikator-indikator laju pertumbuhan berikut: Mendorong laju pertumbuhan ekonomi dari 4,5% pada tahun 2003 menjadi 7,6% pada tahun 2009, sehingga dalam lima tahun mendatang dapat mencapai rata-rata 6,6% per tahun. Tingkat pertumbuhan ini, secara teoritik, diperlukan untuk menurunkan angka pengangguran dan tingkat kemiskinan. Pengangguran akan dikurangi dari 9,5% pada tahun 2003 menjadi 6.7 % pada tahun 2009. Sedangkan tingkat kemiskinan ditekan dari 16,6 % pada tahun 2004 menjadi 8,2% pada tahun 2009. Sasaran laju pertumbuhan di atas hanya akan tercapai jika rasio investasi terhadap PDB dapat ditingkatkan dari 20,5% pada tahun 2004 menjadi 28.4% pada tahun 2009.
Lebih lanjut, secara konsensual disebutkan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi umumnya mengandalkan pada aspek konsumsi, investasi dan ekspor. Laju pertumbuhan ekonomi yang kita alami selama tahun-tahun terkahir, ternyata lebih banyak didominasi oleh pertumbuhan konsumsi yang sangat berfluktuasi. Sedangkan pertumbuhan dengan meningkatkan investasi mengalami hambatan karena iklim investasi yang belum membaik, sementara negara-negara tetangga terutama di Asia Tenggara lebih menarik dan menjanjikan bagi investor. Keadaan ini diperburuk oleh kondisi infrastruktur yang kurang memadai untuk menopang kebutuhan minimal pertumbuhan ekonomi yang kita butuhkan untuk menekan tingkat pengangguran dan kemiskinan. Secara sektoral, pemerintah berketetapan hati menempuh kebijaksanaan untuk mempercepat pemulihan pertumbuhan ekonomi. Yang terkait langsung dengan UMKM, dalam berbagai kesempatan, telah dicanangkan tiga butir kebijakan pokok di bidang ekonomi. Pertama, adalah peningkatan layanan jasa keuangan khususnya untuk pelaku UMKM, yang meliputi perbaikan layanan jasa perbankan, pasar modal, multifinance, asuransi, dsb. Kebijakan pokok kedua adalah peningkatan infrastruktur layanan jasa-keuangan, berupa akses pasar, layanan penagihan dan pembayaran, kemudahan investasi dan menabung, serta dukungan umum atas pelaksanaan transaksi perdagangan.
Data tahun 2003 menunjukkan bahwa UMKM menyerap 99.45% tenaga kerja, tetapi hanya 58.3% dalam penciptaan nilai tambah. Akibatnya terdapat ketimpangan yang mencolok antara produktivitas per tenaga kerja antara UMKM dengan usaha besar yaitu 1:129. Jika seandainya produktivitas tenaga kerja dalam UMKM dapat menyamai 2% saja (dari 0.8% dewasa ini) dari produktivitas usaha besar maka nilai PDB Indonesia akan meningkat lebih dari 50% dari PDB tahun 2003.(Bakri, 2004). Peningkatan layanan jasa dan infrastruktur pendukungnya tidak akan berarti banyak tanpa upaya pembenahan menyeluruh untuk meningkatkan kemampuan entrepreneurship bagi pelaku UMKM. Maka, kebijakan pokok ketiga adalah meningkatkan kemampuan dan penguasaan aspek-aspek teknis dan manajemen usaha, pengembangan produk dan penjualan, administrasi keuangan, dan kewirausahaan secara menyeluruh.
Pengembangan Agroindustri
Paparan skenario di atas tidak secara spesifik menunjukkan pada segmen industri apa prioritas pengembangan akan difokuskan. Pengembangan agroindustri merupakan salah satu opsi yang perlu dipertimbangkan. Sebagai industri berbasis sumber daya, agroindustri berpotensi dapat meningkatkan cadangan devisa serta penyediaan lapangan kerja. Hal ini dinilai strategis mengingat Indonesia merupakan satu dari sedikit negara di daerah tropis yang memiliki keragaman hayati (biodiversity) cukup besar. Untuk sektor perkebunan saja tidak kurang dari 145 komoditi yang tercatat sebagai komoditi binaan, sementara yang memiliki nilai ekonomis dapat diandalkan baru sekitar 10% diantaranya kelapa sawit, karet, kopi, jambu mete (Saragih, 2002).
Selanjutnya, pengembangan agroindustri akan sangat strategis apabila dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Pengertian terpadu adalah keterkaitan usaha sektor hulu dan hilir (backward and forward linkages), serta pengintegrasian kedua sektor tersebut secara sinergis dan produktif. Sedangkan dengan konsepsi berkelanjutan, diartikan sebagai pemanfaatan teknologi konservasi sumberdaya dengan melibatkan kelompok lembaga masyarakat, serta pemerintah pada semua aspek.
