Setelah peneliti menentukan bidang penelitian (problem area) yang diminatinya, kegiatan berikutnya adalah menemukan permasalahan (problem finding atau problem generation). Penemuan permasalahan merupakan salah satu tahap penting dalam penelitian. Situasinya jelas: bila permasalahan tidak ditemukan, maka penelitian tidak perlu dilakukan. Pentingnya penemuan permasalahan juga dinyatakkan oleh ungkapan: “Berhasilnya perumusan permasalahan merupakan setengah dari pekerjaan penelitian”. Penemuan permasalahan juga merupakan tes bagi suatu bidang ilmu; seperti diungkapkan oleh Mario Bunge (dalam : Buckley dkk., 1976, 14) dengan pernyataan: “Kriteria terbaik untuk menjajagi apakah suatu disiplin ilmu masih hidup atau tidak adalah dengan memastikan apakah bidang ilmu tersebut masih mampu menghasilkan permasalahan . . . . Tidak satupun permasalahan akan tercetus dari bidang ilmu yang sudah mati”. Permasalahan yang ditemukan, selanjutnya perlu dirumuskan ke dalam suatu pernyataan (problem statement). Dengan demikian, pembahasan isi bab ini akan dibagi menjadi dua bagian: (1) penemuan permasalahan, dan (2) perumusan permasalahan.
Penemuan Permasalahan
Kegiatan untuk menemukan permasalahan biasanya didukung oleh survai ke perpustakaan untuk menjajagi perkembangan pengetahuan dalam bidang yang akan diteliti, terutama yang diduga mengandung permasalahan. Perlu dimengerti, dalam hal ini, bahwa publikasi berbentuk buku bukanlah informasi yang terbaru karena penerbitan buku merupakan proses yang memakan waktu cukup lama, sehingga buku yang terbit—misalnya hari ini—ditulis sekitar satu atau dua tahun yang lalu. Perkembangan pengetahuan terakhir biasanya dipublikasikan sebagai artikel dalam majalah ilmiah; sehingga suatu (usulan) penelitian sebaiknya banyak mengandung bahasan tentang artikel-artikel (terbaru) dari majalah-majalah (jurnal) ilmiah bidang yang diteliti. Kegiatan penemuan permasalahan, seperti telah disinggung di atas, didukung oleh survai ke perpustakaan untuk mengenali perkembangan bidang yang diteliti. Pengenalan ini akan menjadi bahan utama deskripsi “latar belakang permasalahan” dalam usulan penelitian. Permasalahan dapat diidentifikasikan sebagai kesenjangan antara fakta dengan harapan, antara tren perkembangan dengan keinginan pengembangan, antara kenyataan dengan ide. Sutrisno Hadi (1986, 3) mengidentifikasikan permasalahan sebagai perwujudan “ketiadaan, kelangkaan, ketimpangan, ketertinggalan, kejanggalan, ketidakserasian, kemerosotan dan semacamnya”. Seorang peneliti yang berpengalaman akan mudah menemukan permasalahan dari bidang yang ditekuninya; dan seringkali peneliti tersebut menemukan permasalahan secara “naluriah”; tidak dapat menjelaskan bagaimana cara menemukannya. Cara-cara menemukan permasalahan ini, telah diamati oleh Buckley dkk. (1976) yang menjelaskan bahwa penemuan permasalahan dapat dilakukan secara “formal’ maupun ‘informal’. Cara formal melibatkkan prosedur yang menuruti metodologi tertentu, sedangkan cara informal bersifat subjektif dan tidak “rutin”. Dengan demikian, cara formal lebih baik kualitasnya dibanding cara informal. Rincia n cara-cara yang diusulkan Buckley dkk. dalam kelompol formal dan informal terlihat pada gambar di bawah ini.
