Metode adalah cara atau strategi menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan. Menurut Bogdan dan Taylor, metodologi adalah suatu proses, prinsip, dan prosedur yang kita gunakan, untuk mendekati problem dan mencari jawaban.
Dan sebenarnya metodologi dipengaruhi atau berdasarkan perspektif teoretis yang kita gunakan untuk melakukan penelitian, sementara perspektif teoretis itu sendiri adalah suatu kerangka penjelasan atau interpretasi yang memungkinkan peneliti memahami data dan menghubungkan data yang rumit dengan peristiwa dan situasi lain (Mulyana, 2001:145).
Seperti teori, metodologi juga diukur berdasarkan kemanfaatannya, dan tidak bisa dinilai apakah suatu metode benar atau salah. Untuk menelaah hasil penelitian secara benar, kita tidak cukup sekadar melihat apa yang ditemukan peneliti, tetapi juga bagaimana peneliti sampai pada temuannya berdasarkan kelebihan dan keterbatasan metode yang digunakannya. Adapun pengertian dari metode penelitian adalah teknik-teknik spesifik dalam penelitian (Mulyana, 2001:146). Sebagian orang menganggap bahwa metode penelitian terdiri dari berbagai teknik penelitian, dan sebagian lagi menyamakan metode penelitian dengan teknik penelitian. Tetapi yang jelas, metode atau teknik penelitian apa pun yang kita gunakan, baik kuantitatif ataupun kualitatif, haruslah sesuai dengan kerangka teoretis yang kita asumsikan.
Sebelum penulis menggambarkan dan menjelaskan lebih jauh tentang pendekatan Hermeneutika dan juga pemetaan ideologi yang diambil oleh penulis yakni teori ideologi dari John B. Thompson dan dicangkok dengan teori hermeneutika dari Paul Ricoeur, maka ada baiknya terlebih dahulu diulas karakteristik dari metodologi kualitatif. Banyak alasan ketika penulis harus menggunakan metodologi penelitian kualitatif sebagai sebuah pendekatan. Salah satu aspek terpenting dari pendekatan ini adalah lebih mementingkan proses, yaitu sebuah keniscayaan dari komunikasi sebagai suatu proses yang diterima dari luar.
Lalu metode kualitatif juga mempermudah untuk berhadapan dengan kenyataan ganda, dan metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden dan selanjutnya kualitatif lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi. Oleh sebab itu, diharapkan dapat menganalisis lebih mendalam dan menginterpretasikan kondisi atau hubungan yang ada, proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang terjadi atau fenomena yang sedang berkembang. Penelitian dilakukan dengan menganalisis dan menginterpretasikan data yang tersedia. Pada dasarnya penelitian ini meletakkan penekanan pada subyektifitas untuk melakukan interpretasi terhadap suatu persoalan yang dikajinya.
Seperti yang ditegaskan Deddy Mulyana dalam bukunya Metodologi Penelitian Kualitatif, penelitian ini mencari respon subyektif individual. Hasil penelitian dari metodologi penelitian kualitatif selalu terbuka untuk persoalan baru. Ini sesuai dengan pandangan subyektif mengenai realitas sosial bahwa: fenomena sosial senantiasa bersifat sementara, bahkan bersifat polisemik (multimakna), dan tetap diasumsikan demikian hingga terjadi negosiasi berikutnya untuk menetapkan status realitas tersebut.
Lalu Denzim dan Lincoln (1987) mendefinisikan penelitian kulitatif yakni penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dan bersifat multimetoda, dalam fokusnya menggunakan pendekatan naturalistik interpretatif kepada subyek yang diteliti (Rakhmat, 2004:4). Menurut Miles dan Huberman, penelitian kualitatif berusaha menelaah secara intensif kehidupan sehari-hari, selain itu juga bersifat holistik, berujung pada Verstehen (pemahaman), menghasilkan tema dan pernyataan dalam bentuknya yang asli, dan menjelaskan cara pandang orang dalam setting tertentu, mengungkapkan berbagai penafsiran, dengan instrumentasi yang tidak baku, juga menganalisis dalam bentuk kata (Rakhmat, 2004:2).
Penulis juga menyadari bahwa apapun metodologinya tetap memiliki keterbatasan, seperti yang dinyatakan Dedy Mulyana (2000:18) bahwa Suatu persepektif bersifat terbatas, dan mengandung bias, karena hanya memungkinkan manusia melihat satu sisi saja dari realitas “di luar sana”. Dengan kata lain, tidak ada perspektif yang memungkinkan manusia dapat melihat semua aspek realitas secara simultan. Dengan demikian penelitian kualitatif dengan menggunakan konsep cara kerja ideologi pun dapat mengalami pembiasan. Karena bagaimanapun suatu persepektif tak bisa lepas dari suatu tendensi, maksud, tujuan dan sebagainya. Dalam penelitian ini, yang menjadikan cara kerja ideologi seperti yang akan dibahas penulis yakni sebagai peran utama tak terkecuali mengalami pembiasan ketika meneliti suatu fenomena ilmiah, biasanya seorang peneliti menggunakan suatu perspektif yang ia anggap secara akurat menjelaskan fenomena yang ia teliti. Tentu saja dalam dunia keilmuan, penjelasan yang akurat merupakan tujuan dari suatu perspektif yang baik. Perspektif yang baik mengambarkan realitas secara jelas, dan membantu kita menemukan kebenaran.
Namun kebenaran itu berada di luar manusia, dengan suatu perspektif, realitas itu tidak pernah benar-benar hadir sempurna pada manusia. Sehingga dalam penelitian ini perspektif ini hanyalah mendekatkan pada kenyataan bukan pada kenyataan sebenarnya. Mengutip Stuart Hall, kenyataan atau kebenaran itu merupakan representasi dari teks-teks yang kita baca, pelajari kemudian kita terjemahkan dan tafsirkan lagi. Bahwa kenyataan mengandung distorsi atau dalam bahasa Dedy Mulyana kenyataan itu mengandung bias.
Namun pemilihan penelitian kualitatif dengan paradigma atau metodologi cara kerja ideologi menyediakan beberapa “kemudahan” yang signifikan dalam penelitian komunikasi ini. Sebagai peneliti penulis lebih dimudahkan untuk memahami realitas-realitas ganda dalam proses penelitian, adanya interaksi yang intim antara peneliti dan diteliti, subyek penelitian juga merespon sistematika penelitian yang disusun, dan sebagainya.
3.1.1. Karakteristik Penelitian Kualitatif
Beradasarkan referensi dari Chaedar Alwasilah dalam bukunya Pokoknya Kualitatifyang menyatakan bahwa dalam penelitian kualitatif, ada beberapa ciri-ciri yang membedakan dengan penelitian jenis lainnya. Berikut penulis akan coba uraikan secara singkat ciri-ciri kualitatif tersebut, antara lain:
a) Pemahaman makna
Makna disini merujuk pada kognisi, afeksi, intensi, dan apa saja yang terpayungi dengan istilah “perspektif partisipan” (participant’s perspectives).
b) Pemahaman konteks tertentu
Dalam perilaku kualitatif perilaku responden dilihat dalam konteks tertentu dan pengaruh konteks terhadap tingkah laku itu.
c) Kemunculan teori berbasis data
Teori yang sudah jadi atau pesanan, atau a priori tidaklah mengesankan kaum naturalis, karena teori-teori ini akan kewalahan jika disergap oleh informasi, kejadian, suasana, dan pengaruh baru dalam konteks baru.
d) Pemahaman proses
Para peneliti naturalis berupaya untuk lebih memahami proses (daripada produk) kejadian atau kegiatan yang diamati.
e) Penjelasan sababiyah (casual explanation)
Dalam paradigma kualitatif yang dipertanyakan adalah sejauh mana X memainkan peran sehingga menyebabkan Y? Jadi yang dicari adalah sejauh mana kejadian-kejadian itu berhubungan satu sama lain dalam kerangka penjelasan sababiyah lokal (Alwasilah, 2003: 107-110).