Dengan demikian diperlukan jaringan kerja dan peran aktif semua pihak yang terkait. Keterpaduan dan berkelanjutan inilah yang menempatkan UKM yang tergabung dalam sentra sentra, menjadi variabel penting. Hal ini karena agroindustri, yang memproduksi kebutuhan konsumsi masyarakat memiliki .multiplier effects. tinggi karena keterlibatan berbagai komponen dalam masyarakat (Tambunan, 2003).
Dari sisi perkembangan usaha dan kelembagaan, Departemen Perindustrian mendata 40 jenis komoditi dari air minum, ikan dalam kaleng, kecap, sampai dengan makanan ringan (snack food). Data yang dikumpulkan Depperindag (2003) menunjukkan bahwa perusahaan yang terlibat dalam agroindustri, jumlahnya meningkat dari waktu ke waktu. Pada tahun 2000 tercatat 2.673 perusahaan, dan berkembang menjadi 2.924 perusahaan pada tahun 2004. Meningkatnya jumlah perusahaan agroindustri ternyata berdampak terhadap meningkatnya jumlah tenaga kerja. Total tenaga kerja pada tahun 1999 adalah 735.388 dan tumbuh menjadi 744.777 pada tahun 2003. Jumlah tenaga kerja ini adalah karyawan yang terlibat langsung dalam perusahaan. Jumlahnya akan jauh lebih besar bila memperhitungkan tenaga kerja yang tidak langsung terkait dengan perusahaan agroindustri, misalnya pedagang pengecer, pemasok, dan tenaga permanen.
Sementara itu, perkembangan kapasitas produksi menunjukkan gambaran bahwa masih banyak kemampuan produk yang bisa dioptimalkan. Data yang ada menunjukkan bahwa pada semua komoditi, total kapasitas terpasang masih lebih besar dibandingkan dengan produksi riil. Rata-rata utilitas pada tahun 2001 adalah 56.25% dan menjadi 14.94% pada tahun 2004. Dengan demikian terjadi peningkatan produksi, yang lebih banyak dapat memanfaatkan kapasitas terpasang.
Dalam kegiatan ekspor-impor, agroindustri juga menunjukkan perkembangan. Dengan menggunakan ukuran berat/tonase, maka pada tahun 2000 diekspor 5.442 metrikton, meningkat menjadi 5.937 metrikton tahun 2003. Nilainya meningkat dari USD 2.743 juta pada tahun 2000 menjadi USD 3.769 juta pada tahun 2003. Sementara itu, dari sisi impor, ternyata juga mengalami kenaikan yaitu dari 1.835 metrikton pada tahun 2000 bernilai USD 696 juta menjadi 3.217 metrikton senilai USD 1.217 juta pada tahun 2003. Dari sisi investasi dalam agorindustri menunjukkan peningkatan walaupun tidak signifikan, yaitu dari total investasi sebesar Rp. 26.729 milyar pada tahun 1999 menjadi Rp. 27.850 milyar pada tahun 2003. Data sebagaimana dilaporkan di atas secara umum menggambarkan tren peningkatan dalam berbagai aspek pengembangan agroindustri. Sudah barang tentu tren umum di atas kurang menampakkan aspek lain yang lebih rinci, misalnya; proporsi perkembangan komoditas strategis, jenis dan sebaran komoditas di masing-masing wilayah, dan produktivitas masing-masing unit produksi.
B. Rumusan Masalah
- Apakah agroindustri skala menengah dan skala kecil mampu berkembang dengan baik atau tidak?
- Apakah agroindustri ini mampu meningkatkan ekonomi mikro indonesia?
- Apakah agroindustri bisa menyerap tenaga kerja yang banyak?
C. Tujuan Penulisan
- Melihat apakah agroindustri di Indonesia layak untuk berkembang
- Melihat apakah agroindustri mampu berdaya saing
- Kebijakakan-kebijakan pemerintah yang mendukung usaha agroindusrti
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Definisi Agroindustri
- Soekartawi (2009:9) mendefinisikan agroindustri sebagai fase pertumbuhan setelah pembangunan pertanian, tetapi sebelum pembangunan tersebut dimulai ketahapan pembangunan industri.
- FAO mengdefinisikan agroindustri sebagai suatu industri yang menggunakan bahan baku dari pertanian dengan jumlah minimal 20% dari jumlah bahan baku lainnya.
- Saragih (2001:35) mengemukakan bahwa agroindustri adalah industri yang memiliki keterkaitan ekonomi yang kuat dengan komoditas pertanian.
B. Peranan Agroindustri dan Pembangunan Nasional
- Menurut Saragih (2001:35) jika ditelusuri lebih dalam, industri yang masih mampu bertahan selama krisis ekonomi sebagian besar adalah agroindustri.