Bukley dkk., (1976:16-27) menjelaskan cara-cara penemuan permasalahan—baik formal maupun informal—sebagai diuraikan di bagian berikut ini. Setelah permasalahan ditemukan, kemudian perlu dilakukan pengecekan atau evaluasi terhadap permasalahan tersebut— sebelum dilakukan perumusan permasalahan.
Cara-cara Formal Penemuan Permasalahan
Cara-cara formal (menurut metodologi penelitian) dalam rangka menemukan permasalahan dapat dilakukan dengan alternatif-alternatif berikut ini:
1) Rekomendasi suatu riset. Biasanya, suatu laporan penelitian pada bab terakhir memuat kesimpulan dan saran. Saran (rekomendasi) umumnya menunjukan kemungkinan penelitian lanjutan atau penelitian lain yang berkaitan dengan kesimpulan yang dihasilkan. Saran ini dapat dikaji sebagai arah untuk menemukan permasalahan.
2) Analogi adalah suatu cara penemuan permasalahan dengan cara “mengambil” pengetahuan dari bidang ilmu lain dan menerapkannya ke bidang yang diteliti. Dalam hal ini, dipersyaratkan bahwa kedua bidang tersebut haruslah sesuai dalam tiap hal-hal yang penting. Contoh permasalahan yang ditemukan dengan cara analogi ini, misalnya: “apakah Proses perancangan perangkat lunak komputer dapat diterapkan pada proses perancangan arsitektural” (seperti diketahui perencanaan perusahaan dan perencanaan arsitektural mempunyai kesamaan dalam hal sifat pembuatan keputusannya yang Judgmental).
3) Renovasi. Cara renovasi dapat dipakai untuk mengganti komponen yang tidak cocok lagi dari suatu teori. Tujuan cara ini adalah untuk memperbaiki atau meningkatkan kemantapan suatu teori. Misal suatu teori menyatakan “ada korelasiyang signifikan antara arah pengembangan bangunan rumah tipe tertentu dalam perumahan sub – inti dengan tipe bangunan rumah asal penghuninya” dapat direnovasi menjadi permasalahan “seberapa korelasi antara arah pengembangan bangunan rumah tipe tertentu dalam perumahan sub – inti dengan tipe bangunan rumah asal penghuninya dengan tingkat pendidikan penghuni yang berbeda”. Dalam contoh di atas, kondisi yang “umum” diganti dengan kondisi tingkat pendidikan yang berbeda.
4) Dialektik, dalam hal ini, berarti tandingan atau sanggahan. Dengan cara dialektik, peneliti dapat mengusulkan untuk menghasilkan suatu teori yang merupakan tandingan atau sanggahan terhadap teori yang sudah ada.
5) Ekstrapolasi adalah cara untuk menemukan permasalahan dengan membuat tren (trend) suatu teori atau tren permasalahan yang dihadapi.
6) Morfologi adalah suatu cara untuk mengkaji kemungkinan-kemungkinan kombinasi yang terkandung dalam suatu permasalahan yang rumit, kompleks.
7) Dekomposisi merupakan cara penjabaran (pemerincian) suatu pemasalahan ke dalam komponen-komponennya.
Agregasi merupakan kebalikan dari dekomposisi. Dengan cara agregasi, peneliti dapat mengambil hasil-hasil peneliti atau teori dari beberapa bidang (beberapa penelitian) dan “mengumpulkannya” untuk membentuk suatu permasalah yang lebih rumit, kompleks.
Cara-cara Informal Penemuan Permasalahan
Cara-cara informal (subyektif) dalam rangka menemukan permasalahan dapat dilakukan dengan alternatif-alternatif berikut ini:
1) Konjektur (naluriah). Seringkali permasalahan dapat ditemukan secara konjektur (naluriah), tanpa dasar-dasar yang jelas. Bila kemudian, dasar-dasar atau latar belakang permasalahan dapat dijelaskan, maka penelitian dapat diteruskan secara alamiah. Perlu dimengerti bahwa naluri merupakan fakta apresiasi individu terhadap lingkungannya. Naluri, menurut Buckley, dkk., (1976, 19), merupakan alat yang berguna dalam proses penemuan permasalahan.