Asal Usul Hermeneutika
Disepanjang sejarahnya, hermeneutika secara sporadis muncul dan berkembang sebagai teori interpretasi. Ketika setiap orang menuntut kebutuhan akan kepuasan fungsi otaknya dalam mencapai sesuatu yang ada disekelilingnya, ini berarti bahwa otak selalu bertanya-tanya dan aktif menafsirkan apa yang diterimanya, termasuk interaksi sesama manusia lewat bahasa yang memerlukan penafsiran plural. Proses tafsir dalam diri manusia akan terus berlangsung selama ia hidup. Melalui bahasalah pengalaman itu bisa digeneralisasikan ke setiap manusia.
Secara etimologis, akar kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneueinyang berarti ‘menafsirkan’. Maka, kata benda hermeneia secara harfiah dapat diartikan sebagai “penafsiran” atau interpretasi (Sumaryono,1999:23). Di dalam istilah itu secara langsung terkandung unsur-unsur penting yaitu: mengungkapkan, menjelaskan, dan menerjemahkan. Adapun asal-usul hermeneutika sendiri yakni ketika Hermes menyampaikan pesan para dewa kepada manusia. Dan hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai ‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti’.
Richard Palmer (2003:15-36) menyatakan ada tiga bentuk arti dari hermeneuein yaituhermeneuein sebagai “mengatakan”, yang merupakan signifikansi teologis hermeneutika merupakan etimologi yang berbeda yang mencatat bahwa bentuk dariherme berasal dari bahasa Latin sermo, “to say” (menyatakan), dan bahasa Latin lainnya verbum, “word” (kata). Ini mengasumsikan bahwa utusan, didalam memberitakan kata, adalah “mengumumkan” dan “menyatakan”. Lalu hermeneueinsebagai “to explain”, interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif, ia menitikberatkan pada penjelasan ketimbang dimensi interpretasi akspresif. Dan terakhir hermeneuein sebagai “to translate”, yang mempunyai dimensi “to interpret” (menafsirkan) bermakna “to translate” (menerjemahkan), yang merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif dasar “membawa sesuatu untuk dipahami”. Jadi ketika suatu teks berada dalam bahasa pembaca, benturan antara dunia teks dengan pembaca itu sendiri dapat menjauhkan perhatian.
Definisi Hermeneutika
Hermeneutika dapat didefinisikan secara longgar sebagai suatu teori atau filsafat interpretasi makna. Kesadaran bahwa ekspresi-ekspresi manusia berisi sebuah komponen penuh makna, yang harus disadari sedemikian rupa oleh subjek dan yang diubah menjadi system nilai dan maknanya sendiri, telah memunculkan persoalan-persoalan hermeneutika. Dalam pandangan klasik, hermeneutik mengingatkan kita pada apa yang ditulis Aristoteles dalam Peri Hermeneias atau De Interpretatione. Yaitu bahwa kata-kata yang kita ucapkan adalah simbol dari pengalaman mental kita, dan kata-kata yang kita tulis adalah simbol dari kata-kata yang kita ucapkan itu. Bahasa tidak boleh kita pikirkan sebagai yang mengalami perubahan. Menurut Gadamer bahasa harus kita pahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam dirinya. Karena kata-kata ataupun ungkapan mempunyai tujuan (telos) tersendiri atau penuh dengan maksud, demikian dikatakan Wilhelm Dilthey. Setiap kata tidak pernah tidak bermakna.
Disiplin ilmu pertama yang banyak menggunakan hermeneutika adalah ilmu tafsir kitab suci. Sebab semua karya yang mendapatkan inspirasi ilahi seperti Al-Quran, kitab Taurat, kitab-kitab Veda; dan Upanishad supaya dapat dimengerti memerlukan interpretasi atau hermeneutika. Tapi dalam bukunya Hermeneutika, teori baru mengenai interpretasi, Richard Palmer mengemukakan enam definisi modern hermeneutika:
“Pertama hermeneutika sebagai teori eksegesis Bibel yakni merujuk pada prinsip-prinsip interpretasi Bibel, dan hal tersebut memasuki penggunaan modern sebagai suatu kebutuhan yang muncul dalam buku-buku yang menginformasikan kaidah-kaidah eksegesis kitab suci (skriptur). Yang kedua hermeneutika sebagai metodelogis filogogis yang menyatakan bahwa metode interpretasi yang diaplikasikan terhadap Bibel juga dapat diaplikasikan terhadap buku yang lain, selalnjutnya yang ketiga hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik, schleiermacher punya distingsi tentang pemahaman kembali hermeneutika sebagai “ilmu” atau “seni” pemahaman, dan hermeneutik sebagai sejumlah kaidah dan berupaya membuat hermeneutika sistematis-koheren, sebagai ilmu yang mendeskripsikan konsdisi-kondisi pemahaman dalam suatu dialog. Keempat,hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi geisteswissenschaften yang melihat inti disiplin yang dapat melayani sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua disiplin yang memfokuskan pada pemahamn seni, aksi, dan tulisan manusia). Kelima, hermeneutika sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial, dalam konteks ini tidak mengacu pada ilmu atau kaidah interpretasi teks atau pada metodologi bagi geisteswissenschaften, tetapi pada penjelasan fenomenologisnya tentang keberadaan manusia itu sendiri. Yang terakhir hermeneutika sebagai sistem interpretasi:menemukan makna vs ikonoklasme yakni sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai teks” (Palmer, 2003: 38-49).
Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Dalam Webster’s Third New Internasional Dictionary dijelaskan bahwa hermeneutika adalah studi tentang prinsip-prinsip metodelogis interpretasi dan eksplanasi. Pada dasarnya hermeneutika adalah landasan filosofi dan merupakan juga modus analisis data. Sebagaimana filosofi pada pemahaman manusia, hal itu menyediakan landasan filosofi untuk interpretativisme. Sebagai modus analisis hal itu berkaitan dengan pengertian data tekstual. Hermeneutika terutama berkaitan dengan pemaknaan suatu analog teks, seperti yang didefinisikan Palmer dalam salah satu definisi hermenutika modernnya. Pertanyaan dasar apa teks itu?, teks seperti apa yang dipahami hermeneutika?.
Menurut Ricouer (Bleicher,2003:357), teks yang dipahami Hermeneutika adalah adanya otonomi teks, konteks sosio cultural dan alamat aslinya mengijinkan prakondisi bagi penjarakan interpretor dari teks. Dalam memahami teks, maka antara teks, pengarang dan pengkaji harus dihubungkan dengan realitas masyarakat yang kontemporer, jadi ketiga unsur tersebut harus bersinergi, meskipun ada pemutusan antara teks dan pengarangnya dalam hal subjeknya. Dibawah ini penulis menggambarkan bagaimana hubungan antara teks, pengarang, reader ataupun yang lainnya dalam hermeneutika cycle.
Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom, untuk melakukan ‘dekonstekstualisasi’ , baik dari sudut pandang sosiologis, maupun psikologis, serta untuk melakukan ‘rekonstekstualisasi’ secara berbeda didalam tindakan membaca (‘dekontekstualisasi’ = proses ‘pembebasan’ diri dari konteks; ‘rekonstekstualisasi’ = proses masuk kembali kedalam konteks). Otonomi teks sendiri menurut Ricour ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan. Atas dasar otonomi ini, maka yang dimaksudkan dengan “dekonstekstualisasi” adalah bahwa materi teks “melepaskan diri” dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya. Teks ini membuka diri dari kemungkinan dibaca secara luas, dimana pembacanya selalu berbeda-beda. Inilah yang dimaksud ‘rekonstekstualisasi” sebagai contoh, novel ditulis dalam kerangka waktu khusus dan historis dimana pengarangnya hidup dan menulisnya. Maka tidak kita ragukan lagi kalau penulis novel mengungkapkan hal-hal khusus dalam kebudayaan pada zamannya.
Mengutip pernyataan Paul Ricoeur dalam buku Filsafat Wacana, Membedah Makna dalam Anatomi Bahasa (2002:217) yang secara mendasar mengatakan bahwa teks adalah any discourse fixed by writing. Pertama Ricouer memahami arti discoursesendiri, merujuk kepada bahasa sebagai event yaitu bahasa yang membicarakan sesuatu. Dalam hal ini ada dua jenis artikulasi discourse yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis atau teks. Jenis yang kedua dari artikulasi ini memperlihatkan bahwa teks adalah korpus yang otonom, mandiri dan totalitas, yang dicirikan dalam empat hal. Pertama, dalam sebuah teks terdapat makna dari apa yang dikatakan (what is said) terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), kedua makna sebuah teks tidak lagi terikat kepada pembicara atau tidak terkait dengan apa yang dimaksudkan oleh penulisnya. Bukan berarti penulis tidak diperlukan, meskipun Ricouer sempat mengatakan tentang “kematian penulis” yang maksudnya kematian bukan dalam arti sebenarnya atau transidental tetapi maksudnya si penulis terhalang oleh teks yang sudah membaku. Seperti juga yang dikatakan oleh Barthes bahwa “pengarang sudah mati”, ini tentunya hanya sebuah metafora untuk menggambarkan bahwa tidak lagi semangat dan jiwa pengarang dalam karyanta. Pengarang tidak lagi bicara. Menurut Barthes,
…adalah bahasa yang bicara, bukan pengarang; menulis, melalui prasyarat-prasyarat impersonalitasnya (jangan dikacaukan dengan objektivitas kebiri para novelis realis), adalah proses mencapai satu titik dimana hanya bahasa yang beraksi, memainkan peran, dan bukan saya (Piliang, 1999:119)
Matinya sang pengarang dalam era postmodern diiringi dengan lahirnya para pembaca (reader), dan berkembangnya model writerly text, yaitu teks yang menjadikan pembaca/ teks-teks sebagai pusat penciptaan , ketimbang pengarangnya sendiri. Matinya sang pengarang, juga diikuti dengan dengan munculnya apa yang disebut oleh Catherine Belsey sebagai kekuatan pembaca (reader’s power). Dalam model ini, para pembaca dibebaskan dari tirani pengarang , dan mereka berpeluang untuk berpartisipasi dalam menghasilkan pluralitas makna dan diskursus. Ketiga makna tidak terikat lagi pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagi terikat pada sistem semula (ostensive reference), ia tidak terikat pada konteks asli dari pembicaraan. Apa yang ditunjuk sebuah teks , adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri, yang terakhir dengan demikian teks juga tidak terikat kepada audience awal, sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu tetapi siapapapun yang bisa membaca dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.
Cara Kerja Hermeneutika
Dalam buku Hermeneutik sebuah Metode Filsafat (Sumaryono,1993:30-33) menjelaskan bahwa dasar dari semua objek itu netral, sebab objek adalah objek. Sebuah meja di sini atau bintang di angkasa berada begitu saja. Benda-benda itu tidak bermakna pada dirinya sendiri. Hanya subjeklah yang kemudian memberi ‘pakaian’ arti pada objek. Arti atau makna diberikan kepada objek oleh subjek, sesuai dengan cara pandang subjek. Jika tidak demikian, maka objek menjadi tidak bermakna sama sekali. Husserl menyatakan bahwa objek dan makna tidak pernah terjadi secara serentak atau bersama-sama, sebab pada mulanya objek itu netral. Meskipun arti atau makna muncul sesudah objek atau objek menurunkan maknanya atas dasar situasi objek, semuanya adalah sama saja. Dari sinilah kita lihat keunggulan hermeneutika.
Semua lingkup interpretasi mencakup pada pemahaman. Namun pemahaman itu sangat kompleks di dalam diri manusia sehingga para pemikir ulung maupun psikolog tidak pernah mampu untuk menetapkan kapan sebenarnya seseorang itu mengerti. Sebagai contoh misalnya: Kapan seseorang dinyatakan mengetahui adanya bahaya laten? Kapan saatnya seorang anak dinyatakan sudah memahami matematika? Dapatkah kita melihat tepatnya waktu seseorang menangkap arti sebuah kalimat yang diucapkan?
Untuk dapat membuat interpretasi, orang lebih dahulu harus mengerti atau memahami. Namun keadaan ‘lebih dahulu mengerti’ ini bukan didasarkan atas penentuan waktu, melainkan bersifat alamiah. Sebab, menurut kenyataannya, bila seseorang mengerti, ia sebenarnya telah melakukan interpretasi, dan juga sebaliknya. Ada kesertamertaan antara mengerti dan membuat interpretasi antara mengerti dan membuat interpretasi. Keduanya bukan dua momen dalam satu proses. Mengerti dan interpretasi menimbulkan ‘lingkaran hermeneutik’.
Kegiatan interpretatif adalah proses yang bersifat ‘triadik’ (mempunyai tiga segi yang paling berhubungan). Dalam proses ini terdapat pertentangan antara pikiran yang diarahkan pada objek dan pikiran penafsir itu sendiri. Orang yang melakukan interpretasi harus mengenal pesan atau kecondongan sebuah teks, lalu ia harus meresapi isi teks sehingga pada mulanya ‘yang lain’ kini menjadi ‘aku’ penafsir itu sendiri. Oleh karena itulah, dapat ia pahami bahwa mengerti secara sungguh-sungguh hanya kan dapat berkembang bila didasarkan atas pengetahuan yang benar (correct). Sesuatu arti tidak akan kita kenal jika tidak kita rekonstruksi.
Bila kita jabarkan lebih lanjut argumentasi tentang hermeneutika ke ruang lingkup yang lebih luas, akan kita dapatkan bahwa setiap objek tampil dalam konteks ruang dan waktu yang sama, atau sebagaimana yang disebut Karl Jaspers dengan istilahdas Umgreifende atau cakrawala ruang dan waktu. Pada kenyataannya, tidak ada objek yang berada dalam keadaan terisolir, setiap objek berada dalam ruang. Selalu ada kerangka referensi, dimensi, sesuatu batas, nyata atau semu, yang semuanya memberi ciri khusus pada objek. Kita harus kembali kepada pengalaman orisinal dari para penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan ‘kunci’ makna kata-kata atau ungkapan.