- Selanjutnya dikemukakan bahwa sebagai suatu subsistem agribisnis, agroindustri memiliki potensi yang besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan masyarakat, menyerap tenaga kerja, dan meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta mempercepat pembangunan daerah. Pendek kata agroindustri dapat dijadikan sebagai leading sectors dalam perekonomian indonsia.
C. Potensi Agroindustri sebagai Leading Sector
- Berdasarkan penelitian pusat studi pembangunan studi IPB (1997) pangsa agroindustri dalam nilai tambah industri nonmigas tahun 1995 mencapai 70% sementara pangsanya dalam ekspor industri nonmigas adalah lebih dari 80%.
- Menurut Syarkawi (1992) ada dua alasan mengapa agroindustri memiliki peranan penting:
1) Karena agroindustri adalah bidang usaha yang menawarkan kesempatan luas bagi upaya pemerintah untuk menata struktur perekonomian Indonesia.
2) Sumbangan yang besar dari sektor agroindustri terhadap nilai tambah perekonomian Indonesia. Sumbangan itu bersifat nonmigas dan sangat diharapkan naik nilainya dalam upaya divesifikasi sumber pendapatan nasional.
BAB III
PEMBAHASAN
Permasalahan yang Dihadapi
Masalah umum yang dihadapi dalam pengembangan agroindustri adalah potensi agroindustri yang sangat besar belum sepenuhnya mampu diwujudkan secara berdaya-guna dan berhasil-guna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sumberdaya permodalan, hambatan teknologi dan rendahnya efektivitas kelembagaan yang mampu melaksanakan fungsi-fungsi strategis di atas. Permasalahan tersebut muncul karena adanya beberapa titik lemah dalam kebijakan dan implementasi program pengembangan agroindustri di Indonesia, terutama adalah sebagai berikut :
A. Rendahnya Produktivitas dan Daya Saing
Pada fase awal krisis multidimensi pada tahun 1998, maka kegiatan agroindustri, tetap tegar menghadapi krisis. Akan tetapi situasi ini memunculkan masalah baru yaitu rendahnya produktivitas usaha dan disparitas pendapatan antar sektor, sehingga daya saing produk agroindustri kita khususnya di pasar internasional menurun.
Produktivitas sangat terkait dengan aspek penerapan teknologi pengolahan, pengolahan hasil pertanian sebagian besar masih menggunakan teknologi serta peralatan pengolahan yang sampai saat ini sederhana dan masih belum memadai. Pengetahuan dan kesadaran petani sebagai produsen dan juga sebagai salah satu pelaku pasar masih kurang. Rendahnya penggunaan teknologi ini diakibatkan oleh tingkat kualitas sumber daya manusia pelaku agroindustri masih rendah dan kurang tersedianya teknologi dan peralatan pengolahan secara merata. Lemahnya pembinaan dan penerapan jaminan mutu mempunyai andil terhadap rendahnya mutu produk yang dihasilkan agroindustri. Rendahnya kesadaran akan produk yang bermutu dan aman, sangat berpengaruh terhadap upaya-upaya peningkatan mutu hasil pertanian. Belum mampunya produk-produk agroindustri kita merespon perubahan tuntutan konsumen yang cenderung menyukai produk dengan kualitas tinggi, kontinyuitas pasokan, ketepatan waktu penyampaian, serta harga yang kompetitif.
Teknologi pengolahan yang telah adaternyata tidak dimanfaatkan disebabkan (a) tidak tersedianya alat mesin yang produktif dan terjangkau, (b) kalaupun tersedia manajemen pengelolaannya masih sangat lemah (c) alat mesin panen dan pascapanen masih sangat mahal (d) adanya masalah sosiologis menyangkut penggunaan teknologi dan tenaga kerja manusia (Tambunan, 2003).
B. Keterbatasan kapasitas dan kemampuan pelaku agroindustri untuk menghimpun sumberdaya dalam rangka meningkatkan posisi tawarnya.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa salah satu ciri agroindustri di Indonesia adalah sebagian besar beroperasi dalam skala yang relatif kecil. Hal ini berarti bahwa agroindustri bersifat menyebar, masif, dengan sumberdaya yang tersebar dan terpisah-pisah.
Hal semacam ini menimbulkan masalah tersendiri dalam organisasi dan tatalaksana yang mampu mengorganisir sumberdaya sehingga terhimpun menjadi kekuatan penyalur aspirasi yang dapat disinergikan secara efektif.