2) Fenomenologi. Banyak permasalahan baru dapat ditemukan berkaitan dengan fenomena (kejadian, perkembangan) yang dapat diamati. Misal: fenomena pemakaian komputer sebagai alat bantu analisis dapat dikaitkan untuk mencetuskan permasalahan – misal: seperti apakah pola dasar pendaya – gunaan komputer dalam proses perancangan arsitektural.
3) Konsensus juga merupakan sumber untuk mencetuskan permasalahan. Misal, terdapat konsensus bahwa kemiskinan bukan lagi masalah bagi Indonesia, tapi kualitas lingkungan yang merupakan masalah yang perlu ditanggulangi (misal hal ini merupakan konsensus nasional).
4) Pengalaman. Tak perlu diragukan lagi, pengalaman merupakan sumber bagi permasalahan. Pengalaman kegagalan akan mendorong dicetuskannya permasalahan untuk menemukan penyebab kegagalan tersebut. Pengalaman keberhasilan juga akan mendorong studi perumusan sebab-sebab keberhasilan. Umpan balik dari klien, misal, akan mendorong penelitian untuk merumuskan komunikasi arsitek dengan klien yang lebih baik.
Pengecekan Hasil Penemuan Permasalahan
Permasalahan yang telah ditemukan selalu perlu dicek apakah permasalahan tersebut dapat (patut) untuk diteliti (researchable). Pengecekan ini, biasanya, didasarkan pada tiga hal: (i) faedah, (ii) lingkup, dan (iii) kedalaman. Pengecekan faedah ditelitinya suatu permasalahan dikaitkan dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan atau penerapan pada praktek (pembangunan). Ditanyakan: apakah penelitian atas permasalahan tersebut akan berfaedah untuk ilmu pengetahuan, misal dapat merevisi, memperluas, memperdalam pengetahuan yang ada, atau menciptakan pengetahuan baru. Dicek pula: apakah penelitian tersebut mempunyai aplikasi teoritikal dan atau praktikkal. Suatu penelitian agar dapat diterima oleh pemberi dana atau pemberi “nilai’ perlu mempunyai faedah yang jelas (penjelasan faedah diharapkan bukan hanya bersifat “klise”).
Peneliti yang belum berpengalaman sering mencetuskan permasalahan yang berlingkup terlalu luas, yang memerlukan masa penelitian yang sangat lama (di luar jangkauan). Misal: penelitian untuk “menemukan cara terbaik pelaksanaan pembangunan rumah tinggal” akan memerlukan waktu yang “tak terhingga” karena harus membandingkan semua kemungkinan cara pelaksanaan pembangunan rumah tinggal. Lingkup penelitian, biasanya, cukup sempit, tapi diteliti secara mendalam. Faktor kedalaman penelitian juga merupakan salah satu yang perlu dicek. Penelitian, bukan sekedar mengumpulkan data, menyusunnya dan memprosesnya untuk mendapatkan hasil, tetapi diperlukan pula adanya interpretasi (pembahasan) atas hasil. Penelititan perlu dapat menjawab: apa “arti” semua fakta yang terkumpul. Dengan pengertian ini, suatu pengukuran kemiringan menara pemancar teve belum dianggap mempunyai kedalaman yang cukup (hanya merupakan pengumpulan data dan pelaporan hasil pengukuran). Tetapi, penelitian tentang “pengaruh kemiringan menara pemancar teve terhadap kualitas siaran” merupakan penelitian karena memerlukan interpretasi tehadap persepsi pirsawan atas kualitas siaran yang dipengaruhi oleh kemiringan.
Indikasi permasalahan yang belum merupakan permasalahan penelitian ditunjukkan oleh Leedy (1997: 46-48), yaitu:
1) yang bersifat hanya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk mengerti lebih banyak tentang suatu topik;
2) yang jawabnya ya atau tidak; pembandingan dua set data tanpa intepretasi;
3) pengukuran koefisien korelasi antara dua set data.