Kita harus kembali kepada pengalaman orisinal dari para penulis (teks) dengan maksud untuk menemukan ‘kunci’ makna kata-kata atau ungkapan. Kita mengungkapkan diri kita sendiri melalui bahasa sehari-hari. Meskipun hermeneutika atau interpretasi termuat dalam kesusastraan dan linguisti, hukum, agama, dan disiplin ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan teks, namun akarnya tetap filsafat.
Paul Ricoeur Eksistensi dan Hermeneutika
Latar Belakang Pemikiran tentang Hermeneutika
Paul Ricoeur adalah seorang filsuf, dalam karya-karyanya sepertinya ia memiliki persfektif kefilsafatan yang beralih dari analisis eksistensial kemudian ke analisis eidetik (pengamatan yang semakin mendetail), fenomenologis, historis, hermeneutika hingga pada akhirnya semantik. Dengan mengutif Nietzsche, ia mengatakan bahwa hidup itu sendiri adalah interpretasi (Ricoeur,1974:12). Bilamana terdapat pluralitas makna, maka disitu interpretasi dibutuhkan. Apalagi jika simbol-simbol dilibatkan. Interpretasi menjadi penting, sebab disini makna mempunyai multi lapisan.
Hermeneutika sendiri yaitu mengupas tentang makna tersembunyi dalam teks yang kelihatan mengandung makna, karena setiap interpretasi adalah usaha untuk “membongkar” makna-makna yang masih terselubung atau usaha membuka lipatan-lipatan dari tingkat-tingkat makna yang terkandung dalam makna kesusastraan. Menurut Ricoeur kata-kata adalah simbol, karena menggambarkan makna lain yang sifatnya ‘tidak langsung, tidak begitu penting serta figuratif (berupa kiasan) dan hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol tersebut’. Jadi, simbol-simbol dan interpretasi merupakan konsep-konsep yang mempunyai pluralitas makna yang terkandung di dalam simbol-simbol atau kata-kata.
Tampaknya, yang hendak dikatakan oleh Ricoeur adalah bahwa terdapat kebutuhan laten dalam bahasa untuk mengungkapkan konsep-konsep melalui kata-kata. Kebutuhan laten tersebut adalah kebutuhan akan hermeneutik. Namun Ricoeur kiranya berpikir jauh lagi. Setiap kata adalah sebuah simbol. Oleh karenanya, maka kata-kata penuh dengan makna dan intensi yang tersembunyi sehingga hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi didalam simbol-simbol tersebut.
Jika kemudian Ricoeur kemudian memberikan kesan bahwa berbicara dengan menggunakan sesuatu bahasa adalah masalah jaket dan belati yang tersembunyi dibaliknya. Adanya simbol, mengundang kita untuk berpikir sehingga simbol itu sendiri itu menjadi kaya akan makna dan kembali kepada maknanya yang asli. Hermeneutika membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi makna dari simbol-simbol.
Ruang Lingkup Hermeneutika Paul Ricoeur
Hermeneutika sebagai sistem interpretasi dalam menemukan makna vs ikonoklasme, dimana disini Paul Ricoeur mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Maksudnya disini hermeneutika merupakan teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis, dengan kata lain, sebuah interpretasi teks partikular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks. Hermeneutika adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah makna terpendam dan tersembunyi. Objeknya sendiri berupa simbol atau bahkan mitos-mitos dari simbol dalam masyarakat dan sastra.
Selanjutnya, Ricoeur memperluas definisi kata sebagai simbolnya dengan menambahkan ‘perhatian kepada teks’. Teks sebagai penghubung bahasa isyarat dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik karena budaya oral (ucapan) dapat dipersempit. Apa yang kita ungkapkan atau yang kita tulis mempunyai makna lebih dari satu bila kita hubungkan dengan konteks yang berbeda atau disebut ‘polisemi’. Dengan bahasa kita memahami sesuatu atau juga dengan bahasa kita juga bisa salah paham atau salah mengerti sehingga, memungkinkan kita salah persepsi dan dengan hermeneutika semua problem filsafat bahasa diatas dapat dijawab.
Dalam hal ini penulis mengikuti definisi yang diajukan oleh Ricoeur tentang hermeneutika ialah “teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks” (Ricoeur,1985:43). Apa yang kita ucapkan dan kita tulis mempunyai makna lebih dari satu bila kita hubungkan dengan konteks yang berbeda, yang disebut istilah “polisemi” yaitu ciri khas yang menyebabkan kata-kata mempunyai makna lebih dari satu. Dan manusia merupakan bahasa (Ricoeur,1967:350).
Selanjutnya Ricoeur menguraikan tentang proses pencangkokan hermeneutika ke fenomenologis kedalam tiga tahapan, yang pertama adalah level semantik bahwa bahasa merupakan wahana utama bagi ekspresi ontology oleh sebab itu kajiannya tidak dapat terlepas dari struktur bahasa dan kebahasaan yang tercakup dalam simbolisme. Kedua adalah level refleksi yaitu mengangkat lebih tinggi lagi posisi hermeneutika pada level filosofis. Proses ini dapat dilakukan melalui proses ulang balik antara pemahaman teks dengan pemahaman diri dan berlangsung sepertihermeneutika cycle yang telah penulis jelaskan. Tahap terakhir adalah level eksistensial, dalam tahap ini akan tersingkap bahwa pemahaman dan makna, bagi manusia ternyata berakar dari dorongan-dorongan yang bersifat instingtif.
Beberapa Kondisi Hermeneutik Penelitian Sosial-Historis
Pada bagian ini penulis akan membahas tentang perkembangan sebuah kerangka metodologis yang diambil dari tradisi hermeneutika. Thompson mengatakan bahwa tradisi ini berawal dari perdebatan tentang kesusastraan pada masa Yunani kuno. Sejak pemunculannya telah mengalami beberapa perubahan dua milenia yang lalu. Dalam perkembangan ini dikaitkan dengan karya para filsof hermeneutik abad sembilanbelas dan duapuluh- terutama Dilthey, Heidegger, Gadamer dan Ricoeur. Pada tempat pertama, para filsof itu mengingatkan kita bahwa studi tentang bentuk-bentuk simbol secara mendasar dan mutlak merupakan pemahaman dan interpretasi.
Bentuk-bentuk simbol adalah konstruksi makna yang diinterpretasikan, ia dapat berupa tindakan, ucapan, teks yang—qua konstruksi makna—dapat dipahami. Penekanan mendasar pada proses memahami dan interpretasi yang tetap memiliki nilai (lebih) hingga saat ini. Oleh karena itu dalam ilmu-ilmu sosial dan dalam disiplin yang concern dengan analisa bentuk-bentuk simbol dan warisan positivisme sangat kuat yang pada akhirnya akan persoalan pemahaman dan interpretasi. Oleh karena itu tradisi hermeneutika mengingatkan kita bahwa dalam kasus penelitian social, konstelasi persoalannya secara signifikan berbeda dari konstelasi persoalan yang terdapat dalam ilmu alam, karena dalam sosial objek penelitian kita adalah domain pra-tafsir.