Dewasa ini terdapat sekitar 34,42 juta unit usaha yang terdiri dari 2.000 unit usaha besar (konglomerasi), 37.000 unit usaha menengah dan selebihnya adalah unit usaha kecil. Usaha kecil tersebut, sebagian besar bergerak di bidang pertanian yakni 21,2 juta unit usaha atau 64% dari seluruh usaha kecil, bidang perdagangan 6,8 juta atau 17% dan bidang industri manufaktur 2,5 juta unit usaha atau 7,5%. Dari 33.381.000 unit usaha kecil hanya menguasai 33,9% PDB, sedang dari 2.000 usaha besar ternyata telah menguasai 61,1% PDB, dan sisanya sekitar 5% PDB dikuasai 37.000 unit usaha menengah. Angka-angka di atas memperlihatkan adanya kesenjangan dalam produktivitas dan efisiensi antara industri-industri skala kecil, dan menengah di satu pihak dan industri-industri besar di lain pihak. Dari data agregat di atas, tampak hal yang ironis yaitu tidak terwakilinya aspirasi pelaku usaha agroindustri melalui institusi formal yang aspiratif. Walaupun jumlahnya besar namun posisi tawarnya secara politik tidak mampu terhimpun untuk menjadi kekuatan aspirasi kepentingan secara efektif. Hal ini penting karena dalam wacana pengambilan keputusan politik pada tingkat nasional, maka lobi-lobi politik diperlukan terutama untuk mempengaruhi opini publik, menjadi kelompok penekan dan sebagai institusi penyalur aspirasi dari konstituennya.
C. Lemahnya keterkaitan struktural agroindustri, baik secara internal, maupun dalam hubungannya dengan sektor lain.
Pengembangan agroindustri semestinya menjadi pilihan yang strategis dalam menanggulangi permasalahan ekonomi dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal ini disebabkan adanya kemampuan yang tinggi dari agroindustri dalam hal perluasan kesempatan kerja, mengingat sifat industri pertanian yang padat karya dan bersifat masal. Potensi yang besar dan tersebar tersebut belum dapat dirangkai menjadi suatu keterkaitan yang integratif, baik antar wilayah, antar sektor, dan bahkan antara satu komoditas dengan komoditas lain.
Pembangunan pertanian masa lalu dinilai cenderung bias pada padi dan beras. Sebagian besar upaya inovasi dan pembangunan teknologi program pertanian masa lalu difokuskan pada padi dan beras, sehingga inovasi dan pengembangan
teknologi bagi pangan lainnya berjalan sangat lamban bahkan tertinggal (Arifin, 2004). Akibatnya ketika kebijakan diversifikasi konsumsi pangan digalakkan untuk mengurangi ketergantungan pada beras, kemampuan untuk menyediakan produk pangan non-beras Indonesia tidak memadai sehingga kesempatan ini diisi oleh aneka pangan impor (Saragih, 2000).
Lokasi usaha tani yang terpencar pencar dengan luasan yang sempit serta jauh dari lokasi agroindustri yang mengolah, menyebabkan kurang terintegrasinya bahan baku dengan industri pengolah. Perusahaan agroindustri pada umumnya tidak mempunyai lahan budidaya sendiri, tetapi sangat tergantung kepada pasokan bahan baku dan petani sekitarnya. Keadaan ini mengandung kesulitan manajemen yang tinggi karena
beragamnya masing-masing usaha dan lemahnya kemitraan akibat kurangnya pemahaman pihak petani dan pengusaha agroindustri dalam pengelolaan hasil yang baik.
Penyebab belum adanya koordinasi, integrasi tersebut karena belum adanya kebijakan-kebijakan dan program agroindustri terpadu, yang mencakup beberapa bentuk kebijaksanaan; di tingkat perusahaan (firm level policy); kebijaksanaan tingkat sektoral untuk mengembangkan seluruh kegiatan usaha sejenis belum membuahkan hasil dan kebijaksanaan di tingkat sistem agroindustri yang mengatur keterkaitan antara beberapa sektor, kebijaksanaan ekonomi makro yang mengatur seluruh kegiatan perekonomian terhadap agroindustri.
D. Kebijaksanaan makro dan mikro ekonomi yang kurang berpihak kepada agroindustri
Pengembangan agroindustri pada berbagai skala kegiatan perlu didukung adanya kebijaksanaan makro dan mikro yang dapat menciptakan usaha yang kondusif, dan semakin memudahkan pelaku agroindustri dalam mengakses ke sumberdaya produktif.
Selama ini pembangunan pertanian cenderung bias ke masyarakat perkotaan, menguntungkan penduduk kota, dan nilai tambahnya lebih banyak dinikmati penduduk kota (Arifin, 2004). Perhatian pada kepentingan non-pertanian khususnya sektor industri dan manufaktur (ketika pangan dan pertanian menjadi residual) jauh lebih besar daripada pemenuhan kebutuhan pangan penduduk serta kesejahteraan petani. Akibatnya, potensi produksi agroindustri belum dikelola secara optimal, menyebabkan produktivitas agroindustri kurang berkembang.