Perumusan Permasalahan
Sering dijumpai usulan penelitian yang memuat “latar belakang permasalahan” secara panjang lebar tetapi tidak diakhiri (atau disusul) oleh rumusan (pernyataan) permasalahan. Pernyataan permasalahan sebenarnya merupakan kesimpulan dari uraian “latar belakang” tersebut. Castetter dan Heisler (1984, 11) menerangkan bahwa pernyataan permasalahan merupakan ungkapan yang jelas tentang hal-hal yang akan dilakukan peneliti. Cara terbaik unutk mengungkapkan pernyataan tersebut adalah dengan pernyataan yang sederhana dan langsung, tidak berbelit-belit. Pernyataan permasalahan dari suatu penelitian merupakan “jantung” penelitian dan berfungsi sebagai pengarah bagi semua upaya dalam kegiatan penelitian tersebut. Pernyataan permasalahan yang jelas (tajam) akan sanggup memberi arah (gambaran) tentang macam data yang diperlukan, cara pengolahannya yang cocok, dan memberi batas lingkup tertentu pada temuan yang dihasilkan.
Contoh ungkapan permasalahan yang jelas, tajam, diberikan oleh Sumiarto (1985) yang meneliti dalam bidang perumahan pedesaan. Permasalahan yang dikemukakannya, sebagai berikut: “Kesimpulan yang dapat ditarik sebagai permasalahan P3D [Perintisan Pemugaran Perumahan Desa] yang dapat memberikan arah pada studi yang akan dilakukan adalah mempertanyakan keberhasilan dari tujuan P3D. Secara lebih spesifik dapat dikemukakan beberapa (sub) permasalahan
sebagai berikut:
a) Apakah setelah menerima bantuan P3D, kondisi mereka akan menjadi lebih baik, dalam arti adanya peningkatan dalam cara bermukin yang lebih baik serta lebih sehat?
b) Apakah bantuan yang diberikan oleh P3D telah memberikan hasil sesuai seperti yang diharapkan, yaitu penerima bantuan telah memberikan respon yang positif yang berupa tenaga, material, bahkan finansial, sehingga lebih dari apa yang diberikan oleh P3D.
c) Lebih jauh lagi, apakah P3D telah mampu membangkitkan efek berlifat ganda (multiplier effect), sehingga masyarakat yang tidak meneriman bantuan P3D terangsang secara swadata menyelenggarakan sendiri peningkatan kondisi rumah dan lingkungannya?”
(Sumiarto 1985, 17-18)
Bentuk Rumusan Permasalahan
Contoh pernyataan permasalahan di atas mengambil bentuk satu pernyataan disusul oleh beberapa pertanyaan. Castette dan Heisler (1984, 11) menjelaskan bahwa secara keseluruhan ada 5 macam bentuk pernyataan permasalahan, yaitu:
(1) bentuk satu pertanyaan (question);
(2) bentuk satu pertanyaan umum disusul oleh beberapa pertanyaan yang spesifik;
(3) bentuk satu penyataan (statement) disusul oleh beberapa pertanyaan (question).
(4) bentuk hipotesis; dan
(1) bentuk pernyataan umum disusul oleh beberapa hipotesis.
Bentuk Hipotesis nampaknya jarang dipakai lagi pula, biasanya perletakan hipotesis dalam laporan atau usulan penelitian tidak menempati posisi yang biasa ditempati oleh pernyataan permasalahan. Hal yang lain, bentuk pertanyaan seringkali dapat diujudkan (diubah) pula sebagai bentuk pernyataan. Dengan demikian, secara umum, hanya ada dua bentuk pernyataan permasalahan:
(1) Bentuk satu pertanyaan atau pernyataan
Misal:
- Pertanyaan:“Seberapa pengaruh tingkat penghasilan pada perubahan fisik rumah perumahan KPR?” “Faktor-faktor apa saja dan seberapa besar pengaruh masing-masing factor pada persepsi penghuni terhadap desain rumah sub–inti?”