Menurut Thompson bahwa dunia sosial-historis tidak sekadar domain obyek yang dapat diamati; ia juga domain subyek yang, sebagiannya, dibangun oleh subyek-subyek yang dalam rutinitas kehidupan sehari-harinya secara konstan melakukan pemahaman terhadap dirinya dan orang lain serta menafsirkan tindakan, ucapan dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Seperti Heidegger, yang telah menunjukkan pentingnya melihat proses pemahaman, bukan sebagai prosedur khusus yang digunakan oleh para analis dalam ruang social histories, tetapi sebagai karakteristik umat manusia memahami (understanding) bukan prosedur interpretasi yang lebih khusus digunakan oleh para analis social yang mengambil apa adanya (taken for granted) dan dasar pemahaman sehari-hari yang belum tersusun (pre-establised).
Jadi ketika seorang interpreter berusaha menginterpretasikan sebentuk simbol, maka dia berusaha menginterpretasikan sebuah objek yang ia sendiri dapat menjadi sebuah interpretasi. Seorang interpreter menawarkan interpretasi atas interpretasi, dia melakukan re-interpretasi terhadap domain pra-tafsir. Maka, menurut Thompson hermeneutika mengingatkan kita bahwa subyek yang membangun domain subyek-obyek, seperti para analisis sosial sendiri, merupakan subyek yang mampu memahami, memikirkan dan bertindak pada dasar pemahaman dan pemikiran.
Terdapat hal lebih lanjut yang berkaitan dengan hermeneutika yang masih relevan hingga saat ini, Thompson mengatakan bahwa subyek yang membangun dunia sosialnya selalu berada dalam tradisi sejarah. Manusia adalah bagian dari sejarah, dan bukan hanya pengamat atau penonton sejarah. Gadamer salah satunya telah membantu menyoroti apa yang kita sebut historisitas pengalaman manusia, yang artinya pengalaman yang baru selalu mengasimilasi bayangan masa lalu, dengan kata lain bahwa dalam upaya memahami sesuatu yang baru kita selalu dan perlu membangun sesuatu yang sudah ada. Jadi dari beberapa penjelasan yang thompson bangun mengindikasikan bahwa hermenutika dapat dibenarkan ketika menekankan kenyataan bahwa manusia selalu terlibat dalam tradisi sejarah, hal ini dapat membantu menciptakan ruang bagi sebuah pendekatan yang dilakukan secara hermenutika terhadap analisa ideologi.
Kerangka Metodologis Hermeneutika-Mendalam
Setelah penulis menguraikan beberapa kondisi hermeneutika penelitian sosial historis, lalu selanjutnya penulis akan menjelaskan kerangka metodologi dengan karakter yang lebih kongkrit bagi studi bentuk-bentuk simbol pada umumnya, dan bagi analisa ideologi pada khususnya. Seperti karya Ricoeur yang memiliki perhatian khusus yang secara eksplisit dan sistematis menunjukkan bahwa hermeneutika menawarkan baik refleksi filosofis akan kehidupan dan pemahaman, maupun refleksi metodologis tentang sifat dan tugas interpretasi dalam penelitian sosial dengan kunci dari arah refleksi yang Ricoeur sebut dengan ‘hermeneutika-mendalam (dept hermenetics).
Hermeneutika mendalam dapat memberikan kerangka metodologis bagi arah pelaksanaan analisa budaya dalam konteks pemahaman. Selain itu juga dapat digunakan oleh Thompson dalam analisa ideologi seperti yang Thompson definisikan, juga memperhatikan bentuk-bentuk simbol hubungannya dengan konteks sosial-historis; karena itu analisa ideologi secara metodologis dapat dianggap sebagai bentuk partikular dari hermeneutika-mendalam. Tapi, dengan memfokuskan perhatian kita pada interelasi antara makna dan kekuasaan. Pada cara-cara bagaimana bentuk-bentuk simbol digunakan untuk membangun dan mempertahankan relasi dominasi, maka analisa ideologi mengasumsikan sesuatu yang berbeda, yang memiliki karakter kritis. Ia memunculkan pertanyaan baru tentang penggunaan bentuk-bentuk simbol dan keterkaitan antara interpretasi, refleksi-diri dan kritik.
Penulis akan memulai pembicaraan hermeneutika-mendalam dengan sebuah pendahuluan tapi merupakan pengamatan yang fundamental: sepanjang obyek penelitian kita adalah wilayah pra-tafsir, maka, pendekatan hermeneutika-mendalam harus mengakui dan memahami cara bentuk-bentuk simbol itu diinterpretasikan oleh subyek yang terdiri dari domain subyek-obyek. Dengan kata lain, hermeneutika kehidupan sehari-hari merupakan titik permulaan primordial dan tidak dapat dihindari dalam pendekatan hermeneutika-mendalam.
Karena itu, pendekatan hermeneutika mendalam harus didasarkan pada upaya penjelasan bentuk-bentuk simbol itu diinterpretasikan dan dipahami oleh individu-individu yang memproduksi dan menerimanya dalam konteks kehidupan sehari-hari. Tentu, rekonstruksi itu sendiri merupakan proses interpretasi; ia adalah interpretasi terhadap pemahaman sehari-hari, atau—Thompson menyebutnya dengan ‘interpretasi doksa’ (interpretation of doxa), yaitu interpretasi terhadap pandangan, keyakinan, dan pemahaman yang dipegang dan diakui bersama oleh individu yang menempati dunia sosial tertentu.
Hermeneutika-mendalam versi Thompson merupakan kerangka metodologi luas yang memuat tiga fase dasar atau prosedur. Fase tersebut tidak akan dilihat sebagai tahapan khusus dari rentetan sebuah metode, tapi secara analistis sebagai dimensi yang berlainan dari sebuah proses yang kompleks. Dibawah ini penulis menggambarkan kesimpulan dari berbagai fase pendekatan hermeneutika-mendalam, dengan menempatkan pendekatan ini hubungannya dengan hermeneutika kehidupan sehari-hari.
Fase pertama dari pendekatan hermeneutika-mendalam apa yang disebut dengananalisa sosial-historis. Bentuk-bentuk simbol tidak berada dalam suasana yang vakum: ia dibuat, lalu ditransmisikan dan diterima dalam kondisi sosial dan historis tertentu. Tujuan analisa sosial-historis adalah untuk mengkonstruksi kondisi sosial dan historis dari produksi, sirkulasi, dan resepsi bentuk-bentuk simbol.
Pada urutan pertama, setting ruang-waktu menempatkan bentuk-bentuk simbol diproduksi (diucapkan, diperankan, dituliskan) dan diterima (dilihat, didengarkan, dibaca) oleh individu yang berada dalam lokal tertentu. Bentuk-bentuk simbol secara tipikal juga berada dalam bidang interaksi tertentu. Dalam menyoroti tindakan dalam suatu bidang interaksi, individu menggunakan berbagai jenis dari jumlah sumber daya atau ‘kapital’ yang tersedia bagi mereka, demikian juga berbagai aturan, konvensi dan ‘skemata’ yang fleksibel. Skemata tersebut bukan aturan yang sudah sangat mapan, tapi sebagai garis pedoman yang implisit dan kasar (unformulated).