Saragih (2000) mencatat bahwa di masa lalu, dengan orientasi pada peningkatan produksi (production-driven), maka yang menjadi motor penggerak sektor pertanian adalah usahatani. Dengan demikian usahatani menentukan perkembangan agroindustri hilir dan hulu. Hal ini tidak menjadi masalah karena memang sesuai dengan kondisi pasar pada masa itu. Di samping itu, karena target pembangunan sektor pertanian masih diorientasikan untuk mencapai tingkat memaksimalkan produksi. Atributatribut produk yang terurai secara rinci dan lengkap, belum menjadi tuntutan konsumen. Namun dewasa ini, lebih-lebih dengan disosialisasikannya undang-undang tentang perlindungan konsumen, orientasi sektor agroindustri telah berubah kepada orientasi pasar yang secara dinamik berusaha memenuhi preferensi konsumen, dan sekaligus berupaya keras untuk menjaga keamanan dan kepuasan konsumen.
Perubahan preferensi konsumen yang makin menuntut atribut produk yang lebih rinci dan lengkap serta adanya preferensi konsumen akan produk olahan, maka motor penggerak sektor pertanian berubah, dari usahatani kepada agroindustri. Keadaan ini mengharuskan adanya kebijaksanaan makro dan mikro yang berpihak kepada agroindustri.
Peluang Pengembangan Agroindustri
Kendatipun terdapat hal-hal yang merupakan penghambat terhadap pertumbuhan agroindustri, namun sektor ini masih memiliki peluang untuk berkembang secara meyakinkan, terutama bila dikelola secara arif dan bijaksana. Peluang tersebut adalah :
a. Jumlah penduduk Indonesia yang kini berjumlah lebih dari 220 juta jiwa merupakan aset nasional dan sekaligus berpotensi menjadi konsumen produk agroindustri. Namun bila potensi ini tidak dikelola dengan baik, maka justru akan menjadi beban bagi kita semua. Tingkat pendapatan masyarakat yang semakin meningkat merupakan kekuatan yang secara efektif akan meningkatkan permintaan produk pangan olahan.
b. Berlangsungnya era perdangangan bebas berskala internasional, telah semakin membuka kesempatan untuk mengembangkan pemasaran produk agroindustri.
c. Penyelenggaran otonomi daerah memberikan harapan baru akan munculnya prakarsa dan swakarsa daerah untuk menyelenggarakan pembangunan sesuai dengan program dan aspirasi wilayah yang spesifik dan berdaya saing. Peningkatan kinerja pemerintah daerah, bila dibarengi dengan stabilitas politik merupakan faktor penting yang akan menarik minat para investor untuk mengembangkan agroindustri.
d. Dari sisi suplai sumberdaya, agroindustri masih memiliki bahan baku yang beragam, berlimpah dalam jumlah dan tersebar di seluruh penjuru tanah air. Sementara itu kapasitas produksi usaha agroindustri yang masih dapat ditingkatkan; Modernisasi dan teknologi pengolahan yang semakin banyak diaplikasikan, merupakan jaminan akan meningkatnya kualitas dan kuantitas produksi agroindustri.
e. Dalam proses produksinya, bahan baku agroindustri tidak bergantung pada komponen impor. Sementara pada sisi hilir, produk agroindustri umumnya berorientasi ekspor. Dihadapkan pada peluang, sebagaimana diuraikan di atas, sektor agroindustri memiliki potensi dan peluang dan cukup menjanjikan untuk dikembangkan.
Kendala Pengembangan Agroindustri
Sebagai sektor yang mempunyai kekuatan untuk menjadi penggerak ekonomi nasional, agroindustri telah memperlihatkan peran yang sangat besar. Namun demikian pengembangan agroindustri dalam rangka mendukung ketahanan pangan juga menghadapi sejumlah kendala, antara lain adalah:
a. Belum terfokusnya arah dan orientasi perkembangan agroindustri sehingga sulit untuk menetapkan skala prioritasnya.
b. Belum efektifnya peran lembaga yang berperan dalam pengadaan stok produk agroindustri melemahkan sistem cadangan produk pertanian yang secara tradisional telah dikembangkan masyarakat selama ini.
c. Sentra-sentra produksi belum dapat diandalkan untuk bekerja secara efektif dan efisien sehingga mampu menyediakan bahan baku dan menghasilkan produk secara berkesinambungan dalam jumlah dan kualitas yang memadahi.
d. Penguasaan, pemilikan dan akses terhadap sarana teknologi dan alatalat pengolahan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas barang masih kurang. Faktor inilah yang menyebabkan mutu produk olahan belum dapat memenuhi standar kualitas yang diharapkan lebih-lebih penyesuaian dengan standarisasi produk yang diperlukan untuk mengisi pasar internasional.
e. Pemasaran dan distribusi belum berkembang terutama karena keterbatasan infrastruktur berupa sarana transportasi, komunikasi dan informasi.
f. Sumberdaya manusia yang memilki ketrampilan, pengetahuan dan sikap yang profesional masih terbatas baik dalam jumlah, kualifikasi, maupun sebarannya.
g. Belum adanya kebijakan yang mengontrol dan mengendalikan ekspor bahan mentah untuk melindungi dan merangsang berkembangnya agroindustri di dalam negeri.