- Pernyataan (biasanya diungkapkan sebagai “maksud”) “Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa pengaruh tingkat penghasilan pada perubahan fisik rumah perumahan KPR.” “Maksud penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor apa saja dan seberapa besar pengaruh masing-masing faktor pad persepsi terhadap desain rumah sub–inti.
(2) Bentuk satu pertanyaan atau pernyataan umum disusul oleh beberapa pertanyaan atau pernyataan yang spesifik (Catatan: kebanyakan permasalahan terlalu besar atau kompleks sehingga perlu dirinci)
Misal: Permasalahan umum: Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi hasil desain seorang arsitek dan seberapa pengaruh tiap-tiap faktor? Lebih spesifik lagi, permasalahan dalam penelitian ini dapat dirinci sebagai berikut:
- Apakah sekian faktor yang mempengaruhi hasil desain seorang arsitek secara umum di Amerika Serikat terjadi pula di Indonesia?
- Seberapa besar pengaruh faktor-faktor tersebut mempengaruhi hasil desain arstiek di Indonesia?
Karakteristik Rincian Permasalahan
Karakteristik tiap rincian permasalahan atau sub-problema (menurut Leedy, 1997:56-57) sebagai berikut:
- Setiap rincian permasalahan haruslah merupakan satuan yang dapat diteliti (a researchable unit ).
- Setiap rincian terkait dengan interpretasi data.
- Semua rincian permasalahan perlu terintegrasi menjadi satu kesatuan permasalahan yang lebih besar (sistemik).
- Rincian yang penting saja yang diteliti (tidak perlu semua rincian permasalahan diteliti)
- Hindari rincian permasalahan yang pengatasannya tidak realistik.
Contoh Rumusan Permasalahan
Di bawah ini diberikan beberapa contoh rumusan masalah, sebagai berikut: “. . . . . . . permasalahan sebagai berikut: Apakah kalsium hidroksida mempunyai pengaruh sitotoksik terhadap sel fibroblast embrio Gallus domesticus secara in Vitro, dan apakah besar konsentrasi kalsium hidroksida berpengaruh terhadap sifat sitotoksisitasnya?”
“. . . . . . . . . dengan penelitian ini ingin diketahui faktor – faktor apa yang dapat mempengaruhi perilaku ibu – ibu dalam menangani diare pada bayi dan anak balita.
Keterkaitan antara Rumusan Permasalahan dengan Hipotesis dan Temuan Penelitian
Bila penelitian telah selesai dilakukan, maka dalam laporan penelitian perlu ditunjukkan “benang merah” (keterkaitan yang jelas) antara rumusan permasalahan dengan hipotesis (sebagai “jawaban” sementara terhadap permasalahan penelitian). Rincian dalam permasalahan perlu berkaitan lengasung dengan rincian dalam hipotesis, dalam arti, suatu rincian dalam hipotesis menjawab suatu rincian dalam permasalahan. Demikian pula, perlu diperlihatkan keterkaitan tiap rincian dalam temuan (sebagai jawaban nyata terhadap permasalahan) dengan tiap rincian dalam rumusan permasalahan.
Baik permasalahan, hipotesis dan temuan—sebagai upaya pengembangan atau pengujian teori—berkaitan secara substantif dengan tinjauan pustaka (sebagai kajian terhadap isi khazanah ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan permasalahan penelitian). Kaitan substantif diartikan sebagai hubungan “isi”, tidak perlu dalam bentuk keterkaitan antar rincian.
0 Komentar:
Post a Comment
Silahkan berkomentar disini walaupun hanya "Hay". Kami akan menghargai komentar anda. Anda berkomentar saya akan berkunjung balik