Tingkatan analisa sosial-historis ketiga adalah institusi sosial. Institusi sosial dapat dianggap sebagai kumpulan aturan dan sumber daya yang relatif mapan, dengan relasi sosial yang terbangun di dalamnya. Menganalisa institusi sosial berarti merekonstruksi kumpulan aturan, sumber daya dan relasi yang menjadi landasannya, mengikuti perkembangannya dalam guliran waktu dan mengamati praktik dan sikap individu yang betindak untuk dan dengan institusi tersebut.
Pada tingkatan selanjutnya Thompson menggunakan istilah struktur sosial untuk mengacu pada asimetri dan perbedaan tetap yang menjadi karakter institusi sosial dan bidang interaksi sosial. Menganalisa struktur sosial berarti memfokuskan pada aspek asimetri, perbedaan dan pembagian. Hal ini untuk menunjukkan bahwa asimetri itu bersifat sistematis dan relatif mapan, yaitu manifestasinya tidak sekadar menunjukkan perbedaan individual, tapi juga perbedaan kolektif dan berlangsung lama bergantung pada distribusi, atau akses kepada, sumber daya, kekuasaan, peluang, dan kesempatan hidup.
Pada tingkatan terakhir dari analisa sosial-historis yaitu media teknik transmisi, sebagai bahan dasar dilakukannya produksi dan transmisi bentuk-bentuk simbol. Media teknik memberkati bentuk-bentuk simbol dengan karakteristik tertentu: yaitu tingkat fiksasi, reproduksi, dan lingkup partisipasi tertentu di antara para subyek yang menggunakan media tersebut.
Menurut Thompson media teknik tidak mewujud dalam keterasingan. Ia selalu menempati konteks sosial-historis tertentu; selalu mensyaratkan jenis keterampilan, aturan dan sumber daya untuk menulis (encode) dan menguraikan (decode) kode pesan, atribusi yang tersebar secara tidak merata di antara individu; ia selalu disebarkan dengan menggunakan sarana kelembagaan yang banyak memperhatikan upaya pengaturan (regulating) produksi dan penyebaran bentuk-bentuk simbol.
Tugas pada fase pertama pendekatan hermeneutika-mendalam menurut Thompson adalah untuk merekonstruksi kondisi dan konteks sosial-historis produksi; sirkulasi dan resepsi bentuk-bentuk simbol, serta untuk mengamati aturan dan konvensi, relasi dan institusi sosial, juga distribusi kekuasaan, sumber daya dan peluang yang mendasari suatu konteks dalam membentuk bidang struktur sosial yang berbeda-beda.
Obyek dan ekspresi makna yang beredar dalam bidang sosial juga merupakan konstruksi simbol yang kompleks yang menunjukkan struktur artikulasinya. Karakteristik inilah yang memerlukan fase analisa yang kedua, fase yang oleh Thompson sebut analisa formal atau diskursif. Bentuk-bentuk simbol menurutnya adalah produk tindakan tertentu yang menggunakan aturan, sumber daya, dll., yang tersedia bagi produser; tapi bentuk-bentuk simbol juga dapat berupa sesuatu yang berbeda, karena ia merupakan konstruksi simbol yang kompleks yang dari situ sesuatu itu diekspresikan dan dikatakan.
Thompson ingin mengatakan bahwa bentuk-bentuk simbol adalah produk yang dikonstekstualisasikan dan merupakan sesuatu yang lebih; karena itu, berdasarkan ciri strukturalnya ia adalah produk yang mampu, dan menegaskan untuk, mengatakan sesuatu tentang sesuatu. Di antara bentuk yang paling terkenal dan paling praktis dari analisa formal atau diskursif apa yang disebut, secara luas dikatakan, analisa semiotik. Analisis semiotik umumnya mencakup abstraksi metodologis dari kondisi sosial-historis produksi dan resepsi bentuk-bentuk simbol. Ia memfokuskan pada bentuk-bentuk simbol itu sendiri dan berusaha menganalisa ciri struktur internalnya, elemen pembentuknya serta inter-relasinya, dan semuanya dihubungkan dengan sistem dan kode yang menjadi bagiannya.
Ciri-ciri struktur suatu bahasa juga dapat dianalisa secara formal. Dalam konteks tersebut, kita dapat membahas ‘analisa wacana, yaitu analisa terhadap ciri-ciri struktur dan relasi wacana. Thompson menggunakan istilah ‘wacana’ (discourse) secara umum untuk mengacu pada terjadinya komunikasi secara aktual. Dasar metodologi utama analisa percakapan adalah untuk mempelajari contoh-contoh interaksi bahasa dalam setting aktual terjadinya tindakan tersebut; dan untuk menyoroti beberapa ciri-ciri ‘struktur’ interaksi bahasa dengan cara memperhatikan secara cermat susunannya. Interaksi tersebut digunakan oleh para partisipan untuk melahirkan interaksi yang rapi. Artinya, keteraturan interaksi bahasa sendiri merupakan hasil dari proses yang sedang berlangsung yang di dalamnya partisipan memproduksi susunan (produce order) melalui rutinitas dan perulangan aturan dan alat percakapan.
Contoh-contoh wacana juga dapat dipelajari berdasarkan apa yang kita sebutanalisis sintaksis. Karakteristik gramatikal penting lainnya dari wacana adalah sarana modalitas, yang dengan menggunakan saran modalitas itu seorang yang berbicara (speaker) dapat menunjukkan tingkat kepastian atau realitas yang dikaitkan dengan suatu pernyataan (misalnya kata-kata yang semuanya bermakna mungkin). Juga sistem penggunaan kata ganti (pronouns) yang menyiratkan perbedaan berdasarkan kekuasaan dan keakraban (terutama dalam bahasa yang memiliki dua bentuk kata ganti untuk orang kedua tunggal). Selain itu sarana yang dikaitkan dengan perbedaan gender, dimana gender gramatikal dari ungkapan bahasa dapat menjadi alat untuk membawa asumsi tentang seks (misalnya penggunaan ‘man’ (laki-laki) atau kata ganti maskulin secara umum).
Bentuk analisa terakhir yang Thompson pertimbangkan di sini adalah apa yang disebut analisa argumentatif. Bentuk-bentuk wacana, sebagai konstruksi bahasa supra-kalimat, memuat rangkaian pemikiran yang dapat direkonstruksi dengan cara yang berbeda-beda. Tujuan analisa ini adalah untuk merekonstruksi dan membuat jelas bentuk-bentuk kesimpulan yang menjadi karakter wacana. Metodenya bisa dimulai dengan mengaitkan cara kerja logika, atau kuasi logika tertentu (implikasi, kontradiksi, perkiraan, pengeluaran, dll.).
Fase terakhir yang merupakan fase ketiga dari pendekatan hermeneutika-mendalam adalah interpretasi/re-interpretasi. Metode ini diawali dengan analisa: metode tersebut merinci, membagi-bagi, mendekonstruksi, berupaya menyingkap bentuk dan alat yang membentuk, dan bekerja dengan, sebuah simbol atau bentuk wacana. Interpretasi membangun analisa tersebut serta hasil-hasil dari analisa sosial-historis.
Dalam mengembangkan sebuah interpretasi yang dimediasi melalui metode pendekatan hermeneutika-mendalam, berarti kita melakukan re-interpretasi terhadap domain pra-tafsir; ia sudah ditafsirkan oleh subyek yang membangun dunia sosial-historisnya. Kita mengangankan sebuah makna yang mungkin berbeda dari makna yang dipahami oleh subyek yang membangun dunia sosial-historisnya. Sebagai re-interpretasi terhadap domain pra-tafsir kata Thompson, maka proses interpretasi mengandung resiko, memuat konflik, dan terbuka untuk diperselisihkan. Adanya konflik interpretasi merupakan unsur instrinsik dalam setiap proses interpretasi.