Dengan gambaran yang cukup kompleks tersebut di atas, maka konsepsi pengembangan agroindustri, hendaknya diorientasikan untuk mewujudkan kondisi agroindustri yang diharapkan dengan karakter sebagai berikut :
(1) Meningkatnya Produktivitas dan Daya Saing Agroindustri
Ketika Indonesia mengalami krisis multidimensional, agroindustri mampu menunjukkan kemampuannya untuk menjadi katup pengaman untuk mencegah terjadinya keterpurukan ekonomi yang lebih parah. Hal ini terjadi karena sesuai dengan ciri-ciri agroindustri. Ciri-ciri agroindustri ini terkait erat dengan karakteristik komoditas pertanian, yaitu: (a) bersifat musiman, (b) mudah rusak, (c) memakan tempat, (d) amat beragam, (e) transmisi harga rendah, dan (f) struktur pasar monopsonis (Arifin, 2003).
Peningkatan produktivitas agroindustri diarahkan sehingga mata rantai kegiatan agroindustri dalam negeri tidak lagi mengandalkan produk atau bahan baku diimpor. Kemandirian inilah yang perlu diwujudkan, sehingga kegiatan agroindustri diarahkan untuk mendukung substitusi impor, sehingga nilai tambah yang diciptakan dapat dinikmati pelaku agroindustri domestik, misalnya berupa penciptaan lapangan kerja baru.
Meningkatnya produktivitas dan daya saing juga dapat dilihat dari sisi tersedianya bahan baku. Aneka sumber daya pertanian tersedia secara alami di seluruh pelosok tanah air. Sehingga pengembangan agroindustri tidak perlu bergantung pada komponen impor. Sebaliknya, agroindustri umumnya di ekspor, sehingga menambah devisa bagi negara. Komoditas hasil usaha tani yang belum diolah pun memiliki peluang menghasilkan devisa. Tidak sedikit pula permintaan impor berbagai komoditas agroindustri kita ke negara-negara yang tidak memiliki sumber daya alam pendukung agroindustri.
Dihadapkan pada cepatnya perubahan dan dinamika tuntutan masyarakat maka, meningkatnya daya saing agroindustri hendaknya diarahkan agar sektor ini muncul sebagai sektor andalan yang mampu memberi respons yang cepat dan besar terhadap dinamika pasar dan setiap kebijaksanaan pemerintah. Inilah hakekat dari peningkatan produktivitas dan daya saing. Untuk maksud tersebut peningkatan dan perbaikan teknologi produksi, distribusi, dan pemasaran sangat diperlukan, sebagai cara untuk menyesuaikan dengan tren perubahan tersebut di atas.
(2) Menguatnya Kapasitas Dan Kemampuan Pelaku Agroindustri Untuk Menghimpun Sumberdaya Dalam Rangka Meningkatkan Posisi Tawar.
Agroindustri memiliki dimensi pemerataan karena melibatkan banyak pelaku pada berbagai strata sosial, mulai dari petani berskala usaha mikro hingga pengusaha agroindustri skala besar. Sektor ini melibatkan tenaga kerja cukup banyak yang selama ini tidak memperoleh kesempatan bekerja maupun berusaha di sektor formal. Kesempatan bekerja dan berusaha akan semakin besar dan semakin berkembang, seiring dengan berkembangnya agroindustri.
Penguatan kapasitas dan kemampuan pelaku agroindustri sangat dimungkinkan karena agroindustri dapat diusahakan bahkan pada skala kecil relatif sehingga tidak memerlukan banyak modal investasi. Usaha agroindustri skala kecil dapat bergerak luwes menyesuaikan diri dalam situasi yang cepat berubah karena tidak perlu terhambat oleh persoalan persoalan birokrasi sebagaimana yang sering dikeluhkan oleh perusahaan besar; usaha agroindustri kecil memiliki tenaga penjualan dan wirausaha yang tertempa secara alami; dan perubahan selera konsumen yang semakin bergeser dari produk-produk tahan lama yang dihasilkan secara massal ke produk produk yang lebih bersifat customized, yang akan lebih tepat untuk ditangani oleh usaha kecil.