Interpretasi Ideologi sebuah Pendekatan Menuju Hermeneutika Kritis
Mengelaborasi pendekatan interpretatif dan kritis terhadap studi ideologi merupakan kontribusi terhadap pengembangan ‘hermeneutika kritis’. Hermeneutika menisyaratkan satu hal kritis sebab kita memiliki budaya dan tradisi pada kondisi tertentu yang membatasi jarak kita pada masa lalu, jarak yang diekspresikan semuanya berada dalam distansi yang dialami teks. Kondisi distansi inilah yang mengarahkan hermeneutik pada kritik ideologi.
Lebih dari itu, dunia yang diproyeksikan melalui teks bergantung pada bagaimana teks itu ditafsirkan, sedangkan teks dapat ditafsirkan dengan cara yang bermacam-macam. Oleh karena wajar saja muncul pertanyaan di benak kita, dapatkah kita mengambil apa adanya standar-standar bukti—kriteria superioritas relatif yang secara mudah dapat diturunkan dari kemungkinan unsur subjektif?
Thompson bersikukuh bahwa dalam menginterpretasikan ideologi berarti masuk ke dalam proses metodologi yang kompleks dan berusaha menunjukkan bagaimana makna membenarkan relasi dominasi. Dapat dicatat bahwa sebuah interpretasi merupakan konstruksi makna dan formulasi dari apa yang dikatakan dalam wacana, memunculkan klaim kebenaran yang menuntut pengakuan.
Interpretasi melahirkan sebuah klaim yaitu untuk dapat diterima atau dibenarkan dengan segala cara. Karena itu kita dapat mengatakan bahwa klaim kebenaran akan dibenarkan jika interpretasi itu dapat dijustifikasi di bawah kondisi yang memasukkan penangguhan relasi kekuasan yang asimetris. Penangguhan ini akan berusaha mencari pembenaran suatu klaim.
Namun begitu, dalam menafsirkan ideologi, Thompson ingin menetapkan bahwa kriteria itu diatur dalam proses penolakan, yang disebut dengan prinsip refleksi diri.Karena itu, interpretasi yang dilahirkan dari hermeneutika-mendalam versi Thompson adalah tentang wilayah objek yang berisi subjek yang mampu melakukan refleksi; dan karena itu klaim kebenaran terus dipertahankan, dan interpretasinya harus dibenarkan melalui bukti apapun yang dibutuhkan untuk kondisi formal justifikasi—di mata subjek yang menjadi objek.
Interpretasi Ideologi
Untuk mencapai tujuan interpretasi ideology, kerangka metodologi hermeneutika-mendalam yang telah penulis jelaskan diatas, dapat juga diterapkan. Interpretasi ideologi menerapkan fase yang berbeda yang terdapat dalam pendekatan hermeneutika-mendalam selain menganalisa kontekstualisasi sosial dan pembentukan makna bentuk-bentuk simbol; dan dengan memfokuskan pada aspek ideologis bentuk-bentuk simbol pendekatan tersebut memiliki sesuatu yang berbeda, yaitu perubahan kritis.
Interpretasi ideologi menerapkan masing-masing fase yang terdapat dalam pendekatan hermeneutika-mendalam, namun fase tersebut digunakan dengan cara tertentu, dengan maksud menyoroti kondisi makna yang diarahkan untuk membangun dan mempertahankan relasi dominasi. Seperti yang Thompson tegaskan, interpretasi ideologi merupakan interpretasi terhadap bentuk-bentuk simbol yang berusaha menjelaskan inter-relasi antara makna dan kekuasaan, yang berusaha menunjukkan bagaimana dalam kondisi tertentu makna yang dikerahkan oleh bentuk-bentuk simbol cenderung memlihara dan mempertahankan kepemilikan dan penerapan kekuasaan.
Pada tingkatan analisis sosial-historis, pengamatan terhadap ideologi dapat mengarahkan perhatian kita pada relasi dominasi yang menjadi karakter konteks produksi dan penerimaan bentuk-bentuk simbol. Seperti yang Thompson jelaskan sebelumnya, relasi dominasi merupakan bentuk khusus relasi kekuasaan; relasi kekuasaan yang secara sistematis bersifat asimetris dan relatif bertahan lama.
Jika concern ideologi akan mengarahkan analisa sosial-historis pada studi tentang relasi dominasi, maka pada analisa formal atau diskursif ia akan memfokuskan pada ciri struktur bentuk-bentuk simbol yang memfasilitasi mobilisasi makna. Thompson mengembangkan ciri struktur bentuk-bentuk simbol di satu sisi, dan interpretasi ideologi di sisi lain, dengan mengacu pada skema modus operandiumum ideologi (seperti yang telah penulis buat dalam bab II di tabel 1.1). Ia membedakan lima model umum cara kerja ideologi—legitimasi, dissimulation(penipuan), unifikasi, fragmentasi, dan reification (konkritisasi).
Lalu masih menurut Thompson sebuah interpretasi ideologi harus melampaui fase analisa formal atau diskursif dan melanjutkan pada apa yang ia sebut dengan interpretasi (atau re-interpretasi). Menginterpretasikan ideologi lanjut Thompson, berarti menjelaskan keterkaitan antara makna yang dimobilisir oleh bentuk-bentuk simbol dengan relasi dominasi yang di situ makna cenderung membangun dan mempertahankan relasi dominasi. Interpretasi ideologi merupakan proses sintesa kreatif. Kreatif dalam artian bahwa ia meliputi konstruksi makna yang aktif terhadap sesuatu yang dikatakan atau direpresentasikan. Dengan demikian dikatakan Thompson, interpretasi ideologi mengemban tugas ganda: penjelasan kreatif terhadap makna, dan penampakan sintesis bagaimana makna tersebut cenderung membangun dan mempertahankan relasi dominasi.
Analisa Komunikasi Massa Pendekatan Tripartit
Datangnya era komunikasi massa, memiliki dampak yang sangat besar terhadap model-model pengalaman dan bentuk-bentuk karakteristik interaksi masyarakat modern. Komunikasi massa dengan beragam dampaknya membentuk perubahan mental antara produksi dan resepsi bentuk-bentuk simbol. Banyak cara dan pendekatan dalam menganalisis simbol-simbol pada media massa dan kita harus membedakan antar aspek dan domain obyek komunikasi massa, kemudian menerapkan prosedur hermeneutika-mendalam dengan cara yang berbeda pada masing-masing aspeknya.
Tiga aspek tersebut adalah: pertama, produksi dan transmisi atau difusi bentuk-bentuk simbol yaitu proses produksi bentuk-bentuk simbol serta transmisi atau distribusinya melalui saluran penyebaran yang dipilih; kedua, konstruksi pesan media, pesan-pesan tersebut merupakan konstruksi simbol yang kompleks yang dapat memperlihatkan artikulasi strukturnya; ketiga; penerimaan (resepsi) dan pengambilan pesan media; pesan tersebut diterima oleh individu yang memunculkan pemahaman dengan kehidupan sehari-hari.. Thompson menyebutnya sebagai ‘pendekatan tripartit’ (tripartite approach) komunikasi massa.
Dengan membedakan tiga aspek komunikasi massa tersebut, kita dapat melihat bahwa pendekatan hermeneutika–mendalam dapat diterapkan secara berbeda untuk menganalisa suatu domain obyek. Proses produksi dan transmisi atau penyebaran pesan media dapat dianalisa dengan menggunakan kombinasi analisa sosial-historis dan interpretasi doksa. Analisa produksi dan transmisi merupakan hal yang esensial dalam melakukan interpretasi karakter ideologis pesan media, sebab ia mampu menjelaskan relasi institusional dan sosial yang melatari produksi dan penyebaran suatu pesan, selain juga dapat menjelaskan tujuan dan asumsi sang produser.
Aspek kedua komunikasi massa adalah konstruksi pesan media. Ketika kita memfokuskan pada aspek ini, kita memberikan prioritas pada analisa formal atau diskursif: yaitu kita menganalisa pesan media sebagai sebuah konstruksi simbol yang kompleks yang memperlihatkan struktur artikulasinya. Misalnya, dalam menganalisa suatu buku, atau karya sastra kita dapat mengamati rangkaian penggunaan perumpamaan, sintaksis, gaya, dan nada bahasa, struktur narasi dan argumen, tingkatan struktur atau argumentasi yang mengandung sub-plot, dll.
Penerimaan dan pengambilan pesan media menegaskan domain obyek analisa yang ketiga. Seperti dalam analisa produksi dan transmisi, analisa proses penerimaan dan pengambilan dapat dilakukan dengan cara mengkombinasikan analisa sosial-historis dengan interpretasi doksa. Dengan mengamati analisa sosial-historis, kita dapat mengamati keadaan spesifik seperti: : dalam konteks apa, ditemani apa, dengan tingkat perhatian, konsistensi dan komentar seperti apa, individu-individu itu membaca buku, nonton telvisi, dll?, serta kondisi yang melatari pesan media diterima individu misalnya kondisi yang dibedakan secara sosial: dengan cara penerimaan seperti apa pesan media dapat bervariasi berdasarkan pertimbangan seperti latar belakang kelas, gender, umur, etnik, dan lokasi geografis resipen.
Manifesto Hermeneutis terhadap Interpretasi Sastra
Setelah dalam poin sebelumnya penulis menjelaskan tentang bagaimana teks dipahami dalam hermeneutika, sekarang tiba saatnya mempertanyakan tentang bagaimana dan apa yang terjadi disaat seseorang “memahami” sebuah teks sastra?. Tugas interpretasi dan makna pemahaman berbeda lebih elusif, lebih historis dalam kaitannya dengan karya, dibandingkan dengan sebuah ‘objek’. Sebuah karya selalu ditandai dengan sentuhan manusia, kata ini mengasumsikan hal ini, karena karya dalam hal ini karya sastra selalu berarti karya manusia (atau Tuhan).
Didalam interpretasi sastra, dimanapun, terdapat miskinnya pandangan pemahaman dalam term pengenalan (knowing) konseptual. Itu menyebabkan analisis ekstensif yang mengkontribusikan sedikit kemungkinan seseorang untuk mengalami dalam cara yang memaksa kekuatan perkataan karya. Memahami sebuah karya adalah mengalaminya, bagi interpretasi sastra, pelajaran yang kita pelajari dari struktur-struktur pengalaman adalah untuk tetap sensitif terhadap fakta bahwa dimensinya mentrasendensikan setiap konseptualisasi, kekayaan pengalaman pemahaman teks dan keluasan pengalaman teks tidak disalah-terjemahkan ke dalam kategori-kategori dangkal pengetahuan. Dan ia mendorong, dalam pandangan batas-batas pengetahuan konseptual, sebuah sudut pandang keterbukaan dialektis terhadap teks.
Apa yang dibutuhkan dalam interpretasi sastra adalah penalaran dialektis yang tidak menginterogasi teks tetapi menyediakan sesuatu yang dikatakan pada teks untuk menginterogasi balik, untuk mengajak horizon penafsir kedalam pertanyaan dan untuk melakukan transformasi fundamental pemahaman seseorang terhadap subjek.
Dalam meng-interpretasi sastra, penafsir harus dapat mendengar apa yang tidak dikatakan teks, buatlah pendengar mendengar apa yang sebenarnya dikatakan, buatlah seseorang mendengar apa yang tidak dikatakan tetapi apa yang didapat dalam pembicaraan. Untuk memfokuskan semata-mata pada positivitas dari apa yang dikatakan sebuah teks secara eksplisit adalah untuk menunjukkan ketidakadilan pada tugas hermeneutika. Sebuah karya sastra bukan merupakan sebuah obyek yang kita pahami karena proses konseptual atau menganalisanya, ia merupakan suara yang harus kita dengar melalui pemhaman “pendengaran” (bukan melihat) (Palmer,2003:10).
Sastra itu adalah novel, yang adakalanya diketengahkan dalam efek-efek visual, namum disini apakah kita tidak (dan benar) sering membayangkan sura seperti yang kita baca?. Dialog yang kita dengarkan dengan “telinga dalam” makna yang tidak dapat dipisahkan dari intonasi pendengaran yang dimasukkan dalam konformitas dengan “lingkaran makna kontekstual” yang telah dibangun dalam proses membaca karya dan merupakan lingkaran hermeneutika, disini putaran arah juga terjadi secara dialektis: pembaca memasukkan “ekspresi” sesuai dengan “pemahaman”nya terhadap teks.
Pemahaman sastra hanya didasarkan pada bentuk pemahaman yang lebih utama dan menyeluruh yang harus berkenaan dengan keberadaan kita didunia. Pemhaman karya sastra bukan merupakan bentuk sainstifik pengetahuan yang lepas dari eksistensi menuju dunia konsep. Hermeneutika merupakan studi bentuk terkhir pemahaman ini. Signifikansi aplikasi untuk saat ini, sama halnya seperti interpretsi yang hanya berurusan dengan makna eksplisit teks akan gagal melakukan keadilan bagi tugas hermeneutik. Para teorikus salah persepsi dan banyak melihat interpretasi pada dasarnya sebagai rekonstruksi dan restorasi pada masa lalu, namun ini didasarkan pada kesalahan-konsepsi dialektika pemahaman saja.
Penelitian sastra didukung oleh interpretasi lisan untuk menampakkan pada dirinya sendiri suatu intensi dalamnya ketika ia mendefinisikan (dalam bentuk yang lebih sadar) “ada” (being) dari karya tidak sebagai sesuatu yang statis, konseptual, “esensi” atemporal yang telah menjadi sesuatu sebagai konsep ekspresi kata, tetapi lebih sebagai suatu keberadaan yang menyadari kekuatannya sebagai hal lisan yang terjadi dalam suatu waktu.
Kata harus berhenti menjadi kata (yaitu visual dan konseptual) dan menjadi “peristiwa”, being (ada) dari karya sastra merupakan sebuah “peristiwa kata” yang terjadi sebagai tindakan lisan. Penelitian sastra yang kokoh mengarah kepada interpretasi karya lisan dimana ia difokuskan.
0 Komentar:
Post a Comment
Silahkan berkomentar disini walaupun hanya "Hay". Kami akan menghargai komentar anda. Anda berkomentar saya akan berkunjung balik