Para petani-nelayan merupakan kelompok yang dominan dalam masyarakat agroindustri, yang umumnya dicirikan dengan kecilnya pemilikan atau penguasaan faktor produksi terutama tanah dan modal. Tingkat kemampuan dan profesionalisme sumberdaya manusia yang umumnya masih rendah. Kekurangmampuan dalam memanfaatkan dan memperluas peluang dan akses pasar, keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permodalan, keterbatasan dalam penguasaan teknologi, dan kelemahan di bidang organisasi dan manajemen. Keterbatasan ini dapat mempengaruhi motivasi, perilaku dan kesempatan pengembangan usahanya. Selain itu, vokalitas untuk memperjuangkan pendapat dan kebutuhan dari kelompok ini biasanya relatif rendah. Agar kelompok ini dapat berkembang bersama-sama pelaku ekonomi lainnya maka perlu adanya kebijaksanaan yang memberikan kesempatan dan peluang yang lebih besar agar para petani-nelayan, termasuk para pengusaha kecil dan menengah dapat mengembangkan usahanya (Saragih, 2000). Upayanya adalah menggabungkan sumberdaya mereka yang kecil dan tersebar, untuk dipadukan dan disatukan dalam wadah yang efektif, representatif dan memiliki posisi tawar tinggi.
Hanya dengan mensinergikan semua kompetensi itulah agroindustri kita akan mampu bersaing di pasar global. Dengan demikian, konsolidasi dan pengorganisasian pelaku agroindustri merupakan langkah efektif untuk meningkatkan posisi tawar. Suatu kebijaksanaan (policy) lahir antara lain karena desakan masyarakat kepada policy makers. Kebijakan akan berjalan dengan baik bila didukung oleh pemerintah yang memahami tentang makna dan tujuan kebijakan tersebut disertai kelompok pendukung kebijakan tersebut baik kelompok formal, maupun non-formal di masyarakat. Lemahnya peran kelompok pendukung kebijakan ketahanan pangan untuk mengingatkan .penguasa.
menyebabkan kebijakan diresidualkan bahkan disimpangkan implementasinya.
(3) Menguatnya Keterkaitan Struktural Agroindustri, Baik Secara Internal, Maupun Dalam Hubungannya Dengan Sektor Lain
Upaya integral untuk memperkuat kaitan struktural agroindustri (secara internal maupun eksternal) merupakan keniscayaan. Sebab keberadaan agroindustri yang terpisah dengan industri hulu dan hilir tidak akan mampu menjadi penggerak ekonomi secara efektif. Sektor ini hanya dapat menjadi kekuatan yang efektif apabila dikombinasi dengan sektor hulu dan hilir serta industri penunjang lain yang terkait misalnya, transportasi, industri, perdagangan, dan jasa.
Agroindustri merupakan rangkaian kegiatan agrobisnis berbasis pertanian yang saling berkaitan dalam suatu sistem produksi, pengolahan, distribusi, pemasaran dan berbagai kegiatan atau jasa penunjangnya. Keterkaitan struktural antar sub-sistem amat vital dan merupakan kunci sukses dalam membangun agroindustri yang tangguh. Kegiatan agroindustri dapat menghasilkan produk pangan dan/atau produk nonpangan. Bahkan hampir semua jenis pangan yang dipasarkan dan dikonsumsi berasal dari kegiatan produsen agroindustri di dalam negeri maupun di luar negeri. Bagi Indonesia, sejauh pada aspek produksi; tingkat kemandirian kita masih cukup tinggi karena sebagian besar produk agroindustri yang dikonsumsi penduduk utamanya berasal dari agroindustri dalam negeri.
Diperlukan koordinasi kebijakan dengan lembaga terkait, agar kapasitas dan sumberdaya yang terkait dengan agroindustri dapat disinergikan secara efektif. Koordinasi antar pelaku dan pembina usaha akan melibatkan banyak Departemen dan Lembaga pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Karena itu, untuk keberhasilan pengembangan agroindustri diperlukan langkah yang mengkordinasikan dan mengintegrasikan kebijakan dan program secara lintas sektoral dan antar pusat-daerah secara harmonis, baik secara internal maupun dalam hubungannya dengan sektor lain.
(4) Kebijaksanaan Makro dan Mikro Ekonomi Yang Mendukung
Agroindustri merupakan sektor yang esensial dan besar kontribusinya dalam mewujudkan sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan pembangunan ekonomi nasional, seperti pertumbuhan ekonomi (PDB), kesempatan kerja, peningkatan devisa negara, pembangunan ekonomi daerah, dan sebagainya. Agroindustri diharapkan mempunyai kemampuan untuk ikut memacu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi nasional.
Untuk melanjutkan misi tersebut, agroindustri membutuhkan payung pelindung berupa kebijaksanaan makro dan mikro.
Kebijaksanaan ekonomi makro dan mikro diharapkan agar dapat menciptakan kesempatan dan kepastian usaha, melalui perannya sebagai penyedia pangan, secara beragam dan bermutu, dan peningkatan nilai tambah yang, pada gilirannya, dapat meningkatkan pendapatan atau daya beli penduduk. Upaya peningkatan nilai tambah melalui kegiatan agroindustri selain meningkatkan pendapatan juga dapat berperan penting dalam penyediaan pangan bermutu dan beragam yang tersedia sepanjang waktu. Dengan demikian, ketika terjadi kelangkaan pangan pada saat produksi rendah, maka pelaku agroindustri dapat berperan dalam menstabilkan harga. Seperti diketahui, agroindustri dapat berperan dalam peningkatan nilai tambah melalui empat kategori agroindustri (Saefuddin, 1999) dari yang paling sederhana (pembersihan dan pengelompokan hasil atau (grading); pemisahan (ginning) penyosohan, pemotongan dan pencampuran hingga ke pengolahan (pemasakan, pengalengan, pengeringan, dsb) dan upaya merubah kandungan kimia (termasuk pengkayaan kandungan gizi). Masing-masing jenis dan tingkat kegiatan memiliki karakteristik kebijaksanaan pengembangan yang spesifik, dalam hal; tingkat kesulitan, modal kerja, tingkat resiko, teknologi yang dibutuhkan dan tingkat marjin yang diperoleh. Oleh karena itu diperlukan kebijaksanaan makro maupun mikro yang mampu, di satu pihak memberi insentif kepada pelaku agroindustri agar mengembangkan keseluruhan jenis kegiatan di atas secara propor-sional. Di pihak lain, pengaturan tersebut diperlukan agar terdapat peningkatan keahlian pada setiap jenis kegiatan agroindustri di atas.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
Penutup
Dengan mengenali potensi, kemampuan dan kapasitas agroindustri maka perlu dirumuskan kebijaksanaan pengenbangannya dengan ciri :
a. Memiliki keterkaitan ke hulu dan hilir ;
b. Dapat dikembangkan dalam skala kecil dan menengah, sehingga memiliki multiplier effects yang tinggi ;
c. Mendukung upaya menjaga stabilitas ketahanan pangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, Mewa et al (2001):”Bagaimana Dampak Krisis Ekonomi Terhadap Ketahanan Pangan Golongan Miskin ?”..Bulletin Agro Ekonomi I (2) 2001 : 7-12
Brundtland, G.H. (1999): Nutrition, Health and Human Right. SCN-News. July (18).
Food and Agriculture Organization FAO (1997): Report of the World Summit. Rome.
Hardinsyah dan Martianto, (2001): “Pembangunan Ketahanan Pangan yang Berbasis Agribisnis dan Pemberdayaan Masyarakat”. Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001.
Hardinsyah, D. ET (1998): “Kajian Kelembagaan untuk Pemantauan Ketahanan Pangan” Kerjasama Pusat Studi Kebijakan Pangan dan Gizi (PSKPG) IPB, UNICEF dan Biro Perencanaan Deptan. Bogor.
Hardinsyah, D. Martianto, et al (1999):”Membangun Ketahanan Pangan yang Tangguh”. Prosiding Seminar Pembanguan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal. PERGIZI PANGAN Indonesia dan CRESCENT. Bogor.
Hardinsyah (2000): “Arah Pembangunan Tanaman Pangan dan Hortikultura Menuju Ketahanan Pangan” dalam Pertanian dan Pangan. Rudi Wibowo (ed). Sinar Harapan. Jakarta.
Maxwell, S. and T. Frenkenberger. 1997. Household Food Security: Concepts, Indicators, Measurements. UNICEF and IFAD. New York.
Robinson, M. 1999. The Human Right to Food and Nutrition. SCN-News. July (18).
Saefuddin, A.M. 1999. Dukungan Politik dan Kebijakan Ekonomi untuk Pembanguan Pertanian. Makalah disampaikan pada Seminar Rekonseptualisasi Pembangunan Pertanian sebagai Basis Ekonomi Bangsa. Jakarta, 23 . 24 Juli 1999.
Saragih, Bungaran (2000): Kebijakan pertanian untuk merealisasikan agribisnis sebagai penggerak utama perekonomian negara. Paper pada Panel Diskusi Jakarta American Club. Jakarta, November 14, 2000. Centre policy for agro studies.
Simatupang, P. 1999. Kebijaksanaan Produksi dan Penyediaan Pangan dalam Siregar, Masjidin et. al. (2001): Analisis Kebijaksanaan Perdagangan Komoditas Pangan. Bulletin Agro Ekonomi I (3) 2001 : 12-17Rangka Pemantapan Sistem Ketahanan Pangan pada Masa Pemulihan Perekonomian Nasional. Bahan diskusi .Round Table. Kebijakan Pangan dan Gizi di Masa Mendatang. Kantor Menpangan dan Holtikultura, 23 Juni 1999, Jakarta.
Suryana, A. 2001. Critical Review on Food Security in Indonesia. Makalah pada Seminar Nasional Ketahanan Pangan. Jakarta, 29 Maret 2001.
0 Komentar:
Post a Comment
Silahkan berkomentar disini walaupun hanya "Hay". Kami akan menghargai komentar anda. Anda berkomentar saya akan berkunjung balik